Kupang, Vox NTT–Orang Manggarai, Flores, NTT yang memanen hasil tani di tanah rantauan biasanya melakukan acara yang sama seperti yang biasa dilakukan di daerah asalnya, Manggarai.
Di Kupang misalnya ada sekelompok orang Manggarai yang melakukan ritual memanen padi atau ako woja, pada Sabtu (29/4/2017) di ladang milik Anton Porat di Desa Oben, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang.
Pantauan VoxNtt.com di lokasi, acara ini berlangsung begitu ramai. Suasananya penuh kekeluargaan dengan nilai ke-Manggarai-an yang sangat kental.
Sebagian besar yang mengambil bagian dalam acara itu merasa seperti mengulang kembali memori masa silam di Manggarai saat masyarakat bergotong royong memanen hasil sawah atau ladang mereka.
“Memori kami kembali ke masa lalu, di masa kecil kami saat bersama orang kampung beramai-ramai turun ke sawah dan melakukan hal seperti ini. Dan acara seperti ini sesungguhnya merupakan kerinduan orang Manggarai yang ada di perantauan karena mereka ingin mengenang masa-masa bahagia di zaman dulu” kata Fery Cangkung yang berdomisil di TDM, Kota Kupang.
Selain itu, Anton Porat selaku pemilik sawah menjelaskan acara yang digelar tersebut merupakan bentuk revitalisasi tradisi yang membesarkan manusia Manggarai sejak dahulu kala.
“Kita sedang melakukan revitalisasi tradisi yang membesarkan kita, terutama saya dengan ibu. Kami dibesarkan dalam tradisi memanen padi seperti ini” ujar Porat.
Dosen pada FKIP Undana Kupang ini juga menjelaskan bahwa tujuan acara itu untuk menghidupkan kembali roh dari tradisi yang sudah membesarkan orang Manggarai sekaligus memperkenalkan kepada generasi sekarang tentang cikal bakal adanya padi, beras kemudian menjadi nasi.
Hal ini kata dia karena banyak orang kota yang hanya mengenal beras, bahkan orang muda zaman sekarang hanya mengenal nasi.
“Kami sampai seperti ini hari ini, cikal bakalnya adalah dari orang tua kami yang dibesarkan oleh tradisi panen seperti ini” katanya.
Dengan demikian Porat sendiri merasa bahwa tradisi-tradisi seperti ini perlu dihidupkan kembali agar generasi sekarang khususnya orang Manggarai tidak sombong dan selalu ingat akan kuni agu kalo atau kampung halamannya.
Kuni agu kalo yang dimaksudkan Porat, tidak hanya konteks kampung halaman semata tetapi segenap adat, istiadat atau tradisi yang terkandung di dalamnya yang sudah membesarkan orang Manggarai sejak berabad-abad lamanya.
Gotong Rorong dan Kebersamaan
Sebagaimana disaksikan media ini, dalam ako woja semua orang yang mengikuti acara itu beramai-ramai turun ke ladang sambil bergotong royong mulai dari mengetam sampai pada proses menjadi padi yang utuh.
Ada beberapa keunikan dari rangkaian kegiatan ini yakni peserta sebagian besar didominasi oleh para perempuan, lengkap dengan pisau dan keranjang dalam jinjingannya.
Selain itu, peserta acara ako woja ini juga tidak hanya berasal dari daerah Manggarai tetapi juga dari luar Manggarai.
Jika kaum hawa mengetam padi, para lelaki bertugas untuk mengangkut padi itu dengan karung ke tempat yang sudah disiapkan.
Setelah acara ako selesai, proses selanjutnya adalah rik. Rik berarti injak sambil mengucak padi dengan kaki. Tujuannya untuk melepaskan bulir padi dari tangkainya.
Dalam rik peserta mengucak padi sambil menyanyikan lagu khusus dalam bahasa Manggarai yang dibawakan dalam gaya danding, salah satu tarian adat Manggarai yang dilakoni laki-laki dan perempuan.
Usai rik, proses selanjutnya adalah kekas yakni memisahkan bulir padi dan tangkainya dengan menggunakan tangan.
Selanjutnya proses terakhir adalah teter. Teter merupakan kegiatan untuk memisahkan bulir padi yang baik dengan yang rusak (embo-red) menggunakan bantuan angin.
Orang yang ditugaskan dalam proses teter mengangkat keranjang berisi padi lalu diangkat setinggi kepala kemudian menjatuhkan bulir padi itu secara perlahan agar hembusan angin dapat memisahkan isi dan embo-nya.
Tentang rangkaian proses ini, Porat menjelaskan bahwa dalam ako woja ini terdapat sejumlah nilai yang ditemukan yakni nilai pendidikan, kebersamaan, kerja keras dan persaudaraan.
Menurutnya rangkaian acara dalam ako woja ini ingin mengajarkan kepada generasi muda sekarang bahwa untuk mendapatkan nasi sepiring harus melalui proses yang panjang dan kerja keras.
“Nilai yang diajarkan di sini adalah orang Manggarai menghargai kerja keras para petani atau orang tua sejak proses tanam hingga panen” jelas Porat.
Yang menarik dalam kegiatan ini turut dihadiri orang di luar Manggarai seperti Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.
Mereka sengaja datang dari tempat asalnya untuk merasakan langsung proses ako woja ini.
Henny Chandra Winata, peserta asal Jakarta yang mengaku belum pernah merasakan langsung proses ini merasa senang karena ternyata banyak makna yang ia dapat.
“Ini baru pertama kali saya rasakan ternyata beras yang kita makan setiap hari didapat melalui proses yang panjang dan melelahkan. Ini mau mengungkap kepada masyarakat agar lebih menghargai padi dan jerih payah para petani” ungkapnya.
Peserta lain dari Klaten, Agnes Elis juga memiliki kesan yang sama dengan Henny.
“Saya juga baru pertama kali ikut memanen padi. Ternyata turun ke sawah itu sangat melelahkan apalagi waktu siang hari yang cukup panas,” kata Agnes.
Walaupun cukup melelahkan, namun dia mengaku senang karena dapat merasakan langsung proses memanen padi seperti yang dilakukan petani pada umumnya.
Saat ditanyai apakah perempuan yang berprofesi sebagai guru SD ini punya niat menjadi petani, ia menjawab belum bersedia namun dirinya mencoba memanfaatkan pekarangan rumahnya untuk menanam pangan lokal.
“Saya coba dulu menanam pangan lokal di pekarang rumah” pungkasnya sambil tertawa.
Untuk diketahui, dalam konteks bercocok tanam orang Manggarai telah diwariskan budaya ritual yang biasa disebutkannya dengan adak nongko gejur dan ako woja.
Nongko gejur berasal dari dua kata yakni nongko dan gejur. Nongko berarti pungut dan gejur berarti jerih payah.
Sementara ako woja juga berasal dari dua kata yakni ako dan woja. Ako berarti petik, panen dan woja berarti padi.
Bedanya, ritual adat nongko gejur ini tidak hanya berlaku pada saat musim ako woja tetapi juga berlaku untuk setiap kali panen sebagai wujud ucapan syukur dan terima kasih orang Manggarai kepada Mori jari agu dedek (Tuhan, Sang Pencipta), alam semesta dan para leluhur.(Boni Jehadin/VoN).
https://www.youtube.com/watch?v=jilH9vriRQE&feature=youtu.be