Politik adalah senjata ampuh yang bisa memerangi kemiskinan, human trafficking, pengangguran, buta huruf, dan berbagai problem sosial lainnya.
Oleh: Inosentius Mansur *
Beberapa waktu lalu, kita merayakan kemerdekaan Indonesia yang ke-72 tahun. Kita patut berbangga karena dalam rentang waktu yang cukup lama ini, ada banyak kemajuan yang dapat dirasakan.
Indonesia semakin hari semakin berjalan ke arah kedewasaan. Meskipun demikian, kita toh tidak bisa mengingkari fakta bahwa ada banyak aspek yang perlu direfleksikan, ditinjau dan direvitalisasi lagi.
Dikatakan demikian, karena tidak sesuai dengan cita-cita publik dan harapan kolektif-kolegial sebagai anak-anak bangsa. Salah satu aspek yang perlu dikritisi adalah praksis politik yang acapkali menyangkal esensi kemerdekaan.
Kebijakan-kebijakan publik-politik, tidak selalu memenuhi cita-cita kolektif-sosial, tetapi seringkali bertolak belakang dengan apa yang menjadi hakikat dari politik itu sendiri. Elite-elite politik di negeri ini (telah) menjadi aktor-aktor antagonis yang melahirkan/menyebabkan karut-marutnya ruang sosial kita.
Alih-alih diharapkan menjadi agen yang membantu rakyat untuk semakin sejahtera, mereka malah tampil kontra-produktif dengan melibas-habis harapan dan cita-cita kebaikan publik.
Tulisan ini berusaha untuk merefleksikan lagi dimensi liberatif dari politik kita. Tesis dasarnya adalah politik merupakan sarana untuk memerdekakan rakyat dari berbagai bentuk kepincangan sosial.
Depolitisasi
Politik pada ghalibnya adalah matra artikulatif. Dikatakan demikian, karena dalam dan melalui politiklah, kehendak bersama seluruh rakyat dapat diperjuangkan untuk kemudian direalisasikan.
Dalam dan melalui politiklah, apa yang telah didesain secara bersama dapat diwujudkonkritkan. Tentang hal ini, pendapat Hans Kelsen benar ketika ia mengartikan politik dalam dua hal. Pertama, politik sebagai etik, yang berkenaan dengan orientasi manusia agar tetap hidup secara sempurna.
Kedua, politik sebagai teknik yang berkaitan dengan cara manusia untuk mencapai tujuan. Merujuk pada definisi pemikir ini, saya bisa mengatakan bahwa politik merupakan sarana yang membantu manusia untuk bisa hidup secara sempurna.
Orientasi manusia adalah mencapai kesempurnaan atau dalam bahasa populernya, bonum commune. Tetapi hidup secara sempurna/bonum commune tidak akan tercapai jika praksis perpolitikan menggunakan cara-cara nir-etik dan tidak mengacu kepada aspek-aspek demokrasi.
Kebaikan bersama akan tercipta jika semua elemen bangsa, terutama elite-elite sosialnya selalu berpikir dan bertindak altruis. Karenanya, penjabaran politik melalui kebijakan publik, mesti berpijak pada etika dan realitas kemasyarakatan.
Menyitir Aristoteles, kebijakan publik mesti memperlihatkan atau mengafirmasi politik sebagai usaha untuk mencapai kebaikan bersama. Alangkah ironisnya jika politik menjadi sarana untuk mencapai kebaikan segelintir orang. Sungguh tidak elok jika politik didepolitisasi karena berusaha untuk mengakomodasi harapan sekelompok orang.
Tetapi justru itulah yang sering terjadi. Bagaimana tidak, dalam ruang demokrasi kita, politik tidak lagi (di)tampil(kan) sebagaimana mestinya. Elite-elite sosial-publik telah mendepolitisasi politik dan mendekonstruksinya menjadi alat parsial-pragmatis.
Politik diperalat untuk memenuhi konpirasi-konspirasi tertentu. Alhasil, politik seringkali bertolak belakang dengan esensinya. Depolitisasi seperti ini menjadi trend perpolitikan kita dan secara massif tidak hanya menghancurkan kesadaran berpolitik warga, tetapi juga telah menyebabkan disparitas dalam ruang sosial.
Politik tidak lagi berorietasi humanis, tetapi acapkali tampil sebagai monster yang memberanguns sakralitas dan harkat demokrasi.
Memederkakan
Jika merujuk pada arti dan esensinya, maka sebenarnya politik itu berdimensi dan berhakikat liberatif. Politik seharusnya menjadi matra yang memerdekaan rakyat dari berbagai bentuk penderitaan. Politik adalah senjata ampuh yang bisa memerangi kemiskinan, human trafficking, pengangguran, buta huruf, dan berbagai problem sosial lainnya.
Politik harus menjadi sarana untuk membebaskan rakyat dari segala bentuk penindasan yang selama ini terjadi sebagai akibat dari salah kaprah dalam kebijakan sosial. Politik bukanlah alat elite-elite sosial-publik untuk mengamankan posisi mereka, tetapi mesti menjadi instrumen yang dipakai untuk mendengarkan keluhan rakyat.
Politik harus menjadi matra akomodatif yang bertujuan membuka belenggu sosial yang selama ini telah “mengikat-rantaikan” rakyat. Politik bukanlah milik elite-elite politik untuk mendapatkan legitimasi publik, tetapi mesti menjadi sarana untuk mengajak serta menyadarkan rakyat agar aktif-partisipatif dalam pembangunan.
Politik harus menjadi pijakan untuk menciptakan kestabilan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Politik adalah sarana yang dengannya elite-elite publik memperlihatkan keberpihakan mereka kepada rakyat.
Karena itu, politik tidak boleh manjadi subordinasi dari parpol ataupun tokoh (pemimpin) tertentu. Politik in se memiliki orientasi untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, kekuasaan yang merupakan salah satu elemen penting dari politik itu mesti memperlihatkan keberpihakan yang jelas kepada rakyat lewat program-program, agenda-agenda dan kebijakan sosial – publik yang liberatif.
Mengacau kepada wacana poststrukturalist Foucauldian, dapatlah dikatakan bahwa politik mesti memperlihatkan bagaimana kekuasaan itu beroperasi, dan beralih dari sistem dominative/represif kepada sistem reproduktif.
Di sinilah, kekuasaan mesti bisa mereproduksi konsepsi politik ke dalam tindakan-tindakan pemerdekaan yang konkrit. Dengan demikian, kekuasaan tidak boleh menjadi sarana untuk melahirkan konsep dan tindakan kontraproduktif.
Kekuasaan, sebagai bagian penting dari politik, mesti memperlihatkan politik sebagai sarana yang bukan hanya dipakai untuk mendapatkan posisi, tetapi terutama untuk menjabarkan posisi itu secara benar dan bertanggung jawab. Politik mesti mengadvokasi kepentingan rakyat. Politik harus menjadi sarana untuk memerdekakan rakyat dari berbagai problem sosial.***
*Penulis adalah Pemerhati sosial-politik dari Ritapiret, Maumere