Oleh: Edi Hardum
Pada tulisan sebelumnya penulis mengulas tentang Gubernur Tidak Berwenang Hentikan Pengiriman TKI ke Luar Negeri (1). Tulisan kedua ini (sambungan dari tulisan pertama) penulis akan membuktikan (aturan) yang menjadi dasar dalil penulis.
Setelah memeriksa tiga UU yang disampaikan pada tulisan pertama, terutama UU 39 Tahun 2004 serta peraturan turunannya tidak ditemukan wewenang dan hak pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah provinsi untuk menghentikan atau melakukan moratorium penempatan TKI di luar negeri.
Pasal 1 poin 16 UU 39 / 2004 menyatakan, bahwa pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indoensia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri. Poin 17 menyatakan bahwa Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Mengenai tugas, tanggung jawab dan kewajiban pemerintah diatur dalam Pasal 5 UU 39 Tahun 2004, menyatakan, Pertama, pemerintah bertugas mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Kedua, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melimpahkan sebagi wewenangnya dan /atau tugas perbantuan kepada pemerintah daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam peraturan turunan dari UU ini tidak disebutkan mengenai tugas pemerintah daerah ini, terutama pemerintah provinsi, utamanya lagi seorang gubernur.
Pasal 10 UU 39 Tahun 2004 mengatakan bahwa pelaksanaan penempatan TKI di luar negeri terdiri dari (a) pemerintah; (b) Pelaksanaan Penempatan TKI swasta (PPTKIS).
Pasal 11 UU 39 Tahun 2004 ayat (1) menyatakan, penempatan TKI di luar negeri oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a, hanya dapat dilakukan atas dasar perjanjian secara tertulis antara Pemerintah dengan pemerintah negara Pengguna TKI atau Pengguna berbadan hukum di negara tujuan. Ayat (2) menyatakan, ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan penempatan TKI oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi.
Dalam naskah akademik UU 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), secara tegas disebutkan bahwa UU 39 Tahun 2004 lebih banyak mengatur mengenai penempatan TKI dibandingkan dengan perlindungan TKI. Karena itulah salah satu menjadi dasar dibuatnya UU 18 Tahun 2017.
Salah satu kelebihan UU 18 Tahun 2017 adalah adanya desentralisasi wewenang ke pemerintah daerah mulai dari pemerintah provinsi sampai desa.
Pertama, tugas dan wewenang provinsi diatur dalam Pasal 40, yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah provinsi memiliki tugas dan tanggungjawab: a. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja oleh lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah an/atau swasta yang terakreditasi; b. mernengurus kepulangan Pekerja Migran Indonesia dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabahpenyakit, deportasi, dan Pekerja Migran Indonesia bermasalah sesuai dengan kewenangannya;
Selanjutnya, c. menerbitkan izin kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia; e. melaporkan hasil evaluasi terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia atau TKI secara berjenjang dan periodik kepada Menteri; f. memberikan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum bekerja dan setelah bekerja; g. menyediakan pos bantuan dan pelayanan di tempat pemberangkatan dan pemulangan Pekerja Migran Indonesia yang memenuhi syarat dan standar kesehatan.
- Gubernur Tidak Berwenang Hentikan Pengiriman TKI ke Luar Negeri (1)
- Tubuh MN Kini Berbau Tak Sedap, Cairan Seperti Oli Keluar dari Hidungnya.
Dan selanjutnya, h. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan; mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan Pekerja MigranIndonesia; g. dan dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di tingkat provinsi.
Kedua, pemerintah kabupaten dan kota diatur Pasal 41, yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah kabupaten/ kota memiliki tugas dan tanggung jawab: a. menyosialisasikan informasi dan permintaan Pekerja Migran Indonesia kepada masyarakat; b. membuat basis data Pekerja Migran Indonesia; c. melaporkan melaporkan hasil evaluasi terhadap Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia secara periodik kepada Pemerintah Daerah provinsi.
Selanjutnya, d. mengurus kepulangan Pekerja Migran Indonesia dalam hal terjadi peperangan, bencana alam, wabah penyakit, deportasi, dan Pekerja Migran Indonesia bermasalah sesuai dengan kewenangannya; e. memberikan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia sebelum bekerja dan setelah bekerja di daerah kabupaten/kota yang kewenangannya.
