Catatan Redaksi: Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap tanggal 8 Maret menjadi momentum refleksi bagi semua kaum hawa. Berita ini telah diterbitkan pada 26 Januari 2017 lalu dengan judul “Berkat Kegigihannya Tolak Tambang di NTT, Aleta Baun Raih Penghargaan HAM”. Redaksi menilai catatan tentang prestasi mama Aleta di medan perjuangan penting dipublikasi kembali agar bisa menjadi titik permenungan bagi perempuan NTT bahkan dunia untuk menegaskan kembali eksistensinya di bawah kolong langit Bumi ini.
Jakarta,Vox NTT-Aleta Baun atau yang dikenal dengan sebutan ‘Mama Aleta’ berhasil mendapat penghargaan sebagai pejuang lingkungan dan Hak Asasi Manusia (HAM) dari yayasan Yap Thiam Hien, sebuah lembaga yang bergerak di bidang penegakan Hak Asasi Manusia.
Sebelumnya perempuan kelahiran Lelobatan, 16 Maret 1966 ini meraih penghargaan Goldman Environmental Prize 2013 atas jasa-jasanya di bidang konservasi alam.
Mama Aleta menerima langsung Goldman Environmental Prize 2013 dalam satu upacara khusus di San Francisco Opera House, Amerika Serikat, pada Senin 15 April 2013.
Kali penghargaan kembali disematkan padanya berkat kegigihannya memperjuangkan lingkungan dari gempuran tambang di Mollo, TTS, Nusa tenggara Timur (NTT).
Dalam sambutan mewakili Juri, Yosep Adi Prasetyo, mengatakan para penerima Yap Thiam Hien Award ini merupakan individu, kelompok atau lembaga yang bergiat membela dan mempromosikan HAM.
“Di tahun 2016, Dewan Juri menetapkan Aleta Baun dari Mollo, NTT sebagai peraih Yap Thiam Hien Award 2016,” ujar Adi Prasetyo, di Museum Nasional, Jakarta, Rabu (25/01/2017) lalu.
Dengan keteguhan hati dan keberaniannya, lanjut Adi Prasetyo, Aleta Baun menjadi panutan dan pemimpin dari sebuah gerakan untuk menyelamatkan alam, menyelamatkan martabat manusia, menyelamatkan lingkungan dan hak asasi manusia dari serbuan komersialisme industrialisasi, dari serbuan kerakusan dan ketamakan dunia usaha yang tidak peduli dengan lingkungan.
“Mama Aleta kami anggap mempunyai capaian yang luar biasa karena ia berhasil mentransformasikan gerakan yang sebetulnya dari gerakan individu, yang kemudian ia bisa mentransfer ke masyarakat sekitarnya, untuk juga terlibat di dalam gerakan untuk menolak penambangan marmer,” ungkapnya.
Mama Aleta, demikian Yosep Adi Prasetyo, telah dengan cerdas menggunakan pendekatan non-kekerasan untuk membangkitkan kesadaran warga terhadap kelestarian alamnya.
Kiprah Mama Aleta
Sebagian besar masyarakat Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, percaya leluhur mereka berasal dari batu, kayu, dan air. Ketiga unsur ini menjadi simbol marga dan martabat bagi warga setempat.
Karena itu, mereka terusik ketika wilayahnya terancam akibat penambangan. Salah satu masyarakat Mollo yang berdiri di garda terdepan adalah Aleta Baun atau sering dipanggil Mama Aleta. Marga Baun sendiri diambil dari unsur air.
Selain sebagai seorang ibu rumah tangga, Aleta Baun juga dikenal sebagai pemimpin pergerakan masyarakat adat Mollo dalam melawan arogansi perusahaan tambang yang merusak sumber hidup dan kehidupan mereka.
Dalam sambutannya, Aleta Baun, mengatakan banyak langkah yang telah dilakukan untuk mengusir perusahaan tambang dari tanah Mollo.
“Perjuangan itu butuh waktu dan energi yang panjang” ungkapnya di hadapan hadirin.
Ia menyebutkan, selama 13 tahun, bersama kelompok organisasinya berjuang secara keras melawan penguasa dan pengusaha yang menghancurkan lingkungan di daerah Mollo, TTS.
“Saya, anak seorang Amaf (raja), tetapi saya perempuan. Menurut adat saya tidak punya hak untuk bersuara dan tidak berhak menjadi pemimpin. Tetapi saya tak bisa tinggal diam, saya memimpin perjuangan menolak tambang. Kami, laki-laki dan perempuan harus berjuang untuk menyelamatkan tubuh kami,” ujar Aleta Baun yang disambut tepuk tangan hadirin.
“Tubuh kami, adat-istiadat merupakan senjata kami untuk berjuang, sebab itu yang mengikat kami dengan nenek moyang dan alam,” pekiknya keras.
Pada kesempatan itu juga, Aleta Baun menyampaikan terima kasih kepada Yayasan Yap Thiam Hien yang sudah memberikan penghargaan tersebut.
“Saya merasa bahagia, karena saya dihargai. Pekerjaan saya pada akhirnya dihargai oleh orang lain. Ini penghargaan bagi masyarakat yang sudah berjuang bersama saya. Tapi, di sisi lain penghargaan ini sebagai motivasi bagi saya dan masyarakat untuk terus berjuang melawan ketidakadilan, memperjuangkan dan mempertahankan hak-hak masyarakat,” ungkapnya.
Lebih lanjut, mama Aleta menuturkan, perjuangannya bukan dalam bentuk kekeraan. Namun, ia mengutamakan dalam bentuk aksi damai, mengedepankan dialog, melalui pendekatan adat dan mengkomunikasikan secara santun tapi tegas.
“Perjuangan kami adalah dalam bentuk aksi damai, tak mau menyakti hati orang tapi kami mau menyampaikan isi hati kami sesuai karakter kami sebagai masyarakat Mollo, karena kami kerja mencari kedamaian,” pungkasnya.
Hadir pada kesempatan itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya yang hadir mewakili Presiden Jokowi, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki, serta beberapa anggota DPR dan DPD RI.
Hadir pula seluruh Dewan Juri Yap Thiam Hien Award 2016 yang terdiri atas Todung Mulya Lubis (Ketua Yayasan Yap Thiam Hien), Makarim Wibisono (mantan Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa), Sandra Hamid (Direktur The Asia Foundation), Zumrotin K. Susilo (Aktivis Perempuan dan Anak) dan Yosep Adi Prasetyo (Ketua Dewan Pers).
Penulis: Ervan Tou
Editor: Irvan K