Atambua, Vox NTT- Proyek pembangunan pelebaran jalan jalur Lakafehan-Motaain di Desa Silawan, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu yang dikerjakaan Kontraktor pelaksana PT. Pundi Mas Bahagia di bawah pengawasan PT. Yodya Karya masih menyimpan persoalan.
Demikian disampaikan Silvester Wadan Fatin, salah satu tokoh masyarakat di Desa Silawan. Betapa tidak, proyek pelebaran jalan menjadi dua jalur dari Lakafehan-Motaain itu menggusur tanah milik warga.
Proyek yang bersumber dari dana APBN melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jendral Bina Marga, Balai Pelaksanaan Jalan Nasional X wilayah Nusa Tenggara Timur dengan pagu anggaran Rp.59.123.456.000,00, nomor kontrak HK.02.03/APBN/41/PK-4.2/IV/17, tanggal 3 April 2017 itu sudah mulai dikerjakan sejak tiga bulan lalu.
Namun hingga kini masyarakat belum mendapat ganti rugi atas tanah mereka sejak digusur. Hal ini membuat masyarakat Desa Silawan yang terdiri dari 96 KK kesal dengan kebijakan pemerintah yang tidak
memperhatikan hak mereka.
Jumlah lahan yang digusur sebanyak 110 bidang dengan rincian 104 bidang merupakan tanah milik masyarakat dan 6 bidangnya lagi merupakan tanah adat.
Diakui, sejak awal penggusuran, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan kontraktor pelaksana tidak melibatkan pemilik tanah untuk membicarakan ganti rugi atas tanah milik masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Viktor (63), salah satu warga yang tanahnya digusur, saat ditemui media ini di kediamannya, Minggu (20/8/2017).
Viktor meminta kepada pemetintah dan kontraktor pelaksana agar mengehentikan semua pekerjaan sebelum ada ganti rugi atas tanahnya.
Dirinya menegaskan, tokoh masyarakat dan pemilik tanah yang lain sudah membicarakan untuk kembali menutup jalan apabila ganti rugi belum direalisasikan.
“Selagi proses ganti rugi belum terlaksana, maka semua kegiatan stop dulu. Kami sudah bicarakan, untuk menutup kembali jalan dalam minggu ini. Ini bukan untuk kepentingan satu atau dua orang tapi ini untuk
banyak orang.
Jadi paling tidak kita semua harus tahu jalan terbaiknya seperti apa. Kita mau haknya masyarakat harus dipenuhi karena kewajiban sudah dilakukan,” tegas Viktor.
Diakuinya, Bulan Juli lalu masyarakat Silawan yang tanahnya digusur nekat menutup jalan yang digusur, dan perwakilan masyarakat pergi ke Atambua bertemu dengan pemerintah daerah, bagian pembanguan pada Setda Kabupaten Belu.
Hal ini kata dia karena masyarakat kesal dengan pemerintah yang sejak awal tidak melibatkan masyarakat untuk membicarakan soal penggusuran atas tanah mereka.
Dari pertemuan itu, tiga hari kemudian tim dari daerah bersama Pertanahan Kabupaten Belu turun ke lokasi dan melakukan sosialisasi serta mengukur tanah yang digusur.
Setelah melakukan pengukuran, masyarakat diminta untuk mengumpulkan sertifikat tanah dan foto copy rekening bank, namun hingga hari ini proses pembayaran ganti rugi belum dilakukan.
“Sejak awal kami tidak dilibatkan sehingga kami pergi menghadap di bagian pembangunan di kantor Daerah. Saat itu mereka janji untuk urus dan setelah tiga hari orang dari daerah bersama pihak pertanahan turun dan mereka sudah ukur tanah yang digusur karena luasnya belum diketahui” jelas Viktor yang dua bidang tanahnya ikut tergusur.
Hal senada juga dikeluhkan Agustinus Berek, pemilik tanah lainnya. Dia mengakui jika dirinya bersama pemilik tanah yang lain pernah menutup jalan tersebut pada bulan Juli lalu.
