Oleh: Ricko W
Hendelinus bertubuh tegap dan kekar. Kulitnya hitam. Dada hingga perutnya bidang. Namun, rambutnya beruban dan wajahnya sudah menampakan usianya yang sudah menginjak lima puluhan tahun. Istrinya, mama Eti, adalah seorang perempuan gempal yang baik hati dan amat rajin bekerja. Mereka tak punya anak kandung. Yang tinggal di rumah mereka adalah seorang anak perempuan dari saudari mama Eti yang mereka pelihara sejak nol bulan.
Hidup mereka tak mewah tetapi sudah cukup untuk makan tiga kali sehari. Om Hende, orang-orang biasa memanggilnya, bekerja sebagai tukang jagal hewan selama berpuluh tahun di sebuah rumah makan Makassar di dekat pasar Alok.
Setiap jam tiga pagi ia sudah bangun dan bergegas ke tempat kerja. Sekitar jam sembilan pagi ia sudah pulang rumah dengan membawa dua ember besar berisi makanan babi. Kedua ember itu diikatkan di bagian belakang kedua sisi sepeda ontel buntut yang ia kayuh setiap hari.
Ia punya kebun yang cukup luas di belakang rumah dan beberapa ekor kambing yang subur-subur. Saat ia pergi menjagal hewan istrinyalah yang mengurusi semuanya. Dan ketika sore menjelang, Om Hende akan sangat sibuk dengan kebun dan ternaknya itu. Oleh para tetangga sekitar, ia dikenal sebagai seorang pekerja keras yang ulet dan tak banyak bicara.
Suatu hari, ketika Om Hende pulang bekerja, ia mendapati istrinya sedang menangis tersedu-sedu di dapur rumah. Tak ada siapa-siapa di situ. Om Hende heran. Tak biasa istrinya menangis.
“Ada apa? Apa yang membuat kamu menangis?” Om Hende meletakkan sebilah parang di bawah kolong meja.
Istrinya diam tak menjawab.
“Ada apa sebenarnya?” ujar Om Hende sekali lagi dengan wajah penasaran. Tangannya yang kasar memegang pundak sang istri. Mama Eti segera menyeka air matanya dengan selembar handuk yang dipegangnya.
“Satu ekor kambing hilang. Dicuri. Tidak tahu siapa yang melakukannya.”
“Apa? Hilang?” tangannya segera melepas pundak sang istri. Rona wajahnya berubah seketika, tergagap. Ia sempat tak menyangka, “betul? Apakah betul kambing kita dicuri?”
Mama Eti hanya mengangguk mengiyakan, tak sanggup menjelaskan lebih lanjut. Suaminya tampak panik di sudut dapur. Beberapa menit kemudian ia keluar lewat pintu dapur menuju kebun luas di belakang rumah, tempat mereka biasa mengikat kambing-kambing mereka. Sebilah parang panjang digenggamnya erat. Amarah menyembul dari tatapan matanya yang nanar. Dipastikannya lagi apa benar ternaknya ada yang hilang. Ia mulai mengecek satu per satu. Dihitungnya lagi dan lagi. Dan benar, satu ekor kambing tak ada.
Matahari sudah tinggi. Di luar udara terasa begitu panas dan kering. Om Hende kehilangan akal. Istrinya sudah kehabisan air mata. Kabung duka menyelimuti rumah mereka akibat satu ekor kambing yang hilang. Beberapa tetangga yang turut prihatin mendatangi rumah mereka. Tak ada yang tahu kemana kambing itu berada. Sebagian orang pesimis kalau kambing yang hilang itu akan ditemukan kembali.
Beberapa hari berselang, seseorang datang ke rumah makan tempat Om Hende bekerja. Dia mengaku sebagai seorang peternak hewan dan hendak menjual satu ekor kambingnya di rumah makan itu. Namanya adalah Paskalis, seorang pria separuh baya, yang sering terlihat bermain bola billiard di seputaran Pasar Alok. Kepalanya botak, wajahnya bulat, kulitnya kuning langsat.
Garis-garis tato dari tinta yang sudah hampir pudar tampak menjalar di sekujur lengannya. Para pedagang dan orang-orang yang sering berada di pasar mengenalnya sebagai Om Kalis, si tukang mabuk yang menggantungkan hidupnya dari uang retribusi kendaraan yang keluar masuk pasar.
Pagi itu ia datang menawarkan kambingnya kepada si pemilik rumah makan.
“Kambing ini seharga satu juta dua ratus ribu. Bisa ditawar,” ujarnya kepada si pemilik warung sambil mengarahkan telunjuknya ke arah kambingnya.
