DETIK-DETIK SENJA

Detik-detik berdetak begitu pasti

Menetak kenangan yang kami genggam bersamamu

Sang bayu bersiul begitu sendu dalam sunyi

Merekah bersama mentari pagi

Kita menyatu di gubuk ini

 

Kini,

Detik-detik senja sudah jauh dari pangkuan hari

Malampun tumpah di bawah tenda rumah kita

“ROGATE”

Tempat engkau menghabiskan hari dengan roti dan anggur, yang kita kecapi bersama

Tempat engkau  menghabiskan senja dengan menghitung sajak-sajak doa

Dan melantunkan kidung malam menuju pembaringan.

 

Kini….

Angin-angin utara tak  lagi kau hirup

Ketika langkahmu semakin menjauh darinya

Kini…..

Suara anak-anak tak lagi mengusikmu

Kala sayup matamu mulai mengatup

 

Semua kenanangan yang kita sulam bersama

Tak kan luntur

Dikikis  detik dan jarak

Karena kita masih menjelma satu

Dalam sajak-sajak CINTA perjamuan paskah

 

Terimah kasih atas senyum dan petuah indah

Yang kau siram siang malam tak kenal jenuh

Kala pohon-pohon panggilan ini mulai mengering

Dan jiwa kami mulai gersang

Ditimpah alam yang terlalu menawan.

 

Terima kasih atas pengabdian tanpa pamrih

Yang kau tanam di bumi Pertiwi

Terima kasih atas sajak-sajak  SABDA

Yang tertuang lewat kotbah-kotbahmu

Dan akhirnya,

“ROGATE”

yang kau semaikan di bumi Nian Sikka.

 

Selamat menempuh perjalananmu.

Jangan perna takut melangkah

Sekalipun  harus melewati gurun gersanng.

Jangan perna takut berlayar

Meski harus menghadapi badai membuncah.

Karena kita…!

Adalah “Sang Musafir Cinta”

Yang terus berkelana menebarkan benih

“SABDA”

Di penjuru dunia

(Pondok Rogate Maumere, 10 Juni 2017)

 

TERBAKAR

Aku anak negeri  Pertiwi

Kemarin tak hendak menyulut api

Hanya memutar arloji

Agar sesuai dengan matahari

Saat matahari meningggi,

Aka-akar liar menabur minyak

Jerami menyambut gaduh

Pertiwi terbakar

Aku terjebak

(Pondok Rogate, 13 Mei 2017)

 

LIMA JARI IBU I

Lima jari ibu berdiri tegak

Menopang rumah mengatap anak

Biar tidak roboh jua koyak.

Suatu hari ibu jari ibu, luka

Tersayat belati anak negeri

Yang merasa diri tiri.

(Wailiti, 1 Juni 2017)

 

LIMA JARI IBU II

Lima jari, membelai tanpa kecuali

Hitam putih, warna warni.

Mulai dari sudut rumah tanpa pelita

Hingga ruang paling benderang

Ketika musuh datang

Lima jari ibu mengepal, kokoh

Menghujam jantung penjahat

Tanpa ampun.

(Pondok Rogate, 1 Juni 2017)

 *Francis Mura

Lahir, Diawatu- Nagekeo 13 April 1993

Alumnus SMAN 1 Keo Tengah, Maunori- Nagekeo, Flores

Saat ini menjadi Mahasiswa STFK Ledalero, Maumere

Tinggal di Biara Rogationis- Maumere

 

Pesan Ke-Indonesiaan dari Lima Jari Ibu

(Catatan Atas Puisi-puisi Francis Mura)

Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya VoxNtt.com

Mendalami puisi Lima Jari Ibu I dan Lima Jari Ibu II dari Francis Mura kita diajak merefleksikan situasi kebangsaan. Dari rumah yang bernama Indonesia Lima Jari Ibu I melukiskan peluk Ibu Pertiwi yang tetap tampak  merangkul. Dan pada Lima Jari Ibu II mengungkapkan ibu yang melindungi itu penuh amuk dan amarah. Francis dan tentunya pembaca puisi-puisinya pada edisi ini diajak untuk melihat realitas tentang wajah negeri atau ibu pertiwi yang sendu, yang karut-marut. Dua puisi ini tampak sangat sederhana dengan permainan diksi yang biasa saja tapi menghadirkan pesan pembacaan yang kuat untuk melihat ke-Indonesiaan kita yang pluralis itu.

Puisi atau karya seni lainnya saya kira adalah pengungkapan semacam harmoni, keseimbangan dasariah antara segala kenyataan di atas bumi. Fenomen dasar seni adalah keindahan yang berkarakteristik sekaligus objektif dan subyektif. Seni objektif sejauh yang indah itu menampakkan diri dalam dirinya sendiri. Sedangkan subjektif sejauh yang indah itu menampakan diri kepada kesadaran manusia sebagai pemberi arti, untuk kemudian melahirkan bentuk-bentuk simbolis seni (karya seni). Namun pada dasarnya bentuk-bentuk karya seni dijadikan dari persatuan dua kutub di atas. Maka dua puisi dari Francis adalah gerak jiwa  atau gerak hidup yang diberi nilai estetis sehingga mengajak kita untuk aktif dan membebaskan yang sendu juga karut-marut itu.

Puisi Lima Jari Ibu I dan Lima Jari Ibu II jika saja dirunut pada praksis kebudayaan  ke-Indonesiaan yang  pluralis, maka ia mengandung pesan moral untuk tidak membuat pertiwi yang khas karena keberagaman itu menjadi sendu karena laku anak bangsanya. Lima jari ibu tetap harus diwujudkan dalam kebanggan karena semua merasa berumah bernama Indonesia.