Ruteng, Vox NTT- Akhir-akhir ini di Kota Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai kasus bunuh diri seakan sudah membudaya. Hampir tiap tahunnya ada saja kisah tindakan sengaja yang menyebabkan kematian diri sendiri itu.
Umumnya, kasus bunuh diri di Kota Ruteng terjadi pada kaum muda.
Data yang dihimpung VoxNtt.com, di Tenda Ruteng misalnya, beberapa tahun terakhir ini sudah ada 6 kasus kematian bunuh diri.
Psikolog muda Albina Redempta Umen menilai meningkatkan kasus kematian dengan cara bunuh diri dari kalangan remaja di Kota Ruteng disebabkan rendahnya kecerdasasan dalam penyelesaian masalah. Sehingga pilihan terakhir adalah dengan mengakhiri hidup.
Selain itu juga ada persoalan lain seperti keadaan yang sangat kalut. Proses kognitif tingkat tinggi yang memerlukan modulasi dan kontrol lebih dari keterampilan-keterampilan rutin atau dasar pun mengalami kebuntuhan.
Psikolog sekaligus peneliti pada lembaga Jefrin Haryanto Research Centre (JHRC) kepada wartawan mengatakan, belakangan ini kasus kematian remaja dengan cara bunuh diri kian meningkat,bahkan pekan ini seorang Mahasiswi STIKES St. Paulus Ruteng.
Albina Redempta menjelaskan, orang yang bunuh diri biasanya berada dalam keadaan yang sangat kacau, sehingga ia tidak bisa berpikir jernih. Kemungkinan lain yakni ia tidak bisa melihat jalan keluar dan mengambil jalan bunuh diri.
Selain itu, ada kemungkinan seseorang yang bunuh diri merasa tidak sanggup menahan beban perasaan dan khawatir terhadap konsekuensi yang akan dijalaninya ke depan.
Albina mengatakan, ada beberapa faktor pemicu yang menyebabkan seseorang bunuh diri.
Faktor-faktor pemicunya yakni, adanya depresi. Ada indikasi bahwa sebagian besar dari orang yang berhasil melakukan bunuh diri tengah dilanda depresi pada saat tindakan tersebut dilakukan.
Faktor lain juga disebabkan oleh krisis dalam hubungan interpersonal. Konflik-konflik dan pemutusan hubungan.
Dia mengingatkan banyak kalangan remaja hari ini, tidak memiliki kecerdasan mekanisme penyelesaian masalah. Selanjutnya, faktor kegagalan dan devaluasi diri sebagai faktor yang juga dominan dalam mencetus keputusan sesorang melakukan bunuh diri.
“Biasanya sesorang merasa bahwa dirinya telah gagal dalam suatu urusan penting,dan remaja saat ini sangat rendah dalam mekanisme penyelesaian masalah,”katanya.
Dikatakan, stres itu bersumber dari konflik batin atau pertentangan di dalam pikiran orang yang bersangkutan sendiri.Kehilangan makna dan harapan hidup.
Karena kehilangan makna dan harapan hidup, orang merasa bahwa hidup ini sia-sia. Akibatnya orang memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.
Perasaan semacam ini sering dialami oleh orang-orang yang menderita penyakit kronik atau penyakit terminal.
Direktur JHRC Yohanes Efremi Ngabur menjelaskan, ada fakta menarik terkait dengan angka kunjungan kelembaganya dalam 4 bulan terakhir.
Sebanyak 60 persen klien datang dengan kondisi stres akut dan 40 persen dari kliennya yang datang adalah adalah remaja dan mahasiswa.
Selama ini Yohanes selalu melihat faktor kebuntuhan ruang komunikasi. Selanjutnya selama ini melihat berkembangnya masalah tanpa penyelesaian pada ruang-ruang gelap kebatinan sosial remaja-remaja dan mahasiswa-mahasiswi kita.
Konsep diri negatif dan copyng stress paling dominan menimpa para remaja kita hari ini. Kasus bunuh diri adalah fenomena gunung es, trendnya bergerak naik. (Adrianus Aba/VoN)