Sumba Timur, Vox NTT – Hasil penelitian yang dilakukan Education Sector Analytical and Capacity Development (ACDP) pada tahun 2016 di Sumba mengungkapkan salah satu penyebab rendahnya pemahaman siswa kelas awal terhadap materi pelajaran .
Hal ini disebabkan rendahnya penguasaan terhadap bahasa pembelajaran yaitu Bahasa Indonesia. Rendahnya pemahaman ini ditambah dengan buku-buku paket yang juga berbahasa Indonesia.
Selama ini agar siswa cepat mengerti materi yang disajikan, para guru di kelas awal membawakan materi pembelajarannnya dengan melakukan penerjemahan langsung bahasa Indonesia ke Bahasa Daerah.
BACA: INOVASI: Guru Tidak Terlatih di Sumba Cukup Tinggi
Metode seperti ini salah satunya dilakukan oleh Bapak Yulius, guru di SD Kadahang Sumba Timur. Kalau dia merasa anak-anak tidak mengerti materi pelajaran berbahasa Indonesia, dirinya langsung beralih menerangkan dalam bahasa daerah.
“Misalnya, kata pecahan dan definisinya. Kalau saya terangkan pakai Bahasa Indonesia, murid yang berbahasa Kapunduk, bahasa lokal di sini, tidak akan ada yang mengerti. Oleh karena itu, saya langsung beralih menjelaskannya dengan pakai bahasa lokal Kapunduk,” ujarnya saat workshop yang diselenggarakan INOVASI di SD Kadahang, Haharu, beberapa waktu lalu.
Apakah cara ini efektif? Menurut Johnny Tjia, ahli linguistik dan konsultan INOVASI untuk proyek rintisan Transisi Bahasa Pengantar Pembelajaran di Sumba Timur, hal tersebut tidak efektif.
“Cara yang dilakukan oleh para guru dengan selang-seling menggunakan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah ini kurang efektif untuk mendukung pembelajaran siswa,” ujarnya
Menurutnya, hal tersebut dikarenakan beberapa hal, pertama akan membingungkan siswa dalam berbahasa. Para siswa akhirnya dalam kesehariannya terbawa menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah secara tidak konsisten atau campur-campur.
“Mereka akan terbawa-bawa meniru gurunya untuk berbicara campur-campur dalam kesehariannya yang mengakibatkan cara berbahasanya tidak sesuai dengan kaidah berbahasa dan kosa kata yang tepat. Hal tersebut bisa menyusahkan anak dalam proses bernalar secara cepat dan juga menulis,” ujarnya.
Praktik tersebut menurutnya juga rawan memicu siswa untuk stress. Dikatakan, para siswa harus belajar materi pelajaran, sekaligus belajar bahasa baru, dalam hal ini bahasa Indonesia.
“Jadi dalam satu sesi, beban belajar mereka lipat dua. Stress ini juga bisa terjadi pada guru. Mereka harus selalu berpikir langsung bagaimana menerjemahkan Bahasa Indonesia ke bahasa lokal terus-menerus dan juga sebaliknya selama pembelajaran,” ujarnya.
Menurutnya, praktik tersebut juga membuat siswa tidak mengerti secara sempurna bahasa Lokal dan Bahasa Indonesia semenjak dini.
“Terutama bahasa lokal, anak-anak tidak akan mengerti bahasanya sendiri secara penuh, hanya sepotong-sepotong dan lama-lama bisa hilang karena tidak menjadi bahasa pengantar pembelajaran secara sempurna,” ujarnya.
Doktor Ahli Linguistik lulusan Leiden ini menyatakan ada beberapa strategi yang bisa dilakukan. Ia menamakannya dengan strategi 90 : 10, dan 50 : 50.
“Strategi ini hanya penamaan saja, dalam penerapannya sangat fleksibel. Yang dimaksud 90 banding 10 yaitu ketika mengajar kelas awal, guru hanya menggunakan bahasa lokal saja, tanpa penggunaan Bahasa Indonesia dari hari, katakanlah, Senin sampai Jumat. Tidak boleh menerjemahkan langsung ke bahasa daerah. Di hari Sabtu, guru menggunakan Bahasa Indonesia secara full, tapi pada materi yang sudah dimengerti siswa dan diajarkan sebelumnya,” ujarnya.
Menurutnya, hal ini sangat penting dilakukan , agar siswa benar-benar mengerti konten pembelajaran.
“Yang paling penting dalam pelajaran itu adalah pengetahuannya atau konten pembelajarannya. Karena dibawakan dalam bahasa ibu mereka, nalar mereka akan jalan, dan konsep-konsep pembelajaran akan lebih mudah mereka mengerti. Kalau dibawakan dalam Bahasa Indonesia atau selang seling dengan Bahasa daerah, siswa kemungkinan besar akan sedikit menyerap konten pembelajaran. Konsentrasi mereka juga terpecah belajar bahasa baru,“ ujarnya.
Demikian pula konsep 50:50; setelah merasa para siswanya mengerti konten pembelajaran karena sudah disampaikan dalam Bahasa daerah secara penuh, para guru dapat menggunakan Bahasa Indonesia pada topik pelajaran yang sama.
Misalnya pada hari Senin, Selasa, dan Rabu, memakai bahasa daerah dan hari selanjutnya yaitu hari Kamis sampai Sabtu memakai bahasa Indonesia.
“Intinya tidak selang-seling atau langsung menerjemahkan. Dalam pelajaran dengan topik yang sama, pertama digunakan Bahasa Daerah dahulu secara penuh, dan ketika guru yakin semua siswa menyerap pembelajarannya, barulah menggunakan Bahasa Indonesia,” ujarnya
Pendekatan model ini, sebagai langkah awal, akan diterapkan di SD Wunga, SD Kadahang dan SD Kapunduk di Kecamatan Hahar, Sumba Timur sebagai sekolah rintisan INOVASI.
Program Rintisan Pembelajaran Menggunakan Multi Bahasa Bagi Siswa Penutur Bahasa Daerah diprakarsai oleh INOVASI bekerjasama dengan Kemendikbud dan pemerintah daerah setempat.
Kontributor: INOVASI
Editor: Irvan K