Borong, Vox NTT- Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Manggarai Timur (Matim) mengaku kesal dengan kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan kabupaten itu.
Kekesalan mereka terutama karena pihak dinas tak lagi membayar upah mereka dengan menggunakan dana Bos Daerah (Bosda). Padahal tahun sebelumnya mereka pernah bahagia, karena gaji mereka dibayar memakai Bosda.
D Akin Wisma Ariati, Pengelola sekaligus Pengajar PAUD Gloria, Desa Golo Lembur, Kecamatan Lamba Leda mengaku bingung dengan kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Matim yang memberhentikannya dari Bosda di tahun 2017 ini.
“Saya bingung, kenapa pengelola di PAUD lain di beberapa kecamatan masih mendapatkan Bosda kali ini. Kenapa kami tidak bisa,” ujar Akin kepada VoxNtt.com saat bertemu di Kampung Lompong-Golo Lembur, Kamis (11/5/2017).
Padahal, sejak mendirikan PAUD Gloria tahun 2011 silam Akin memiliki mimpi besar yakni turut memberikan sumbangsi mencerdaskan anak-anak bangsa.
“Cita-cita saya dulu untuk mencerdaskan anak-anak, mengerti huruf, mengenal angka melalui bermain mengenal lingkungan,” jelasnya.
Dia menambahkan, sejak SK berdirinya keluar di tahun 2012 lalu, hingga 2014 ia mengajar secara sukarela tanpa dibayar apapun.
Lantaran murid PAUD Gloria semakin banyak di tahun 2014, Akin kemudian memutuskan menambah satu staf pengajar untuk membantunya. Staf pengajar itu juga mengabdi secara sukarela.
“Waktu itu saya mendirikan PAUD Gloria memakai uang sendiri dan ditambah PKK Desa Golo Lembur sejumlah Rp 500 ribu, itu habis di transportasi konsultasi di Borong,” kata Akin.
Tahun demi tahun Akin mengelola sekaligus mengajar sukarela. Tahun 2015 ia kemudian mendapat informasi dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Matim. Intinya yang berhak mendapat Bosda yaitu guru PAUD yang bertamatkan sarjana atau sementara kuliah.
“Untuk hal itu, saya lalu memutuskan untuk kuliah di UT (Universitas Terbuka) di Borong. Tahun 2016 akhirnya saya dapat Bosda dengan Rp 600 per bulan untuk meringankan uang kuliah,” ungkap Akin.
“Persyaratan surat keterangan sementara kuliah saya sudah kasih masuk ke dinas sebagai persyaratan penerimaan Bosda,” tambahnya lagi.
Penerimaan Bosda kali ini membuat Akin bingung dan menyesal. Pasalnya Bosda tak lagi membayar upahnya. Staf pengajar tetap terima, sementara dirinya dikeluarkan dari draf Bosda.
Karena itu, dia berharap agar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Matim segera mempertimbangkan kembali keputusan tidak memberikannya Bosda. Apalagi, dia dan rekan-rekannya yang lain sudah berjasa mendirikan PAUD tersebut.
Belum Ada Standar Baku
Menanggapi hal tersebut, anggota DPRD Matim Frumensius Frederik Anam menyatakan hingga kini belum ada sistem permanen atau standar baku tentang evaluasi penerimaan dana Bosda.
“Dalam pengertian, kadang evaluasinya suka-suka. Padahal kalau mereka (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan) membangun sistem dengan membuat kriteria yang permanen, maka saya pikir tidak ada gunjingan seperti ini,” tegas Mensi saat dihubungi melalui ponselnya, Kamis siang.
Sehingga hampir pasti kata Mensi, pihaknya sebagai anggota DPRD tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang nama-nama penerima Bosda.
“Pertanyaan begini, mengapa terima dan mengapa tidak terima. Kalau kita tanya penguasaan itu, jangan kan anggota DPR, teman-teman di PPO saya yakin mereka tidak buka itu sistemnya,” katanya.
Karena itu, saat evaluasi LKPJ bupati Matim di DPRD beberapa waktu lalu, Mensi meminta sistem baku tentang persyaratan penerimaan Bosda.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Matim Frederika Sok menjelaskan, jika tahun lalu para guru PAUD tersebut menerima Bosda dan tahun 2017 ini tidak, berarti ada persoalan.
Dikatakan, persoalan yang ditemukan misalnya tentang Dapodik. Hitungannya satu berbanding 15 siswa PAUD. Artinya satu guru penerima Bosda harus ada 15 anak PAUD, dua guru harus memiliki 30 anak.
“Kalau muridnya 30 berarti ada dua guru penerima Bosda. Kalau lebih gurunya, terpaksa yang lainnya kita berhentikan dari Bosda,” jelas Frederika saat dihubungi melalui ponselnya, Kamis siang.
“Kedua, kegiatannya. Kalau sesuai pantauan, kalau jalannya (aktivitas pembelajaran) tidak betul-betul kita hentikan saja,” katanya.
Selanjutnya masih Frederika, pengelola PAUD tidak boleh merangkap PNS. Kalau merangkap, maka konsekuensinya tidak menerima honor dari Bosda. Lalu, pengelola tidak boleh merangkap tugas sebagai staf pengajar.
“Karena kami juga diperiksa oleh BPK tidak main-main,” tegasnya.
“Keempat guru harus menunjukan surat keterangan dari UT (Universitas Terbuka) bahwa mereka sedang kuliah. Itu kan keputusan dari BPK juga,” kata Frederika. (Adrianus Aba/VoN).