Jakarta, Vox NTT -Yosef Danur, tokoh masyarakat adat asal Biting-Colol, Desa Ulu Wae, Kecamatan Poco Ranaka Timur, Kabupaten Manggarai Timur, menjadi salah satu narasumber di Panel 5 Konferensi Tenurial 2017 di Luwansa Hotel and Convention Jakarta, Kamis, (26/10/2017).
Pada kesempatan itu, Danur berbicara tentang Hak Masyarakat dalam Areal Konservasi: Pengakuan dan Peran Masyarakat dan Komunitas Lokal.
Masalah yang disoroti dalam materi tersebut adalah kendala yang dihadapi masyarakat dalam memperjuangkan hak – hak masyarakat adat.
Pasalnya, hingga kini banyak tanah adat di NTT dan Indonesia pada umumnya belum memiliki pengakuan resmi dari pemerintah.
Salah satu yang diangkat yakni sengketa tanah adat Colol di Manggarai Timur yang belum memiliki pengakuan resmi pemerintah sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda.
Masalah lain adalah terkait rumitnya birokrasi pemerintahan mulai dari pemerintah pusat, daerah, dan DPR/D.
“Bicara tentang pengakuan perlindungan hak masyarakat adat itu melalui Kementerian lingkungan hidup dan kehutanan ditambah lagi peran pemerintah daerah mulai dari propinsi sampai tingkat kabupaten. Ini membutuhkan tingkat koordinasi yang sistematik” jelas Yosef.
Karena itu, di hadapan audiens di panel 5, Danur meminta agar pemerintah segera mengerucuti proses perjuangan penyelesain konflik agraria melalui pembentukan Satuan Tugas Khusus (Satgas).
Tujuannya agar nanti penyelesaian kasus lebih fokus dan tidak mengganggu tugas lain dari kementerian terkait.
Melalui satgas, seorang bupati juga dapat lebih mudah menyelesaikan persoalan karena sudah dibentuk satuan tugas khusus.
“Nantinya pènyelesaian konfliknya bermuara pada negara mengakui hak – hak masyarakat adat yang nantinya hasil dari konferensi ini akan disosialisasikan pada tingkat daerah. Di tingkat daerah nanti targetnya agar terbentuk Perda pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat” pungkas Danur.
BACA:Jalan Terjal Perjuangan Masyarakat Adat Pabubu TTS
Dalam penyelesaian konflik agraria, Danur juga memperkenalkan konsep budaya ‘Lonto Leok’ yang merupakan budaya asli Manggarai, Flores, NTT.
Model penyelesain konflik yang dilakukan secara adat ini akan menjadi pola baru dalam menyelesaikan konflik tenurial yang berada di wilayah lain di Indonesia.
Dia menjelaskan dalam konsep lonto leok, ada tiga pilar penting yang terlibat yakni pemerintah, lembaga agama dan masyarakat adat.
Wiratno, Dirjen KSDAE, melalui pesan WhatsApp, mengagumi konsistensi perjuangan Yosef Danur dalam perjuangan sengketa tanah Masyarakat Adat Colol dengan pemerintah Manggarai beberapa tahun silam.
“Om Yos adalah pejuang loh. Dia berjuang semenjak sejarah konflik perbatasan wilayah hutan tahun 2004 hingga jatuh korban,” ungkap mantan Kepala KSDA NTT ini.
Selaku Dirjen KSDAE, Wiratno berharap wilayah lain di Indonesia tidak terjadi konflik seperti yang dialami masyarakat Colol tahun 2004 silam.
Menurut dia model penyelesaian konflik lonto leok dengan melibatkan tiga pilar yakni pemerintah, lembaga agama dan masyarakat adat bisa dijadikan sebagai role model bagi daerah lain di Indonesia.
Untuk diketahui, konferensi Tenurial 2017 diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kantor Staf Kepresidenan (KSP), dan Koalisi Masyarakat Sipil pada 25-27 Oktober 2017 di Jakarta.
Salah satu tujuan Konferensi tersebut untuk melakukan peninjauan ulang dan revisi peta jalan tenurial yang dikembangkan pada masa pemerintahan sebelumnya.
Dalam pidato pembukaan konferensi, presiden Jokowi secara gamblang menjelaskan pemerintah akan memberikan sertifikat hak atas tanah masyarakat.
“Melalui konferensi Tenurial ini saya mengharapkan dapat diambil suatu kesempatan untuk mensinergikan kerja masyarakat sipil dan kementerian lembaga. Semua itu dalam rangka percepatan pemerataan ekonomi,” ungkap Jokowi.
Presiden Jokowi menambahkan melalui konferensi ini saya harap akan lahir hasil nyata rumusan peta Jalan yang dapat diterapkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat sipil dan para pelaku usaha dalam rangka percepatan reforma dan perhutanan sosial.
Sementara itu, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Usep Setiawan, mengatakan, Konferensi Tenurial diselenggarakan untuk mewujudkan cita-cita menuju pembangunan yang berkeadilan.
Konferensi ingin memastikan hak untuk reformasi penguasaan tanah dan pengelolaan hutan di Indonesia yang diyakini merupakan jalan utama untuk menutupi kesenjangan pembangunan khususnya di perdesaan telah terpenuhi.
“Ini sebagai jalan mewujudkan janji Nawa Cita pemerintahan Joko Widodo,” kata Usep.
Pemerintah, jelas dia telah menargetkan Perhutanan Sosial seluas 12,7 hektar dan Tanah Obyek Reforma Agraria seluas 9 juta hektar terpenuhi hingga 2019.
Upaya tersebut untuk menjawab tantangan atas beragam pola penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam rakyat secara lestari di perdesaan seperti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, wilayah persawahan, perkebunan rakyat, wana tani rakyat dan wilayah adat.
Kontributor: Leonardus Jehatu
Editor: Irvan
https://www.youtube.com/watch?v=zSa0X8bsb1M&feature=youtu.be