Menurutnya, mereka melakukan aksi penutupan jalan karena pihak pekerja sudah menjajikan untuk memberikan ganti rugi, namun tidak direalisasikan. Hal tersebut memicu kekecewaan masyarakat.
“Mereka yang janji untuk ganti rugi. Tapi kami sudah tunggu-tunggu, tidak ada ganti rugi. Terpaksa kami palang jalan. Setelah kami palang, mereka turun ke lokasi. Setelah mereka turun, mereka sosialisai dan minta kami untuk serahkan sertifikat , KTP, Kartu Keluarga dan buku rekening serta bukti pajak,” katanya.
Agus dan Viktor mengakui, sebagai masyarakat mereka sudah melaksanakan kewajiban, karena itu mereka meminta agar hak mereka sebagai masyakrat juga mesti dipenuhi.
Mereka menyampaikan, bersama perwakilan dari pemerintah desa Silawan, pernah bertemu dengan pihak kontraktor. Namun pihak kontraktor pelaksana, PT. Pundi Mas Bahagia menjelakan jika proses ganti rugi atas tanah merupakan tanggungjawab pemerintah pusat.
Perwakilan tokoh masyarakat, Silvester Wadan Fatin juga menyampaikan kekesalannya atas ulah pemerintah dan kontraktor yang tidak melibatkan masyarakat secara aktif. Dirinya mengakui, merupakan salah satu yang bersama perwakilan masyarakat pergi bertemu dengan pihak Bagian Pemda Belu.
Namun dalam pertemuan itu, mereka mendapatkan penjelasan bahwa kegiatan pembangunan perluasan jalan Lakafehan-Motaain merupakan tanggungjawab pemetintah pusat.
“Saat bertemu dengan orang di bagian pembangunan, kami sudah sampaikan keluhan kami. Kami tidak mau kalau kami sudah lakukan aksi nekat lalu nanti dianggap kurang baik oleh Pemda Belu. Namun saat itu kami mendapat jawaban bahwa lahan ini lahan milik masyarkat jadi kalau tidak ada ganti rugi, masyarkat bisa saja menutup”. Jelas Fatin
Fatin meyakini, tidak ada koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dengan pemerintah daerah Kabupaten Belu.
“Memang ini rumah kita, tapi seolah-olah dapurnya milik mereka. Kita tidak tahu. Meraka datang langsung action. Ada kendala baru mereka buang ke daerah,” demikian disampaikan pihak pemda kepada Silvester.
Dia menambahkan, dalam minggu ini dirinya bersama perwakilan masyarakat akan kembali ke Atambua untuk bertemu dengan pihak Pemda. Jika belum ada jawaban yang pasti maka dua atau tiga hari ke depan masyarakat akan kembali menutup jalan tersebut.
Semetara pihak kontraktor PT. Pundi Mas Bahagia, Bonefasius Maintura ketika dikonfirmasi mengatakan, proses ganti rugi atas tanah masyarakat merupakan tanggungjawab kementerian.
Dirinya mengakui, untuk proses ganti rugi saat ini prosesnya masih berlangsung. Apabila sudah ada hasil dari Pertanahan, maka pihak kementerian akan langsung mentransfer uang ganti rugi ke rekening masing-masing pemilik tanah.
“Itu merupakan tanggungjawab dari kementerian, dari PU. Uang ganti rugi itu dari merka dan bukan dari perusahan. Sementara dalam proses dan sudah dilakukan pengukuran. Apabila sudah ada hasil dari pihak
Pertanahan maka Kementerian akan langsung trasnsfer uang ke rekening masing-masing. Prosesnya sementara berlangsung dan dibantu oleh pemda” jelasnya.
Pihak perwakilan Kementerian dalam hal ini Satuan Kerja Wilayah Nusa Tenggara Timur, hingga berita ini dirilis belum bisa dikonfirmasi. Nomor telpon genggam yang coba dihubungi selalu mengalihkan panggilan dan pesan singkat yang dikirim juga tidak dibalas.(Marcel/VoN)