“Mahal sekali, Om. Kambing seukuran ini harganya tidak sampai satu jutaan. Paling delapan ratus ribuan atau sembilan ratus,” balas Daeng, si pemilik rumah makan dengan acuh tak acuh. Ia tahu Om Kalis bukan seorang peternak kambing. Dan semua orang memang tahu itu. Namun, begitu melihat kambing yang gemuk dan sehat itu laki-laki Makasar yang sudah berpuluh tahun menggeluti bisnis rumah makan di kota Maumere itu langsung berminat membeli dan mengabaikan sepak terjang Om Kalis di pasar itu.
Kambing yang ia tambatkan di sebatang pohon reo di belakang rumah makan itu terus mendengus sambil menyantap dedaunan dan rerumputan yang tumbuh liar di sana. Tawar menawar terus berlangsung. Pembicaraan mulai serius.
“Baiklah, delapan ratus ribu saya ambil,” tawar Daeng.
“Tambah seratus ribu lagi, Daeng. Kalau sembilan ratus ribu Daeng bisa ambil kambing itu sekarang.”
Daeng sepakat dan langsung masuk ke dalam sebuah ruangan sempit di dekat dapur. Terbersit senyum di wajah Om Kalis.
“Ini uangnya, biarkan kambing itu di sini.”
Om Kalis belum langsung pergi. Ia sejenak berdiri terpaku seraya menghitung-hitung lembaran-lembaran uang merah dan biru yang sudah sepenuhnya miliknya. “Terima kasih banyak, Daeng. Saya pamit pergi.”
Ia melanjutkan pekerjaannya sedang Om Kalis dengan cepat menghilang di kerumunan pasar yang mulai ramai sejak pagi hari.
Tugas Om Hende memotong hewan telah selesai di rumah makan itu. Tugasnya mengumpulkan sisa-sisa makanan untuk makanan babi juga sudah selesai. Dua ember telah terisi penuh dengan makanan babi. Sebelum ia pamit pulang dan menunggangi sepeda ontelnya, matanya terbelalak tertuju pada sebatang pohon reo, tempat seekor kambing ditambatkan. Perasaannya mulai tak karuan. Suara batinnya terus berujar kalau kambing hitam gemuk dan sehat yang ada di depan matanya itu adalah kambing miliknya. Ia semakin yakin ketika kambing itu menatap lekat-lekat Om Hende dari jarak yang tidak kurang dari lima meter. Kambing hitam dengan corak putih melintang di sekitar lehernya itu terus mendengus dan meronta seolah-olah ingin lepas dari belenggu tali yang mengikat lehernya dan kembali ke pelukan si pemilik. Matanya berbinar dan terpancar sebuah harapan yang sulit dimengerti.
“Om Hende, itu kambing yang baru dibeli dari Om Kalis. Besok baru akan disembelih,” tiba-tiba suara Daeng memecah tatapan matanya yang kalut. Suasana hatinya yang sedih berubah amarah ketika mendengar nama Kalis. Sudah tak bisa dibantah lagi dialah orang yang mencuri kambing ini. Ia harus segera bertemu Kalis dan meminta pertanggungjawaban. Terbayang pula wajah istrinya yang menangis tersedu ketika mengetahui kambing itu hilang dari kebun mereka. Dipikirkannya lagi masa depan anak mereka yang sudah hampir tamat dari Sekolah Menengah Pertama dan berbagai keperluan sekolah di jenjang SMA. Tak bisa dipendam lagi kebencian dalam dada Hendelinus. Sebilah parang menggantung di pinggangnya.Segera ia kayuh sepedanya dan pergi ke tempat dimana Om Kalis sering mencari uang; gerbang masuk pasar Alok. Di sana ia biasa menjadi penagih retribusi bagi setiap kendaraan yang masuk ke dalam area pasar.
Hendelinus memarkir sepedanya tak jauh dari tempat Kalis sedang menagih retribusi. Ia berjalan ke arah Kalis yang sedang sibuk bekerja dan tak sadar akan kedatangannya. Tangannya yang berurat bergetar menggenggam sebilah parang. Peluh mengalir di wajahnya yang masam. Langkahnya yang pasti sangat jelas menunjukkan keberanian sekaligus kemarahan tiada tara. Tekadnya sudah bulat meski akal sehatnya buntu. Di siang yang panas itu, seorang anak manusia yang berdosa harus menanggung akibat dari perbuatan celanya; sabetan parang dari tangan kanan Om Hende yang merobek punggung Kalis segera membuat ia terkejut dan kelabakan. Darah mengucur deras. Orang banyak yang terkejut dengan aksi brutal itu segera berhamburan tak tentu arah. Tanpa sedikitpun berbicara, Om Hende kembali melepaskan serangan dengan sangat cepat; ujung parangnya mengenai tangan kiri Kalis saat ia berusaha mengelak. Kalis berusaha melarikan diri, namun satu tebasan di kaki kiri segera melumpuhkannya.
