Ende, Vox NTT-Kasus bunuh diri terjadi lagi di Kota Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Kali ini yang menjadi korbannya adalah Florianus Kasman (20). Ia mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di teras depan rumah pada tanggal 4 Mei 2018 sekitar pukul 07.00 Wita.
Kejadian ini sebenarnya tidak begitu mengejutkan lagi. April 2017, Lembaga Konsultan Psikologi Jefrin Haryanto Research Center (JHRC) telah merilis tren patologi sosial remaja di Kota Ruteng. Hasil rilis tersebut menunjukkan kecenderungan tingginya potensi bunuh diri remaja di Kota Ruteng.
Menanggapi hal ini, Yuan Jonta, SPsi, Psikolog dan Peneliti JHRC menjelaskan, bahwa rentetan peristiwa bunuh diri yang sering menimpa remaja di Manggarai bisa menjadi sebuah gambaran mengerikan tentang ketahanan psikis remaja di Manggarai. Bila bicara dalam kerangka teoretis, periode remaja merupakan masa gonjang-ganjing paling besar dalam hal emosi dan psikis.
Ia menjelaskan, pada masa ini, emosi individu bisa menjadi sangat tenang namun bisa juga menjadi sangat meledak-ledak, tidak menentu. Dalam kasus Florianus, Yuan melihat bahwa pemicunya adalah perasaan malu akan kondisi fisiknya. Perasaan yang timbul ini merupakan akibat dari persepsi korban terhadap reaksi sosial yang akan atau bahkan telah ia terima.
Yuan mengatakan, munculnya respons negatif akan sangat mengganggu, apalagi bila tidak adanya dukungan sosial. Hal ini akan memicu kejatuhan mental yang sangat hebat dalam diri sang korban. Tidak adanya dukungan sosial dapat membuat korban jatuh semakin dalam pada gambaran negatif tentang dirinya.
Terkait dukungan sosial ini, Albina Redempta, Spsi, yang juga psikolog dan Peneliti pada JHRC, menegaskan bahwa, dukungan sosial menjadi penting agar memberikan timbal balik untuk membelokan kepercayaan yang salah. Kepercayaan yang salah dapat menciptakan penerimaan diri yang juga salah bagi korban.
“Jika kita berbicara tentang tugas perkembangan, maka pada usia ini seorang remaja telah mencapai tahapan akhir dalam pemenuhan tugas perkembangan yakni pemahaman diri,”katanya.
Albina menambahkan bahwa, jika melihat isi surat korban, terungkap bahwa kondisi kerontokan rambut yang tak kunjung sembuh menciptakan shock tersendiri bagi korban. Korban, kata Albina, “gagal” belajar tentang cara menerima dirinya.
Pada kondisi seperti ini jika tidak ada support system yang memadai, maka rasa kesendirian menjadi sumber kesepian, tidak dipahami orang dan ketidakberdayaan. Kelabut perasaan ini ditambah rentannya ketahanan psikologis membuat individu menjadi kalap.
Melacak Motif Korban
Terkait dengan motif yang melatari para korban bunuh diri, Yuan Jonta menjelaskan bahwa, bunuh diri bukanlah keputusan untuk mengakhiri kehidupan. Tetapi melepaskan diri dari seluruh beban yang sangat berat untuk ditanggung.
“Hal yang membuat kita cemas adalah beban sangat berat ini seringkali luput dari deteksi orang lain. Dibutuhkan kepekaan yang tinggi dan keterampilan untuk mendengar yang baik agar terjadi hubungan terapeutik dengan individu berpotensi,”ungkap Yuan.
Ia menjelaskan, keadaan depresi akibat beban-beban ini juga sulit dideteksi, karena hampir jarang sekali orang lain memasuki tekanan mental yang sama. Ketika mengalami depresi, bahkan orang dengan drive hidup paling besar pun tetap sangat membutuhkan bantuan dan pengawasan dari orang lain.
Yuan mengatakan bahwa beberapa orang mengalami guncangan emosi yang sangat dahsyat. Mengalami kesulitan yang sangat besar dalam hidup, kehilangan orang yang sangat dicintai, masa depan yang terlihat sangat suram, merasa sangat terpojokan dan tidak berdaya.
Beberapa orang memegang kepercayaan religius yang sangat tinggi. Beberapa orang memegang nilai hidup yang sangat besar bahwa selalu ada jalan keluar.
Sayangnya, guncangan emosi depresif kadang membuat buram pandangan orang dari sebuah keadaan yang sangat sulit menjadi sebuah ketidakmungkinan. Penglihatan terhadap realita menjadi terdistorsi oleh dorongan emosional.
