Oleh: Alfred Tuname
“Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan; kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Itu kata Mochtar Kusumaatmadja.
Di situ, ada semacam relasi resiprokalitas antara hukum dan politik. Hukum bisa saja mempengaruhi politik; politik pun bisa saja mempengaruhi hukum.
Pada setiap soal hukum dan politik, nyaris tak hadir unsur “obyektivitas”. Selalu ada ruang samar yang bisa diisi oleh apa saja.
Persoalan yang dialami oleh Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok ada pada pusaran politik dan hukum.
Karir politiknya untuk menjadi gubernur dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 diganjal dengan “rekayasa” hukum.
Ia “dipaksa” masuk dalam jeratan hukum penistaan agama. Gerakan massa (Aksi 212, Aksi 313, Aksi 515) menjadi cara ampuh untuk memaksa hukum menggotong Ahok. Tafsir “Al Maidah 51” begitu politis sehingga menggiring Ahok ke meja hijau.
Dengan “kriminalisasi” Ahok, pasangan Ahok-Djarot harus menerima kekalahan dari pasangan Anies-Sandi dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 Putara Kedua.
Bukan cuma dengan “kriminalisasi”, jargon-jargon sentimen rasis dan gerakan radikal agama diunggah ke publik untuk menjegal pasangan Ahok-Djarot.
Mayoritas masyarakat Jakarta ternyata bukanlah pemilih rasional yang disangka. Mereka tidak lebih dari pemilih “primordial” yang mengkonsumsi kampanye-kampanye rasis dan doktrin-doktrin fundametalisme agama.
Demokrasi Jakarta memang tidak luluh oleh uang (money politics), tetapi hancur karena rasisme dan fundamentalisme agama.
Trial by Mob
Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Itulah nasib tragis yang diterima Ahok. Kalah dalam Pilkada DKI Jakarta 2017, tidak lantas membebaskan Ahok sebagai warga sipil. Pada sidangnya 9 Mei 2017, Ahok divonis 2 (dua) tahun penjara.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta menyatakan Ahok bersalah seturut hukum penistaan agama.
Hakim, mengutip Goenawan Muhamad, agaknya bukan cuma “apa”, tatapi juga “siapa”. Bukan bukan saja sebagai pengawal keadilan, tetapi juga sebagai manusia penuh warna dan rasa.
Jika hakim sebagai “hakim”, maka ia mungkin saja tidak mempedulikan tekanan-tekanan massa radikal dan penuh sentimen rasis. Ahok bisa saja bebas bila saja hakim benar-benar adil. Bukti, saksi dan fakta-fakta hukum dalam persidangan Ahok ternyata adalah signal ketidakbersalahan Ahok.
Celakanya, hakim juga sebagai manusia. Sebagai manusia, nuraninya terasa kering. Ia tidak membela keadilan meskipun langit runtuh (fiat justitia ruat caelum). Hakim membela kepentingan massa, elite agama dan kepentingan-kepentingan organisasi radikal agama. Kata Thrasymachus, hukum tidak lain dari apa yang berfaedah bagi orang (massa) yang kuat.
Ahok tidak dihukum atas rasa keadialan, tetapi ia dihakimi oleh massa yang begitu kuat membencinya (trial by mob). Hakim yang kering nurani mengikuti kehendak massa, bukan mendengarkan bisikan keadilan.
Hakim tidak berpijak keadilan. Ia telah buta melihat fakta-fakta hukum, tuli dengan nuraninya sendiri dan lumpuh atas barisan massa ormas agama yang menggasak dan mengancam.
Awan gelap telah menyelimuti keadilan di negeri ini. Pasca vonis Ahok, wajah keadilan di negeri ini rusak penuh borok. Ternyata postur hukum tidak lebih kuat dari kehendak massa agama. Selain itu, citra keadilan hukum luntur demi kepentingan pragmatisme politik. Citra sebagai negara toleran agama pun patah bersamaan dengan kuatnya jeruji besi penjara Ahok di Rutan Cipinang.
Sejumput Optimisme
Lantas dimanakah Presiden Jokowi yang disebut-sebut sebagai “pelindung” Ahok? Padahal dengan kekuasaannya, ia bisa saja “mengintervensi” hukum untuk membebaskan Ahok.
Kita ingat Blaise Pascal, “ausi on n’a pu donner la force à la justice, parce que la force a contredit la justice et a dit qu’elle était injustice, et a dit que c’etait elle qui etait juste…” keadilan tidak setara dengan kekuasaan. Kekuasaan dapat menyangkal keadilan dan menyatakan keadialan itu tidak adil.
Tentu saja itu karena keadilan selalu menimbulkan debatable. Jokowi tidak melakukan itu. Jokowi tidak “memanfaatkan” kekuasaannya untuk membatalkan “keadialan”. Justru ia menggunakan kekuasaanya untuk membuat kebijakan politik yang adil.
Jelaslah, Presiden Jokowi tidak sedang melindungi Ahok. Sebagai kepala negara, secara tersirat Jokowi sedang melindungi kelompok-kelompok minoritas. Ahok sedang dikorbankan (sacrifice) di altar pengadilan untuk melepas rantai-rantai yang membelenggu kelompok-kelompok minoritas (agama, etnis, suku dan lain-lain).
Pasca vonis Ahok, politik hukum akan lebih “radikal”. Pemerintah Jokowi tidak akan segan-segan menindak para agresor, ormas radikal, orator penista dan kaum fundamentalis agama. Para kaum rasis dan penista agama akan ditindak secara tegas. Maka tidak ada lagi para “pengacau agama” yang mudah berkeliaran di negeri.
Itulah optimisme dan harapan yang mungkin akan terjadi pasca vonis Ahok. Bangsa Indonesia berharap, Jokowi mampu memberantas ngengat-ngengat pengacau bangsa. Tentu stabilitas pemeritah Jokowi akan tertanggu apabila masih ada kelompok-kelompok pengacau yang mengatasnamakan agama.
Negara ini tidak boleh rusak oleh kelompok agama yang radikal. Negara ini harus tetap utuh dengan Pancasila sebagai Dasar Negara. Pancasila harus menjadi penyangga kuat demi persatuan bangsa Indonesia. Negara harus kuat melawan kelompok-kelompok pengacau. Pemerintah Jokowi, TNI dan Polri harus sigap melawan ancaman mencoba merubah Pancasila.
Ahok memang sudah divonis sebagai penista, tetapi publik berharap tidak ada lagi pihak-pihak yang mencoba menjatuhkan Pancasila dan menggantinya dengan dasar agama tertentu. Karena politik kita terbelah. Karena agama kita berbeda. Tetapi karena Pancasila, kita bersatu untuk NKRI yang jaya.***
Alfred Tuname
Direktur Lembaga Neralino (Network On Reform Action For The Well-being Of Indonesia)