Ruteng, Vox NTT- JPIC OFM dan Keuskupan Ruteng, serta Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) kembali mencium aroma tambang kembali merasuki hajatan Pilkada Manggarai Timur (Matim).
Dalam rilis dari tiga LSM ini yang salinannya diterima VoxNtt.com, Jumat malam (13/04/2018), menjelaskan, hiruk-pikuk Pilkada Matim pada Juni 2018 tampak jauh dari urusan keselamatan rakyat dan lingkungan.
Rilis tersebut di bawah tanggung jawab Pengkampanye JATAM Melky Nahar, JPIC OFM Indonesia Pastor Alsis Goa, OFM, dan JPIC Keuskupan Ruteng Pastor Marten Djenarut, Pr.
Mereka menyebut, para pasangan calon, partai politik pendukung, dan tim sukses masih berkutat pada urusan janji surga lalu tampak mengabaikan persoalan riil masyarakat Matim.
Padahal, menurut JPIC OFM dan Keuskupan Ruteng, serta JATAM persoalan Matim begitu kasat mata.
Salah satunya terkait pertambangan, sebuah investasi yang telah lama menjadi momok menakutkan bagi masyarakat.
Mereka menyatakan, ekspansi pertambangan di wilayah Matim, mulai dari Serise, Satar Teu, Lengko Lolok, Tumbak, Legurlai, dan Weleng telah lama merampas lahan produktif masyarakat, merusak hutan, ritus budaya, dan pantai.
Bahkan tak sedikit masyarakat diintimidasi hingga berujung di balik jeruji hanya karena mempertahankan tanah ulayatnya.
Ironisnya, konflik berkepanjangan di sektor pertambangan ini, tidak mendapat perhatian dari Bupati dan Wakil Bupati Matim.
“Bupati dan Wakil Bupati tampak berada di pihak perusahaan tambang, sementara rakyat yang telah memberikan mandat kepada Bupati Yoseph Tote dan Wakil Bupati Andreas Agas berjalan sendirian, tanpa ada perlindungan,” ungkap JPIC OFM dan Keuskupan Ruteng, serta JATAM.
Mereka menegaskan, kini Pilkada Matim kembali akan digelar. Seluruh pasangan calon tidak ada yang bicara soal masalah masyarakat di daerah lingkar tambang.
“Soal bagaimana mengembalikan tanah-tanah ulayat yang telah lama diklaim kepemilikannya oleh perusahaan tambang, soal relasi sosial antar masyarakat yang telah lama porak-poranda, singkatnya tidak ada upaya pemulihan sosial-ekologis yang telah lama hancur akibat ulah pemerintah dan perusahaan tambang,” sebut tiga LSM ini.
Dengan demikian, JPIC OFM dan Keuskupan Ruteng, serta JATAM menilai Pilkada Matim pada Juni 2018 hanya dimanfaatkan untuk merebut kuasa dan jabatan bagi segelintir elit dan politisi, partai politik dan tim sukses. Bahkan, ada kecenderungan ditunggangi para pengusaha tambang.
Hal ini cukup beralasan, mengingat Matim yang sebelumnya memiliki 17 izin Tambang, masih terdapat tiga izin tambang yang masih aktif.
Ketiganya yakni PT Aditya Bumi Pertambangan di Tumbak, PT Perkasa Alam Energi di Laci – Weleng, dan PT Istindo Mitra Perdana di Serise.
“Kami melihat, di balik kontestasi Pilkada Manggarai Timur, perusahaan-perusahaan tambang ini diduga kuat ikut bermain melalui praktik ijon politik untuk mendapatkan jaminan kenyamanan dan keberlangsungan investasi,” jelas JPIC OFM dan Keuskupan Ruteng, serta JATAM.
Mereka menyatakan, salah satu pendekatan yang sudah menjadi pengetahuan umum adalah dengan menunggangi dan mengendalikan para kandidat melalui pembiayaan pencalonan dan kampanye sebagai bagian dari praktik ijon politik.
Dan, investasi pertambangan menjadi salah satu bentuk hubungan saling menguntungkan antara pelaku bisnis dan politisi, mengingat tidak sedikit modal finansial yang dibutuhkan untuk berkontestasi dalam Pilkada.
Berdasarkan Laporan Direktorat Litbang KPK pada 2015, misalnya, setidaknya dibutuhkan biaya Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar untuk menjadi Bupati/Walikota.
Sedangkan ntuk menjadi Gubernur bisa mencapai Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar.
Kebutuhan biaya yang tidak sebanding dengan jumlah kekayaan para kandidat yang ikut berkontestasi.
Dikatakan, kondisi itu diperkuat, mengingat para kandidat yang bertarung dalam Pilkada Matim adalah para politisi lama.
Beberapa diantaranya punya rekam jejak buruk terkait pertambangan.
Andreas Agas, misalnya, jelas menjadi bagian dari rezim yang tengah berkuasa, yang nota bene mengobral 17 izin tambang selama dua periode menjadi Bupati dan Wakil Bupati Matim.
Para kandidat lain, pun tampak tidak ada rekam jejak jelas dalam menolak atau mendukung perjuangan masyarakat dalam menolak tambang.
Sumber: Press Release
Editor: Adrianus Aba