Kupang, Vox-NTT-Literasi terus menjadi isu penting di tingkat global saat ini. Indonesia menjadi salah satu negara yang terus bergeliat untuk menjadikan isu ini mengakar ke masyarakat, baik dari pusat hingga ke seluruh plosok negeri sebagai kristalisasi misi mencerdeaskan kehidupan bangsa.
Bahwasannya membaca adalah jembatan emas menuju kesejahteraan. Karena itu membaca harus dibudayakan untuk menjadi bagian dari rutinitas manusia Indonesia.
Hasil survey tingkat dunia yang dilakukan oleh Kenekticket tentang minat baca seluruh negara di dunia telah menempatkan Indonesia pada urutan ke 60 dari 61 negara yang disurvey, dengan jumlah 0-0,001 buku yang dibaca pertahun.
Demikian hal ini disampaikan Presenter kondang, pengasuh program Mata Najwa, Najwa Sihab yang akrab disapa Nana dalam konferensi Pers (Konpres), Jumat (11/8/2017) di Aston hotel Kupang sebelum dirinya menghadiri talk show malam catatan akhir Mata Najwa yang bertajuk “Literasi Untuk Kebinekhaan” di Aula Eltari Kupang NTT.
Presenter berkarisma yang kerap membuat nara sumber sering kikuk kala mengadiri acara Mata Najwa di Metro tv itu, sejak tahun lalu mengemban tugas sebagai Duta Baca Indonesia. Baginya mengemban tugas sebagai Duta Baca Indonesia bukanlah perkara mudah, melainkan merupakan sebuah tantangan besar terutama dalam menggerakan minat baca anak bangsa di seluruh plosok tanah air.
Ia pun mengaku, saat dirinya diberi tanggung jawab itu merasa tegang dan stress usai mengetahui minat baca Indonesia begitu rendah.
“Awal-awal ketika saya ditunjuk sebagai duta baca, sempat tegang dan stress terutama karena kalau kita melihat angka atau data-data statistik yang menunjukan bahwa Indonesia sangat jauh tertinggal, dibanding dengan negara-negara lain kalau kita bicara soal minat baca. Survey yang terakhir misalnya, kemudian membuat kita harus mengurutkan dada ketika survey di kenekticket dari 61 negara, kita nomor 60 dan Botswana sebagai juru kunci” Ujarnya.
Namun bagi Nana, hasil ini hendaknya bukan sebuah masalah tetapi adalah tantangan bagi seluruh warga negara untuk terus membangkitkan gerakan literasi, menumbuhkan minat baca hingga ke daerah-daerah plosok.
Nana yang kerap berkelakar ini juga menyampaikan dengan hasil ini tak boleh membuat anak-anak bangsa menjadi kehilangan semangat, tetapi ini harus dijadikan motivasi untuk terus membaca sambil memprovokasi yang lain. Karena menurutnya walaupun berada pada posisi yang sangat rendah namun tetap harus bersyukur karena di bawah Indonesia masih ada satu negara lagi yaitu Botswana.
Dengan penuh kelakar dia menyampaikan “Joke yang sering saya sampaikan, walaupun joke yang agak sedih begitu bilangnya, masih untung ada Botswana, kalau tidak ada Botswana berarti kita memang paling bawah” katanya penuh canda.
Hasil survey ini memang menurutnya sangat berkorelasi kalau dilihat dari angka-angka dan data-data lain.
“seringkali memang, fakta angka di atas kertas kemampuan membaca anak-anak Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tetangga, atau asean sekalipun itu masih sangat jauh. Kalau di Eropa atau di Amerika, orang bisa membaca buku, anak-anaknya bisa sampai 25-27 buku pertahun, di Jepang anak-anaknya bisa membaca buku 15-18 buku pertahun. Di Indinesia katanya 0 buku, 0,001” Katanya.
Demikian Nana, data-data itu memotret secara umum tidak menggembirakan. Dan menurutnya hal itulah yang membuat sebagian orang merasa ini tugas yang teramat berat dan sulit untuk menemukan suatu form yang tepat untuk bagaimana memulainya.
Akses Buku Kurang dan Mahal
Hal ini pulalah yang terlintas dalam benak Nana saat dirinya dipercayakan sebagai Duta baca Indonesia.