“Ampun, ampun, saya minta ampun. Saya minta ampun, tolong jangan bunuh saya!”
Kakinya yang terluka membuat dia tak berkutik. Ia terus mengerang sambil terus merayapi tanah. Ketakutan betul-betul merasuki. Tak lama lagi ia akan mati, pikirnya, bila tak ada ampun dari Hendelinus. Di hadapannya, Hendelinus lebih tampak menyerupai seekor singa kelaparan yang siap melahap mangsanya tanpa kenal ampun. Ia terus mengerang kesakitan sembari pasrah terhadap nasib hidup dan mati yang kini sepenuhnya ada di tangan Hendelinus.
Matanya kabut tertutup dendam dan amarah. Hatinya berubah cadas. Tubuhnya dirasuki setan pemangsa sesama. Tangannya dengan cepat mengayunkan parang tepat di kepala Kalis. Hari itu satu orang manusia mati akibat satu ekor kambing. Dan dua orang perempuan menjerit tangis akibat dua orang laki-laki yang segera pergi meninggalkan mereka.
Ricko W, anggota Kahe.
Tinggal di Wolomarang, Maumere.
———————————————————————————————————-
Kita yang Hidup dalam Hendelinus
Catatan atas Cerpen Hendelinus
Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Membaca Hendelinus karya Ricko W pada edisi ini kita diajak ke dalam pengembaraan mental mengenai kemurungan, frustrasi, amarah yang tiba-tiba jadi ganas. Kisah Hendelinus yang tukang jagal hewan itu adalah sosok pekerja keras sekaligus penyayang, sayang Ricko membawa semua kita yang membaca cerpennya dihadapkan pada situasi yang rumit di akhir cerita.
Secara garis besar cerpen ini bercerita tentang persoalan pribadi maupun sosial yang dialami dalam kehidupan nyata. Maka Hendelinus dan semua tokoh yang ada dalam cerpen ini adalah juga segala pikiran dan jiwa kita yang bersarang di dalamnya.
Pertanyaan saya ketika mendalami isi cerpen ini adalah mengapa Ricko memilih topik pembunuhan untuk cerpennya. Suasana seperti warung, pasar dan kebun seolah lekat dengan kehidupan sekitar kita. Yang menarik untuk tipikal cerpen macam ini adalah gaya penuturan yang realis dan mengalir.
Cerpen ini memuat gaya bahasa dan diksi yang disusun seperti mengalir apa adanya. Tak ada yang puitis. Dengan demikian, tidak terlalu membawa pembaca pada kefokusan ekstra untuk mengerti apa yang dituliskan. Melalui kata-kata yang dipoles dengan baik dan mudah dimengerti, pembaca bisa juga merasakan apa yang dirasakan dalam kisah Hendelinus.
Membayangkan Mama Ety yang bersedih karena kehilangan kambing juga amarah yang meletup dari dada Bapak Hende saja terasa sesuatu yang sangat mengerikan apalagi ketika parang yang selalu terasah tajam itu membelah punggung Om Kalis.
Selanjutnya yang lebih dramatis adalah membayangkan dua perempuan yang satu suaminya meninggal dan yang satunya sudah pasti dipenjara. Sisi kesedihan yang tak diangkat lebih lanjut tetap menghadirkan daya bayang dalam sukma pembaca.
Dalam Hendelinus Ricko seolah mengajak kita untuk ikut larut dalam kisah melalui kekuatan narasi juga deskripsi yang meletup-letup. Hendelinus juga menghadirkan semacam melankoli yang tinggal saat cerpen ini selesai dibaca.
Saya kira untuk cerpen model ini, Ricko memang sepatutnya ikut mengajak kita semua untuk membangun semacam nilai guna ketika melihat, merasakan situasi di sekitar kita. Hendelinus hemat saya adalah cerpen berkelas yang kepentingannya adalah bahwa sebuah karya sastra (baca,cerpen Hendelinus) mampu memperluas diri atau mereplikasi kemanusiaan ke dalam pikiran dan sanubari terdalam pembaca.
Dengan demikian pertanyaan saya di atas dengan sendirinya ikut terjawab bahwa dengan mampu mereplikasi kemanusiaan maka kita yang hidup dalam Hendelinus sudah sepatutnya mampu menghalau kecemasan, rasa kuatir juga kekerasan yang ada dan terjadi di sekitar kita.***