Oleh Pius Rengka
Aneka kritik datang bergelombang. Pertanyaannya cuman satu. Apa gerangan perubahan setelah satu tahun Kepemimpinan Firmanmu? Menyusul pertanyaan itu, sederetan pertanyaan lain mengalir bak air bah.
Para tukang kritik pun beraneka warna. Para kritikus LSM, politisi nonpro, team sukses lawan politik dan para akademisi. Bahkan team sukses kritis Jefry pun ikut memberi telaahan.
Media yang dipakai macam-macam. Obrolan di warung kopi, gosip di media sosial dan media online lain yang terakses. Puncak semuanya, disebutkan, Pemda Kota Kupang lemah. Bahkan disorientasi. Apa memang betul begitu?
Dalam satu konferensi pers, Walikota Kupang, Dr. Jefry Riwu Kore, tandas mengatakan, mutasi jabatan di Kota Kupang segera dilakukan September tahun ini, menyusul pencermatannya setahun.
Dia berkata, mutasi tak sekadar pindahkan satu orang ke tempat lain atau sirkulasi para pejabat dari satu tempat ke posisi lain, entah dalam konteks promosi, demosi, atau sejenisnya.
Mutasi harus dikaitkan dengan kemampuan anggaran dan kapabilitas birokrat kota. Tetapi, kata Walikota Kupang, prinsipnya, the right person on the right place dan budget mencukupi atau accesible.
Imajinasi para team sukses, lain lagi. Entah yang merasa diri paling sukses atau paling bar-bar dalam mensukseskan kemenangan Frimanmu. Mereka pikir, team sukses, meski tolol harus diakomodasi saja dalam jabatan yang mereka duga gampang mereka kerjakan. Bahkan ada kalangan birokrat yang dengan telanjang menyebut diri team sukses, padahal pengakuan terus terang itu jelas dilarang Undang-undang karena para ASN dilarang menjadi team sukses. Itulah sebabnya, para kritikus kampus selalu menyebut, team sukses birokrat itu dungu. Mereka menelanjangi diri sendiri dan dapat dijerat hukum.
Dalam imajinasi Walikota, Dr. Jefry Riwu Kore, team sukses bukan menjadi dasar pertimbangan placement birokrat. Tetapi penempatan birokrat kota berbasis kapasitas dan integritas. Sehingga merit sistem birokrasi yang legal dan rasional yang diperkenalkan Max Weber akan dipakai.
Penempatan birokrat akan berbasis meritokrasi system. Birokrasi profesional harus diiringi dengan gaji cukup, disiplin tinggi, karena birokrasi harus digerakkan melalui skema problem solving. Kebijakan publik Pemda Kota Kupang, mengacu pada penyelesaian masalah kota, sehingga formulasi kebijakan publik harus melalui proses pentahapan yang rigid.
Jefry bahkan menyebut, dalam urusan penempatan birokrat yang profesional tak ada urusan dengan imajinasi bekas lawan politik atau bukan. Tetapi yang utama adalah kapasitas dan integritas. Dalam konteks itu, banyak yang setuju. Karena politik penempatan birokrat itu patut mempertimbangkan unsur moderasi kultural politik dan power sharing, tanpa menghalalkan segala cara, termasuk menghalalkan menempatkan orang bodoh pada tempat yang strategis.
Siapa yang didengar? Para preman birokrat ataukah para penjilat yang terus menempel demi mencari sesuap nasi melalui suaka birokrasi? Bukan! Memang, dapat terbaca selalu tampak ada orang-orang yang sama menempel siang malam seperti perangko entah ke mana saja Pak Jefry pergi. Mereka ini, jelas tidak malu. Mereka ini oleh kalangan birokrat sendiri dan juga kritikus tertentu, disebut penjilat tolol. Mereka juga ASN.
Para penjilat ini, demikian kata kritikus, menampakkan kegelisahan serius. Sadar akan kemampuan diri lemah, maka mereka pun merayap seperti cecak cenderung berlindung di kuasa yang dimiliki Jefry Riwu Kore, sambil membuai Pak Jefry dengan sebutan: “Kami team sukses inti Pak Jefry”.
Mekanisme yang dipakai, tiap hari mereka tak bosan menyebut diri sambil menegaskan diri sebagai team sukses. Premanisme tingkah laku dan cara pikir, tentu saja tidak laku. Demikian Jefry Riwu Kore berkali-kali menegaskan, tetapi mereka itu terus merapat seperti katak yang berlari diterjang banjir. Tetapi dipercaya, Jefry tidak tunduk pada kehendak team sukses apalagi tunduk pada ASN golongan rendah yang mengaku diri paling berjasa dalam kemenangan politik Jefry Riwu Kore dan Herman Man. Jefry pasti tidak tunduk.
Janji Politik:
Janji kempanye politik Jefry Riwu Kore dan Herman Man telah dicatat publik. Basis moral utamanya jelas yaitu berani jujur. Implikasi metodologis basis moral politik ini adalah transparansi, profesionalisme, kualitas, tanggung gugat, kecepatan dan ketepatan.
