Maumere,VoxNtt.Com- Indonesia sebagai negara yang plural tak terelakan dari tantangan intoleransi. Mewujudkan toleransi dalam konteks demokrasi merupakan keharusan. Apa saja model toleransi yang cocok bagi Indonesia saat ini?
Pater Otto Gusti Madung, SVD dalam buku terbarunya ‘Post Sekularisme, Toleransi dan Demokrasi’ mengidentifikasi 2 bentuk toleransi.
“Dua bentuk toleransi itu adalah toleransi pasif dan toleransi otentik atau toleransi aktif,” tuturnya kepada VoxNtt.Com pada Sabtu (18/3/2017) di Sekretariat STFK Ledalero, Maumere ketika ditanyai terkait buku terbarunya tersebut.
Toleransi pasif adalah toleransi yang dimengerti sebagai hadiah dari kelompok mayoritas. Toleransi jenis ini merupakan patologi yang dialami semua kelompok mayoritas.
Toleransi pasif ini nampak di NTT. Kelompok minoritas dipaksakan untuk mematuhi aturan yang dibuat oleh kelompok mayoritas.
“Misalnya kalau Bulan Mei atau Oktober kita sering seenaknya menutup jalan umum dan menggunakannya untuk prosesi padahal itu ruang publik,” terangnya.
Sementara toleransi otentik adalah toleransi yang dimengerti sebagai hak. Setiap individu memiliki hak yang sama untuk tidak diintervensi baik oleh mayoritas maupun negara ke dalam ranah privat.
Dalam kontek toleransi otentik tidak ada kelompok mayoritas maupun minoritas. Semuanya adalah individu yang memiliki hak yang sama.
Lebih jauh, Doktor Filsafat lulusan Hochschule für Philosophie München, Jerman yang telah menulis sejumlah buku ini mengatakan buku terbarunya tersebut merupakan cara dia turut berpikir tentang pluralisme dan demokrasi kita saat ini. Menurutnya belakangan ada upaya kapitalisasi terhadap agama.
Ini bisa dilihat dalam konteks Pilkada Jakarta. Salah satu contohnya misalnya ada ancaman bahwa jenazah pemilih paket tertentu tidak akan disholatkan.
Buku Post-Sekularisme, Toleransi dan Demokrasi karya Dr.Otto Gusti Madung ini berhasil membahas secara komprehensif tentang bagaimana agama yang semula tersingkir dalam sekularisasi, sekularitas, sekularisme dan modernisasi mengalami kebangkitan kembali dalam masa kini yang dapat disebut sebagai pasca-sekularisme.
Tetapi kebangkitan agama–baik Katolik, Protestan, Islam, Yahudi, Hindu, Budha dan seterusnya–disertai fenomena meningkatnya jumlah umat beriman yang tampil sebagai born-again Christians atau ‘neo-konservatif Muslim/Salafi’.
Di tengah kebangkitan yang cenderung mengarah pada ekstrimisme dan radikalisme, tak bisa lain perlu upaya serius dan sungguh-sungguh untuk memperkuat kembali toleransi, multikulturalisme dan demokrasi, khususnya di Indonesia.
Buku Post Sekularime, Toleransi dan Demokrasi ini diterbitkan oleh Penerbit Ledalero, Maumere.
Peluncurannya telah dilakukan di Universitas Nusa Nipa pada (24/2/2017) lalu. Selanjutnya pada (27/3/2017) mendatang akan dilakukan diskusi bedah buku di kampus FISIP Universitas Widya Mandira Kupang. (Are De Peskim/VoN)