Lewoleba, Vox NTT-Sebagai seorang kristen Katolik, saya merasa bersyukur ketika dua hari berturut-turut berkunjung ke desa Dolulolong, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata.
Tujuan utama ke tempat ini untuk menggali sejarah Islam sekaligus budaya Kedang yang masih dipertahankan oleh penduduk Dolulolong.
Seratus persen penduduk Dolulolong (selanjutnya Dolu) beragama Islam. Namun demikian, penduduknya sangat menghormati sesama yang berbeda keyakinan.
Di sana, saya diterima hangat oleh tetua kampung. Raut wajah mereka begitu ramah menyambut pengunjung yang datang.
Desa Dolu terletak di pesisir utara wilayah Kedang. Letaknya cukup jauh dari desa-desa tetangga seperti Balauring, Hinga Lama Mengi, dan desa Hoe’lea’.
Bagian utara berbatasan dengan laut Flores yang hiasi pantai pasir putih, tebing batu dan gulungan ombak yang syahdu.
Bagian barat, timur dan selatan dikelilingi beraneka pepohonan. Ada pohon kelapa, jati, asam, lamatoro, koli dan aneka jenis tumbuhan lain yang masih asli dan terlihat asri.
Menunggang Supra X sederhana, saya bersama beberapa teman berhasil melewati jalan berliku-liku, melewati hutan dan perbukitan padang.
Berkunjung selama dua hari ke tempat ini sungguh bernilai karena memahami langsung sejarah Islam sekaligus budaya Kedang yang masih asli.
Penduduk desa ini sangat memegang teguh ajaran Islam sekaligus adat/ budaya Kedang.
Warga desa berkeyakinan bahwa agama tidak boleh “menjajah” budaya asli maupun sebaliknya.
Dua kekayaan ini harus dijalankan secara seimbang karena merupakan anugerah Tuhan.
“Kita berbeda agama tetapi dipersatukan dalam budaya”, begitulah keyakinan orang Kedang.
Sebelum masuk ke pusat desa, pada bagian depan kampung ada gapura bertuliskan “Desa Bersejarah Dolulolong”.
Kicauan burung –burung di udara akan menjemput kehadiran setiap pengunjung petanda ada ketulusan di sana.
Sejarah Islam
Menggali sejarah Islam Indonesia tidak terlepas dari desa Dolu. Di tempat ini para Da’i Islam pertama kali berlabuh untuk menyebarkan agama.
Sekitar abad ke-17 (1720-1713), para Da’i dari Ternate, Buton, Jawa dan Sumatra berlayar menuju Lembata dan menepi di wata rian “pantai besar” Dolu yang konon merupakan salah satu tempat transit.
Syek Kaimidin dari Buton yang dimakamkan di Dolu adalah seorang mubaliq yang sangat berpengaruh dalam menyebarkan Islam di tempat ini.
Beliau dikenal sebagai seorang yang dekat dengan penduduk setempat dan sangat menghargai adat atau budaya lokal sehingga mudah diterima untuk menetap di sana.
Diceritakan, ketika tiba di Dolu, beliau diterima warga lokal untuk menetap dan ditugaskan sebagai imam yang rutin melaksanakan sholat.
Kemudian menyusul, Muhamad Al-Mustafa dari Buton (Makamnya berberbentuk batu di Leu Tuan, sebelah Pohon Bojol), Syek Sirajudin dari Sumatra (Makam di Wei Laong/Ramu’), Syek Muhamad Arsyad Alwan atau Syek Abuya dari Banten, Syek Pangeran Pati Jawa Djokjakarta dari Yogyakarta (makam di Tanjung Baja), dan Syek Fatahuddin dari Demak.
Mereka mengembara keliling untuk menyebarkan Islam dan saat ini kuburan-kuburan para Da’i ini dijadikan situs sejarah yang masih dirawat warga setempat.
Selain itu, hadir juga Da’i dari kerajaan Ternate bernama Sultan Bayang Ulla (Putra Sultan Babullah) yang berlayar menggunakan kapal Kora-Kora ke Dolu.
Bayang Ullah hadir dengan dua tujuan sentral yaitu menyebarkan Islam dan mengukuhkan kedaulatan kerajaan Ternate setelah diambil alih dari Portugis.
Kedatangan sultan dari Ternate ini ditandai dengan lukisan gaib tene kora pada sebuah batu. Kora-Kora merupakan jenis perahu layar yang digunakan oleh Sultan Bayang Ullah untuk berlayar ke Dolu.
Kedatangan para Da’i ke Dolu menghasilkan banyak murid yang kemudian menjadi Jou (guru agama).
Beberapa waktu kemudian, datang lagi mubaliq dari Lamahala untuk melanjutkan da’wah Islamiah di Dolu.
Adapun para Jou yang pernah berda’wah yaitu Syek Abdul Hamid (makamnya di Lohu), Syek Abdul Jalil (makamnya di Pantai Utara Dolu), Muhamad Saing (makam di samping Masjid Balauring) dan Sultan Abdul Manan (makam di Tiu Lewang).