Maka soal yang dihadapi kota, juga pernah disebut-sebut sebelumnya, ialah problem air minum bersih, jalan lingkungan kota, lampu jalan serba redup, taman kota kacau balau, kebersihan kota jorok, kepadatan kota dan pengaturan kawasan pantai yang kini jelas dijejali aneka hutan tembok.
Jika public policy dalam skema problem solving, maka problem Kota Kupang memang banyak. Sedemikian banyaknya problem kota ini, dibutuhkan pemimpin kota yang strong. Pemerintahan kuat, tentu saja bukan rejim otoriter, tetapi diterapkannya visi dan nilai-nilai dari rejim demokratik.
Rejim demokratik itu bergerak di antara spektrum pemerintahan decicive dan legitimate. Artinya, Jefry sanggup menyelesaikan soal karena dia sekaligus telah mendapatkan legitimasi rakyat. Karena paket Frimanmu adalah paket yang dipilih secara legitim (sekurang-kurangnya memenuhi aspek legalitas), maka Jefry Riwu Kore pantas dituntut rakyat untuk lekas menyelesaikan problem kota Kupang yang dijanjikannya secara politik. Bukankah janji politik itu telah mempesona rakyat sehingga rakyat memilih paket Firmanmu itu dan tidak memilih Jonas Salean?
Dalam perspektif Political Regimes and Government Solutions, Jefry Riwu Kore dan Herman Man, sekurang-kurangnya harus memiliki dua kualitas sekaligus. Yaitu, akuntabilitas karena mendapatkan legitimasi rakyat untuk memimpin kota, dan kedua harus memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Hal itu sangat penting disadari karena legitimasi rakyat itu bukan sekadar mendukung supaya Jefry dan Herman menang Pilkada, tetapi mereka dipilih supaya mereka menang menyelesaikan masalah.
Jika pemimpin legitimate tetapi tidak menyelesaikan masalah, maka yang bakal terjadi adalah lahirnya rejim deadlock. Jika pemimpin tidak legitimate tetapi dapat menyelesaikan masalah, maka yang bakal terjadi adalah lahirnya rejim tirani. Dan, rejim ini tidak mungkin ada karena sistem pemilihan Kepala Daerah telah berubah menyusul perubahan UU Partai Politik dan Pilkada.
Jika pemimpin legitimate dan sangat sanggup menyelesaikan masalah, maka rejim yang lahir itulah yang disebut rejim demokratik atau dalam literatur politik disebut Democratic Governance. Sebaliknya, meski Jefry dan Herman Man mendapat legitimasi yang kuat, tetapi tidak sanggup menyelesaikan masalah, maka yang terjadi ialah selain pemerintahan yang deadlock, juga pemerintahan deadlock akan menjadi sumber kriminal politik di mana pemerintahan akan dikenalikan oleh para bandit kota.
Nah, gejala banditisme inilah yang dikhawatirkan banyak kalangan ketika para pegawai kecil di kota yang menyebut diri team sukses dan ingin sukses mengatur-ngatur birokrasi, terlalu jauh mengatur dan membimbing tindakan politik Walikota Kupang. Padahal keterpilihan Jefry dan Herman memungkinkan hadirnya akuntabilitas pada keduanya.
O’Donnel Guilermo, dari Notredame University, menulis tentang jenis akuntabilitas ini secara gamblang. Kata dia, ada dua jenis akuntabilitas. Pertama, akuntabilitas horizontal dan kedua, akuntabilitas vertikal.
Akuntabilitas horizontal, yaitu membangun suatu sistem yang memungkinkan sistem itu mengontrol dirinya sendiri. Akibatnya, pertimbangan team sukses atau bukan, bukanlah menjadi perhitungan Walikota dalam membongkar pasang birokrasi di kota.
Akuntabilitas vertikal, yaitu membangun sistem di mana masyarakat dapat ruang untuk mengontrol seluruh proses penyelenggaraan pemerintahan. Dan, demi urusan itu, diperlukan merumuskan aturan main yang rasional. Jika perlu, keterlibatan rakyat itu ditegaskan dalam Peraturan Daerah.
Kata Guilermo, jika nihil dua akuntabiltas ini, maka rejim pemerintahan itu dapat disebut sebagai pemerintahan yang telah melakukan pelanggaran hukum dan rejim jahat.
Tentu saja, Walikota Kupang, Dr. Jefry Riwu Kore dan dr. Herman Man, dari dirinya sendiri bukanlah orang jahat. Dua tokoh ini sangat lembut, baik hati dan selalu gemar menolong orang-orang derita. Malah orang lain yang punya kelianan sering mendera derita atas mereka. Tetapi, kebaikan keduanya dikhawatirkan dimanfaatkan para bandit ASN Kota yang selalu mengelilingi dirinya setiap hari dan setiap detak jantung pemerintahannya. Kekhawatiran itulah kemudian berbuah aneka gosip, kritik, sinisme, dan catatan untuk Pemda Kota Kupang.
Tulisan ini, terus terang, tak lebih dari sebuah gugahan. Gugah itu bahasa Jawa, artinya membangunkan, agar tak terlalu lama lelap dalam tidur. Sekian.