“Itu pula yang ada di benak saya ketika ditunjuk menjadi duta baca. Tetapi kemudian selama setahun berkeliling, datang berjumpa dengan para aktivis literasi, bertemu dengan guru-guru, ke forum-forum taman bacaan masyarakat. Saya menemukan ada satu kenyataan yang berbeda dan hal itu juga yang kerap dikatakan oleh pegiat literasi. Sebetulnya bukan minat bacanya yang rendah tetapi akses terhadap buku-buku itu yang masih sangat kurang” Aku Nana.
Hal ini kata dia terbukti ketika beberapa kali dirinya mengunjungi beberapa tempat, begitu ada buku, anak-anak bersuka cita dengan berebut akan menghampiri sang pembawa buku, dan akan menangis ketika pembawa buku itu pulang dan membawa pergi buku-bukunya.
Lanjut Nana, pengakuan yang sama dia dengarkan dari para pegiat literasi bahwa bukan karena minat baca yang rendah tetapi karena akses terhadap buku-bukunya yang kurang.
“Saya kemudian menganaloginya, ketika orang yang lagi dahaga dan dikasih air maka ia akan meminta air itu lagi. Yang harus kita benahi adalah akses terhadap bahan bacaannya. Karenanya, strateginya mungkin berbeda. Bagaimana caranya agar, pertama buku bisa lebih murah,” ungkapnya.
Karena harga buku yang mahal, kata dia adalah juga satu PR yang besar buat Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain. Harga buku di Indonesia memang termasuk yang lebih mahal karena ada begitu banyak komponen biaya dalam buku.
“Bukan hanya pajak ketika kita beli buku, ada PPNnya. Tetapi bahan baku kertasnya, kemudian pajak importnya. Itu semua adalah komponen-komponen yang membuat harga buku mahal. Itu satu hal yang menjadi tantangan. Sudah keluar UU Perbukuan, tetapi itu masih belum secara detail menjabarkan peraturan pelaksanaannya, akan seperti apa. Olehh karena itu harus diperjuangkan bagaimana supaya harga buku lebih murah,”Tandas Jurnaslis pemilik kode 01 di Metro tv ini.
“Kedua, kalau bukunya sudah murah bagaimana caranya supaya buku-buku itu bisa menyebar ke plosok-plosok, tidak hanya buku-buku bagus di pusat-pusat kota, tidak hanya di pulau jawa tetapi juga sampai di ujung timur Indonesia orang juga mengakses buku dengan lebih mudah. Inilah yang kemudian berusaha kita lihat dan tangani Bersama-sama,”tambahnya.
Untuk menjawabi hal ini, Pencinta tenunan ikat NTT ini menjelaskan sudah muncul beberapa ide, dan ide itu menurutnya sudah bergulir Ketika bulan mei lalu Presiden Jokowi mengundang teman-teman pegiat literasi ke Istana, Forum TBM yang jumlahnya 3000 dan meyebar ke seluruh plosok Indonesia dan betul-betul bergeliat kegiatannya.
Selain itu, katanya ada teman-teman pustaka bergerak. “Ketika diundang Presiden Jokowi ke Istana tercetuslah ide untuk membuka pos pengiriman buku. Pertama permintaannya tidak muluk-muluk. Bagaimana kita bisa mengirim buku-buku lebih murah ke daerah-daerah, karena orang-orang yang ingin donasi buku-buku itu banyak. Di rumah saya misalnya ada saja sejumlah orang mengumpulkan buku untuk dikirimkan, tetapi harga untuk mengirimkan bukunya itu mahal, lebih mahal ongkos kirim bukunya dibandingkan dengan harga bukunya, Terang wanita berhidung mancung itu.
Penghambat terbesar dalam mengirimkan buku-buku ke daerah kata dia adalah Karena jangkauan negeri yang begitu jauh, infrastruktur yang juga masih banyak PR sehingga membuat biaya buku itu menjadi lebih mahal.
“Kita Cuma minta supaya lebih murahlah kirim buku. Tetapi kemudian lebih dari itu pemerintah mencanangkan hari kirim buku gratis. Sekarang setiap tanggal 17 perbulan kita bisa mengirimkan buku ke manapun, dari manapun lewat PT. POS tanpa biaya sepeserpun. Itu satu gebrakan yang kluar biasa,” tandas Najwa.