Sultan Abdul Manan pernah menjadi imam di Masjid Karbala Irak, imam di tanah suci, Banten, di Mananga Solor, Lamahala (selam tujuh tahun), desa Adonara (selama 10 tahun), imam di masjid tua kampung Solor, Kupang dan Alor.
Sebelum dibangun Masjid tua Baitul’ala Dolulolong tahun 1920 (sekarang menjadi kantor Desa) sudah ada Langgar/Syura di Leutuan. Kemudian pada tahun1964 dibangun Masjid yang baru.
Keterkaitan Dolu-Kalikur
Penyebaran Islam di Kedang sesungguhnya berakar dari penduduk desa Dolu dan Kalikur.
Kekompakan dalam menerima dan menyebarkan agama Islam dikenal dengan sebutan “Dolu buka’ (w)ula, Likur Leleng Sabo’ ” yang berarti Dolu menerima dan memproduksi para Jou Islam.
Kemudian orang Kalikur diutus untuk bersama-sama membumikan Islam di seluruh wilayah Kedang.
Singkatnya, Islam masuk melalui Desa Dolu sedangkan orang Kalikur membantu menyebarkan Islam. Hal ini telah diwariskan secara turun temurun sejak dahulu kala.
Biasanya, ketika memasuki bulan Puasa, diadakan ritual “Pa’ Padu, Nami’ Sabo’” untuk mengenang kembali perjuangan Kalikur-Dolu.
Sayangnya, ritual ini tidak bertahan lama akibat politik devide et impera Belanda yang pada waktu itu menjajah Kedang. Warisan budaya ini pun luntur akibat manipulasi sejarah oleh penjajah.
Budaya Kedang
Inkulturasi agama dan budaya menjadi ciri khas masyarakat Dolu. Selain terdapat Masjid, di pusat desa terdapat rumah adat yang menjadi simbol persatuan semua suku yang menghuni tempat ini.
Kekompakan semua penduduk Dolu menjadikan mereka selalu kuat dalam mengahadapi persoalan baik internal maupun yang datang dari luar kampung.
Selain rumah adat, terdapat “Nuba Nara” atau biasa disebut “Nuba Sili Kiti, Nara Laha Lowa” yang menjadi slogan adat kampung/desa Dolu.
Ada juga berbagai situs sejarah yang masih tersimpan di sekitar kampung misalnya batu Lapa’ Leu Tuan, batu lesung berbentuk piramida, meja batu yang biasa digunakan untuk sesajen dalam ritual adat, dan susunan batu yang konon dibangun oleh utusan dari 44 kampung di Kedang.
Susunan batu ini sebagai simbol persatuan sekaligus tempat memilih seorang raja atau “rian bara” dari desa Dolu yang dulu bernama Rian Bara ‘Marisu’ Somba.
Utusan dari 44 kampung ini membuat janji atau sumpah adat dengan minum darah dan tuak putih atau yang dikenal dengan “Nute sain Toye’ Bayan” yang berlokasi di Lea’ maren.
Rian Bara’ Marisu’ Somba memerintah Kedang sebelum dipimpin Hamente yang didukung penjajah Belanda.
Dolu sejak masa Belanda dikenal sebagai kampung yang gigih menghadang penjajah. Perlawanan masyarkat dibantu oleh kekuatan gaib.
Kekuatan gaib ini disapa dalam bahasa adat “mi’er Renga Re’en Derung”. Wujudnya berupa ular naga dan burung rajawali.
Berangkat dari sejarah kelam penjajahan, sampai saat ini orang Dolu anti terhadap ketidakadilan baik lewat jalur agama maupun politik.
Bukti perlawanan mereka terhadap Belanda masih ada seperti meriam-meriam Belanda yang dirampas oleh orang Dolu.
Dikisahkan Akhmad Bumi, tokoh adat di sana, Belanda membuang bom ke tengah kampung Dolu. Namun berkat kekuatan adat, bom tersebut tidak bisa meledak. Banyak tentara Belanda yang dibunuh dan dikuburkan di pinggir pantai.
Akibat kekalahan ini, Belanda mulai melancarkan politik Devide Et Impera untuk mengkotak-kotakan penduduk Kedang.
Belanda mengarang sejarah yang kemudian berdampak pada permusuhan antar sesama kampung.
Belanda juga menghilangkan nama kampung “Dolulolong” dalam daftar 44 Kampung di Kedang.
Integrasi Islam dan adat ini menjadikan Dolu sebagai kampung bersejarah. Islam sejati yang toleran dan mengormati perbedaan ditemukan di tempat ini. Di samping setia terhadap ajaran Islam, penduduk Dolu juga mencintai adat leluhur mereka. Islam dan budaya Kedang bertumbuh di Desa Dolulolong hingga saat ini.
Kontributor: Rian Odel
Editor: Irvan K