Dan, f. menjadi tugas dan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan kerja kepada calon Pekerja Migran Indonesia yang dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja milik pemerintah dan/atau swasta yang terakreditasi; g. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga pendidikan dan lembaga pelatihan kerja di kabupaten/kota; h. melakukan reintegrasi sosial dan ekonomi bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya.
Selanjutnya, i. menyediakan dan memfasilitasi pelatihan Calon Pekerja Migran Indonesia melalui pelatihan vokasi yang anggarannya berasal dari fungsi pendidikan; j. mengatur, membina, melaksanakan, dan mengawasi penyelenggaraan penempatan Pekerja Migran Indonesia; k. dan dapat membentuk layanan terpadu satu atap penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di tingkat kabupaten/kota.
Ketiga, tugas pemerintah desa, diatur dalam Pasal 42, yang menyatakan, pemerintah Desa memiliki tugas dan tanggung jawab: a. menerima dan memberikan informasi dan permintaan pekerjaan dari instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; b. melakukan verifikasi data dan pencatatan Calon Pekerja Migran Indonesia; c. memfasilitasi pemenuhan persyaratan administrasi kependudukan Calon Pekerja Migran Indonesia; d. melakukan pemantauan keberangkatan dan kepulangan Pekerja Migran Indonesia; dan e. melakukan pemberdayaan kepada Calon Pekerja Migran Indonesia, Pekerja Migran Indonesia, dan keluarganya.
Jadi baik UU 39 Tahun 2004 yang masih berlaku sampai sekarang maupun UU 18 Tahun 2017 yang berlaku efektif setelah aturan turunannya selesai, tidak diatur mengenai seorang gubernur atau bupati/wali kota atau pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan morotorium atau memberhentikan pengiriman TKI ke luar negeri.
Jadi pernyataan Gubernur NTT terpilih bahwa ia akan melakukan moratorium pengiriman TKI ke Luar Negeri tidak mempunyai dasar hukum. Kalau ia mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) mengenai hal itu, maka Pergub itu bertentangan dengan UU yang sudah ada !
LTSA dan Desmigratif
Perlu diketahui walaupun UU 18 Tahun 2017 belum tuntas namun berdasarkan naskah akademik UU tersebut sejak tahun 2016 pemerintah pusat bersama pemerintah provinsi dan kabupaten/kota termasuk Pemprov NTT dan sejumlah Pemkab dan Pemkot di NTT telah membangun 12 Pelayanan Terpadu Satu Atap (LTSA) untuk TKI ke luar negeri, termasuk beberapa dibangun di NTT.
LTSA ini bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat pelayanan perizinan bagi para TKI yang akan bekerja di luar negeri. Selain itu, sejak tahun 2016 juga pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah membangun Desa Migran Produktif (Desmigratif). Pembentukan Desmigratif merupakan salah satu solusi dan bentuk kepedulian serta kehadiran negara dalam upaya meningkatkan pelayanan perlindungan kepada calon TKI/TKI dan anggota keluarganya yang bersifat terkoordinasi dan terintegrasi antar kementerian/lembaga dan pemangku kepentingan lainnya.
Sampai saat ini ada sekitar tujuh LTSA telah dibangun di NTT serta belasan Desmigratif. Itu semua dibentuk pemerintah pusat bersama Gubernur NTT terdahulu, Frans Leburaya bersama para bupati/wali kota, demi mencegah pengiriman TKI ilegal ke luar negeri.
Nah, Gubernur NTT terpilih sekonyong-konyong mau mengabaikan itu semua? Sebenarmya bagus, ide Pak Gubernur. Namun jangan gegabah. Apa yang Anda rencanakan melanggar undang-undang. Jangan sampai menjadi Gubernur yang tidak diindahkan karena tidak menghargai hukum.
Penulis merupakan Praktisi Hukum dan penulis buku “Perdagangan Manusia Berkedok Pengiriman TKI”, tinggal di Jakarta.