Tongkat Merah
-kepada Ben Mboy
Tanganmu membungkus takdir
Sembari menggenggam bilangan nasib, berupa-rupa bentuknya. Di atas tanah, muncul riak-riak air yang menetes dari batu pualam, semerbak sedapnya
Pun kau memperhatikan rona-rona gelisah memancar begitu saja, berkeringat, berbasah, berlayu, bersakit, berhaus dan berbau
Tanganmu membungkus takdir
Berhari-hari kau meremuk risau gelisah dari tubuh-tubuh kerdil
Sebab tanah yang memangku terlalu letih menopang
Apa lagi memberinya susu madu
Tanganmu membungkus takdir
Lihai menancap tiang-tiang perkasa
Tubuh-tubuh melusu ibarat bulan yang dibenci malam
Gelap…kusam
Tiang perkasa itu hanya memahami bahwa air tak mungkin mengalir darinya
Butuh tangan-tangan ungul menyiang garis yang dilewati nasib
Tanganmu membungkus takdir
Perkasa bertopang sebilang tongkat merah
Air yang sejuk memandikan tumpukan tubuh
Tongkat memerah-membelah batu pada tanah-tanah kerdil
Tanganmu membungkus takdir
Tongkatmu memerah…airnya memancar
Membugar dahaga
Sajak Kacamata Burung-Burung Manyar
-untuk Romo Mangunwjaya
Ah saya ini daging tua
Tidak menarik untuk diterjang peluru
Tubuh. Jiwa. Mata,-hatimu. Bukankah kau
Adalah smbol. Simbol gizi bagi anak-anak kami?
Pernah aku ingat waktu engku rehat, aku pun diajak rehat
Dari kebisingan dan belenggu dunia. Di pekarangan negeri
Engkau sedikit memuji geliat bunga-bunga seroja, konon katamu itu adalah lambang bianglala bangsa
Aku mengira bunga-bunga itu busuk lantaran kebanyakan tikus-tikus zaman mendengku di sana
Tikus-tikus yang menggali, tikus yang menyerobot, tikus yang saling sikatsikut
Dan tikus yang tambun-tambun
Dan benar, saat kau lupa membawa pulang kacamatamu dari pekarangan itu, aku memperhatikan ada banyak tikus-tikus negeri ini yang membangun istana gelap dari tumpukan koin-koin dan batu-batu tambang leluhur kami
Seringkali anak-anak kami menadah dan mengadu takdir
Meski tak didengar karena mata-mata mereka, mata batu,
Mata jiwa yang disilaukan gemerlap akik buruan para keluarga feodal tikus-tikus berdasi itu
Romo, terima kasih
untuk kacamatamu
*Ardi Suhardi adalah mahasiswa STFK Ledaero- Buku Puisinya yang telah terbit berjudul Minggu Pagi-Penerbit Carol Maumere
Mengenang Tokoh Suri Tauladan
Oleh Hengky Ola Sura-Redaksi Seni Budaya Voxntt.com
Puisi selalu melaju dengan dan tanpa tedeng aling-aling. Ia melintas segala zaman. Dua puisi pekan ini adalah hasil karya anak muda yang belia yang paham akan sejarah juga tentang bagaimana seharusnya kebaikan juga keberanian politik dan moral dari sosok macam Ben Mboi dan Magunwijaya itu tidak hanya dikenang. Tapi lebih dari itu ditunjukan lagi-selanjutnya dihidupi.
Ardi Suhardi, penyair kita pekan ini mengajak semua yang membaca puisi-puisinya untuk melihat sejarah perjuangan dua tokoh kharismatik. Yang satu seorang dokter, pensiunan tentara juga mantan gubernur NTT. Yang satunya lagi seorang pastor, budyawan, arsitek, juga seorang novelis. Ketokohan keduanya adalah bahwa mereka sama-sama fenomenal. Fenomenalnya mereka adalah bahwa mengangkat derajat kemanusiaan orang banyak untuk tidak dianggap rendah.
Tanganmu membungkus takdir
Berhari-hari kau meremuk risau gelisah dari tubuh-tubuh kerdil
Sebab tanah yang memangku terlalu letih menopang
Apa lagi memberinya susu madu
Baris sajak di atas nampak jelas bahwa NTT yang bagi kebanyakan orang dianggap terlalu terbelakang untuk segala-galanya toh akhirnya maju dan dikenal karena program berkelas macam Operasi Nusa Hijau dan Nusa Makmurnya Ben Mboi.
Pada Sajak Kacamata Burung-Burung Manyar yang ditulis untuk Romo Mangunwijaya, Ardi menghentak kesadaran semua yang membaca puisi-puisinya untuk mengenang sosok pejuang orang-orang kecil. Jika pada Ben Mboi ada tongkat merah maka untuk sosok Mangunwijaya diksi kacamata jadi penunjuk untuk ikut merasakan suasana akibat ketidakadilan, korupsi dan segala bentuk penindasan.
Akhirnya Ardi Suhardi dalam puisinya menohok kesadaran pembacaan kita untuk paham bahwa yang punya tongkat merah juga yang berkacamata dan menulis karya besar seperti Burung-Burung Manyar itu adalah orang-orang yang layak dikenang karena pernah membangun suatu agregasi kebijakan, perlawanan yang selalu penuh dengan hati nurani. Ya puisi Ardi kali ini mengajak kita untuk mengenang tokoh suri tauladan. Dan ikut bangkit melawan segala ketimpangan juga membangun kepedulian sosial.***