Untuk membumikan budaya literasi sekaligus mendorong program yang dicanangkan pemerintah ini, para pegiat literasi sejak tiga bulan kemudian setelah dicanangkan dengan PT POS menyebutkan tanggal 17 sebagai hari gaji buku.
“Dan itu adalah satu hal yang alahamdulilah bisa dilakukan selama tiga bulan. Tetapi memang masih kurang terutama sosialisasinya juga harus digencarkan. Sehingga setiap kali saya ke mana-mana sllu bilang kalua punya buku tolong ditumpuk, dibungkus dengan rapih maksimal 10 kg dan antarkan ke kantor pos manapun silahkan pilih mau kirim ke mana, ada 3000 titik TBM di Indonesia dan selalu ditambah” tegasnya.
Beberapa hal di atas adalah cara yang diakuinya agar asupan buku-buku dan berbagai bahan bacaan bisa sampai ke daerah-daerah seperti ke Aceh, Papua, NTT atau mau kemanapun ada 3 ribu titik TBM di Indonesia yang kemungkinan bisa bertambah.
“ini satu terobosan yang kita lakukan untuk bisa memastikan minimal asupan buku atau jalur distribusi buku bisa sampai ke daerah-daerah. Pendekatan juga ada yang berbeda, kita memperkenalkan konsep perpustakaan digital (Ipusnas). yang bisa diunduh di telfon genggam, computer, android ataupun apple. Formnya seperti social media ini untuk memenuhi hobi generasi milenial yang sangat suka dengan social media. Jadi buat platformnya sharing. Dia bisa pilih buku, bisa pinjam buku gratis, dia bisa berkomentar tentang isi buku, dia bisa menyarankan buku itu ke orang lain. Ini kita dorong untuk generasi milenial yang sudah tak suka lagi dengan bau-bau buku” Pungkasnya.
Kerja Sama dengan Kepolisian
Najwa yang mengaku doyan dengan aroma kertas-kertas pada buku ini menyampaikian, untuk membudayakan literasi ini maka dirinya telah membangun kerja sma dengan berbagai pihak. Selain Pemerintah, salah satu yang diceritakannya adalah dengan pihak/institusi kepolisian.
Kapolri, Jendral Tito Karnavian menurutnya telah memerintahkan seluruh jajaran anak buahnya di tingkat Polda, Polres dan Polsek untuk Bersama-sama melancarkan misi mencerdaskan kehidupan bangsa ini.
Namun menurut dia, hal ini perlu didukung oleh seluruh stake hoders terutama pemerintah agar menjadikan gerakan literasi ini sebagai gerakan Bersama.
Benahi Perpustakaan Daerah
Menurut salah satu pegiat Literasi NTT yang enggan namanya dimediakan, saat dijumpai di lokasi kegiatan malam talk show menyampaikan untuk menjadikan NTT sebagai Provinsi maka harus memulai dari pimpinan daerah, seperti Gubernur, Bupati/Walikota, Camat dan para Kades.
Dan menurut dia saat ini peran pemerintah di NTT belum Nampak dalam mendorong isu mencerdaskan kehidupan bangsa ini. Hal ini kata dia dibuktikan dengan kondisi perpustakaan daerah yang terkesan tidak ramah literasi.
“Lihat saja perpustakaan kita itu, kalau dilihat dari luar orang banyak tidak tahu kalau itu adalah perpustakaan. Di dalam ruangan juga tidak diperhatikan, gelap. Jadi sangat tidak ramah, orang akan tidak betah untuk berada di sana. Belum lagi buku-buku yang ada itu buku-buku tua semua. kalau kata Abdur (Komedian asal NTT), sejak tahun orang teriakan kata merdeka sampai Folback dong Kaka bukunya itu-itu saja” tandasnya penuh sinis.
Menurut dia di beberapa daerah lain, kalau datang dari jauh orang sudah tau kalu itu adalah perpustakaan dan ketika masuk di dalam ruangannya nyaman, membuat orang senang dan betah membaca. Buku-buku juga selalu diperbaharui sehingga ada daya tarik untuk orang ke Perpustakaan.
“Menurut saya harus dimulai dari para pemimpin kita, tapi kalau pemimpinnya juga malas membaca ya memang susah kita untuk maju, apa lagi menjadikan literasi sebagai budaya,” katanya. (Boni Jehadin/VoN)