Oleh: Mila Lolong*
Malam sepertinya begitu gelap, langit enggan menampakan cahaya sedikitpun. Suasana begitu mencekam.
Terdengar dari sebuah rumah diujung sebuah kampung seorang ibu setengah tua, dengan sedikit uban diatas kepalanya, kulitnya tidak kencang lagi membungkus tulang wajahnya. Dia ibu Helena. Ibu Helena tengah berbisik kepada anak-anaknya.
“Ini cukup untuk makan malam kita nak,” ucap ibu Helena dengan mata berkkaca-kaca sembari membelai rambut anak-anaknya. Ibu sudah kenyang tambahnya lagi. Memang ibunya suka berbohong kepada anak-anaknya bahwa ia sudah makan, dia sudah minum. Padahal yang sungguhnya perutnya sedang lapar minta diisi. Betapa kuat ibu mengemas semunyanya itu demi anak-anaknya.
Mereka menetap di sebuah kampung dimana situasi masyarakat saat itu hidup saling membenci, yang susah makin susah dan yang kaya senang melihat mereka yang susah. Hidup saling gunting-mengunting, saling menjatuhkan. Sehingga ayah dari anak-anak ibu Helena di usir dan terpaksa pergi dari kampungnya sendiri, ia marantau disuatu tempat, ia tak bisa membawa pergi istri dan anak-anaknya. Sehingga istrinya harus sendirian bersama dengan anak-anak mereka. Ayahnya pergi dan sesekali memberi kabar kepada mereka dengan mengirim surat. Ibu Helena hidup sendirian bersama tiga orang anak mereka.
Di musim hujan tiba ketika semua orang dikampungya sibuk membersihkan kebun, bersiap-siap untuk menanam benih ibu Helena juga melakukan hal yang sama. Bangun dipagi hari selain mengurus anak-anaknya pergi ke sekolah , ia pun bergegas ke kebun. Ibu helena sudah terbiasa dengah hal itu sebelun suaminya pergi meninggalkan mereka untuk sementara waktu. Di kebun selain membersihkan rumput, menanam benih, Ibu Helena dengan lengan dan keringatnya membuat pondok darurat untuk tempat berteduh tak kala terik membakar dan hujan menguyup.
Hidup mereka hanya mengandalkan sedikit hasil dari kebun dan jasa yang di jualkan kepada penguasa di kampungnya demi sesen rupiah, untuk menopang hidup mereka. Hingga disuatu hari di kebun terlihat ibu Helena sedang sibuk memutar-mutar isi kepalanya ia sedang memikirkan sesuatu. “Apa yang harus kukatakan pada anak-anak nanti”. Persedian beras dirumah tinggal sedikit setelah memasak pagi tadi. Ia harus kembali dari kebun dan membawa beberapa potong ubi kayu, setibanya dirumah dengan segala rasa dan air mata ia memasak ubi kayu itu buat makan di malam hari nanti. Sedang pagi tadi anaknya yang pertama memberikan sebuah nota yang isinya penagihan pembayaran uang komite sekolah. Rupiah tak ada sama sekali.
Sedang suaminya sudah tiga bulan tidak mengirim berita sama sekali. Malam harinya setelah menyiapkan makan untuk anak-anaknya ibu Helena tetap belajar seni menyembunyikan. Ibu Helena harus tetap belajar seni berbohong bahwa ia sudah kenyang. “Jangan khawatir nak, ibu sudah
kenyang, ibu tidak apa-apa”. “Bulan depan ayah pulang kamu pasti bahagia”. Katanya dengan mata berkaca dan suara serak yang ia berusaha menyembunyikan pula. Ia tahu anak-anaknya sangat rindu dengan ayah mereka. Anak-anaknya pasti rindu belaian dan kasih sayang ayah. Ibu helena hanya makan ubi rebus saja tadi. Anaknya yang pertama sudah sedikit paham salib yang di pikul ibunya, memeluk ibunya dan mengusap basah dipipi ibunya. Sedang anak kedua dan ketiga tidak tahu apa-apa tentang salib yang ibunya rasakan. Mereka belum cukup usianya untuk ikut menganggung hal itu. Malam semakin larut ibu helena pun mengajak anak-anaknya untuk beristirahat malam, sebelum tidur ia selalu mendongeng kepada anak-anaknnya sampai anak-anaknya nyenyak barulah ibu Helena merebahkan tubuhnya, sembari membagi lelah seharianya bersama mimpi malam.
Begitulah ia melakukan ini disetiap malam. Malam berganti pagi, minggu berlalu pergi, berganti bulan dan tahun. Anak-anaknya bertambah besar dan dewasa ibu helena tetap sabar menjalankan hidupnya seperti ini.menjalani hidup tanpa seorang ayah, sehinga segala pekerjaan yang harus dilakukan oleh laki-laki, ibu Helena dengan tegar melakukan semuanya itu. Sembari membuat anak-anaknya bahagia betappun berat, derita itu ia simpan baik-baik dalam sanubarinya.