Ia mengungkapkan, ketika seorang individu tidak bisa bersikap rasional dengan dorongan emosionalnya, maka keputusan itu akan menjadi fatal. Semisal, kemarahan mendorong orang untuk balas dendam, ketakutan mendorong orang untuk melarikan diri, dan rasa malu dapat mendorong orang untuk menjadi diam.
“Terseret arus perasaan dapat membuat seseorang terjebak sehingga mengambil keputusan yang salah. Emosi menjadi bagian dari proses mental manusia setiap hari. Jadi ada peran emosi dalam setiap keputusan yang orang ambil,”ungkap Yuan.
Karena itu, penting bagi manusia untuk menjaga rasionalitasnya dan tidak terseret oleh arus emosi. Menjaga fungsi berpikir dalam mengelola emosi merupakan buah dari pengalaman dan feedback yang bisa diperoleh dengan bertukar pikiran dengan orang lain.
Tentang Isi Surat Korban
Tim Psikologi dari JHRC juga memberi atensi yang sangat serius pada surat yang ditinggalkan korban. Albina Redempta menjelaskan jika dianalisis, secara grafologi, korban memiliki kondisi psikologis yang sangat labil dan mengalami guncangan yang hebat.
Hal ini terlihat dari komposisi dan posisi tulisan pada media kertas yang dipilih dan sudut kemiringan huruf yang tidak konsisten. Pada beberapa huruf juga terlihat tekanan yang tidak konsisten dan huruf-hurufnya tidak menyentuh garis bawah pada kertas.
Hal itu memperlihatkan situasi dimana korban mengalami keterasingan dan membutuhkan perhatian. Terkait surat, Yuan Jonta memaparkan bahwa surat kematian biasanya muncul dalam bentuk permohonan maaf, gambaran perasaan korban, atau pesan-pesan terakhir.
Penggunaan surat merupakan pemberdayaan diri terakhir yang dapat dilakukan oleh korban. Surat ini biasanya mengandung sebuah genuinitas, karena pikiran tentang pembebasan diri dari konsekuensi fisik dan psikis dari isi surat.
Dalam surat terakhir Florianus tiga kali, jelas Yuan, ia mengungkapkan perasaan cintanya yang menunjukkan tentang penegasan ungkapan afeksinya. Secara spesifik ia menyampaikan isi surat ini untuk kedua orangtuanya.
Selain itu, ia juga menyampaikan sebuah permohonan maaf. Hal ini berarti, ia sadar bahwa jalan yang dipilihnya merupakan keputusan yang salah. Tetapi, kehidupan tidak sehitam-putih itu karena keputusan yang diambil bukan merupakan bukan atas asas benar dan salah, tetapi punya dasar beban batin yang tidak tertahankan lagi.
Beban ini, jelas Yuan menciptakan kebingunan besar dalam diri, yang akhirnya membuat dirinya mungkin berpikir bahwa inilah satu-satunya jalan.
Dalam suratnya ia menyebut tentang sumber permasalahan psikisnya dan bagimana ia berada dalam sebuah kebuntuan akibat masalahnya.
Perasaan malu bisa menjadi penghalang untuknya agar bisa mencari bantuan. Halangan ini ditambah dengan tumpukan beban yang semakin berat ditanggungnya menambah kesakitan batin yang sangat kuat.
Ditambah lagi kejanggalan antara kondisi fisiknya yang berubah dan tidak ditemukannya penyakit, menambah kebingungan besar yang semakin membebaninya.
Jangan Sampai Bunuh Diri Jadi Gaya Hidup
Mewakili JHRC, Yuan Jonta menegaskan bahwa, kasus-kasus bunuh diri yang semakin marak, harus menjadi pengingat bagi semua pihak. Kota Ruteng, kata Yoan, sedang berada dalam situasi yang tidak “sehat” tatanan sosialnya.
JHRC mensinyalir ada kondisi yang gamang dalam pola asuh dan tatanan komunikasi sosial dari komunitas terkecil seperti keluarga. Kecerdasan mengelolah resiko anak-anak hari ini juga ada pada level yang terabaikan.
Ia mengungkapkan, anak tidak belajar mengelolah resiko atau menghadapi resiko. Kehidupan sosial cenderung menjadi ruang-ruang yang sangat individual dan mengalami distorsi relasi sosial yang akut.
Yuan menegaskan bahwa harus ada upaya yang serius dari semua pihak untuk mengkaji soal ini. JHRC sendiri lagi running dengan riset soal ketahanan emosi remaja di kota Ruteng.
“Semoga riset ini bisa memberi gambaran yang bisa berkontribusi untuk membedah persoalan bunuh diri ini. Jangan sampai bunuh diri jadi trend atau gaya hidup,”pungkas Yuan.
Penulis: Ian Bala