Hingga di suatu malam ketika hendak makan seperti biasa ibunya menyiapkan makan buat ketiga anaknya. Tiba-tiba anak bungsunya meregek sambil bertanya “mah, kapan ayah pulang?” ibunya diam berpikir dalam hati, apa ini waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya ini?
Apa anak-anaknya kuat menerima semua kenyataan ini atau tidak?. Perihal yang ia sembunyikan beberapa bulan terahkir, tentang keberadaan suami dan ayah dari anak-anaknya. Memang ibu Helena pintar menyembunyikan segalanya semacam ia menyembunyikan luka hatinya, menyembunyikan rasa lelah, ketika sehariannya di kebun, dan sekembalinya ia menjual jasa. Ia sembunyikan dihadapan ketiga anaknya. Lalu perihal ayah dari anak-anaknya beberapa bulan yang lalu ibu Helena menerima sebuah surat yang dikirim keluarganya yang berada bersama-sama dengan suaminya di tempat perantuan. Isi surat itu adalah suaminya telah di kirim pulang bersama dengan beberapa teman lainya, dikirim ke kota kabupaten, di kirim bersama dengan masing-masing peti kayu. Ibu Helena sontak kanget karena yang di dengarnya dari berita di radio saban hari itu termasuk suaminya yang mayatnya dikirim pulang dari luar negri. Ibu Helena mengisahkan semuanya itu kepada anak-anaknya dengan berderai air mata, mereka saling berpelukan. Ketiga anaknya meraung sekeras-kerasnya. Sungguh betapa kejamnya hidup. Malam itu suasana di ujung kampung di rumah itu begitu mencekam betapa beratnya kenyataan yang harus diterima oleh ketiga anaknya. Sedang diluar petir mengelegar dan kilat menyambar, hujan kemudia turun dengan derasnya semesta seolah sedang merasakan duka keluarga ibu Helena. Hari-hari selanjurnya dijalankan Helena dan ketiga anaknya tanpa ayah dan berusaha menghibur diri dari duka lara dan menyembuhan luka hati mereka.
*Penulis adalah Mahasiswa Pendiddikan Ekonomi, Universitas Flores, penikmat seni dan sastra.
Yang Teknis dan Esensi dari Cerpen Mila Lolong
Oleh Hengky Ola Sura
Pertama, tentang cerpen yang ditulis oleh Mila Lolong pada edisi Minggu ini ada satu keunggulan yang wajib diapresiasi adalah bahwa Mila menulis sesuatu yang secara amat khas terjadi pada hidup bermasyarakat kita. Kisah tentang ibu Helena adalah kisah miris dari sosok perempuan kepala keluarga yang tegar menyimpan beban. Mulai dari beban batin juga beban ekonomi. Apa yang hidup dalam imaginasi Mila tentang hidup ibu Helena dan anak-anaknya adalah kisah tragis yang sayang tak meruap jadi kisah yang membuat sanubari pembaca bergetar. Bahwa Mila tampil apa adanya itu sudah luar biasa dalam berkisah hanya belum sepenuhnya mengatur tatanan kalimat jadi cerita bercerita yang dalam. Kesannya ya biasa saja. Secara pribadi saya tetap mengakui Mila, cerpenis kita minggu ini, karena selama ini Mila menjadi satu penulis muda yang fokus menulis puisi. Ketika Mila mencoba menulis cerpen, totalitasnya memang belum penuh. Semoga Mila terus berkarya.
Kedua, secara khusus untuk cerpen Mila edisi Minggu ini, saya tak membuat semacam perbaikan baik dari segi teknis sampai pada isi dari keseluruhan cerpen ini, dengan maksud agar semua kita saling belajar. Sebagai pengasuh rubrik sastra (cerpen dan puisi) pada voxntt.com, saya menggugah semua yang mencintai dunia menulis (menulis karya sastra/atau karya apa saja) untuk lebih teliti pada hal-hal teknis yang berkaitan dengan huruf besar, huruf kecil, tanda baca, kata hubung, kata depan. Setiap minggu voxntt.com menerima banyak sekali karya yang ditulis oleh berbagai kalangan. Dan hal-hal teknis umumnya selalu diabaikan. Banyak sekali yang menulis secara serampangan. Kami di voxntt.com berikthiar untuk menjadikan semua yang ikut terlibat dalam penulisan karya sastra agar dari waktu ke waktu semakin banyak NTT yang ikut berbagi kepada pembaca dengan karya yang wajib hukumnya untuk memperhatikan kaidah-kaidah kebahasaan.
Ketiga, cerpen Mila minggu ini tetap juga jadi satu catatan khusus yang kaya akan pesan moral dan kemanusiaan. Ibu Helena yang tegar. Anak pertama yang mulai memahami kondisi ibu Helena sampai pada pesan lebih tinggi soal pentingnya kualitas perhatian pada orang-orang yang nasibnya terpinggirkan hanya karena kemiskinan struktural. Kisah suami ibu Helena yang akhirnya meninggal di tanah rantau adalah bukti lemahnya sistem kontrol kita.