Oleh: Ichan Pryatno,
Tinggal di Ritapiret, Maumere
Akhiri-akhir ini ranah demokrasi kita kian dijejali oleh maraknya kandidat artis (perempuan). Untuk konteks mutakhir terlihat banyaknya partai berlomba-lomba merekrut para artis (perempuan) untuk ‘dijagokan’ dalam kontestasi legislatif 2019 mendatang.
Terkait dengan hal ini, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan: pertama¸ sebagai zoon politicon (makluk politik) sudah sepantasnya mereka hadir dalam gelanggang politik untuk mewakil kepentingan rakyat.
Kedua, keterlibatan para artis memungkinkan apa yang dalam era-orde baru masih sangat kontrafaktual yaitu ‘kesetaraan dalam demokrasi’. Kesetaraan itu dimaknai sebagai kesamaan hak bagi semua warga yang berbeda agama, suku, etnisitas, ras, dan identitas tertentu untuk memilih ataupun dipilih.
Ketiga, fenomena ini paling tidak merepresentasi tesis Herbert J. Gans terkait korelasi antara demokrasi dan partisipasi. Sesungguhnya demokrasi bertumbuh dan beradab tatkala dibarengi dengan partisipasi masyarakat (selebritis) di dalamnya.
Namun demikian, mencuatnya ekspansi partisipasi politik kaum hawa (artis) acapkali menimbulkan kesangsian. Sebab ia turut dirong-rong oleh kejanggalan politis bahwa yang berpartisipasi di dalamnya ialah mereka yang memenuhi standar kemolekkan (keseksian) tubuh dan sekaligus berparas cantik.
Hemat penulis, tanpa disadari yang ditonjolkan di sana bukan kesadaran politik sejati, tetapi justru intensi dibalik itu ialah menjajahkan tubuh untuk menggaet massa menjadi kelompok pendukung, dan pada akhirnya demi meningkatkan elektabilitas partai.
Politik Tubuh dan Selebritas Politik
Dalam sejarah demokratisasi, keterlibatan para artis dalam dunia politik bukan menjadi hal baru. Saat era-Orde Baru, para artis ikut terlibat dalam politik yang nyata pada momentum sekitar pemilu.
Peran mereka antaralain: penghibur saat kampanye, menjadi vote getter dan menjadi caleg. Pasca-reformasi, keterlibatan para artis mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Adanya usaha liberalisasi demokrasi yang nyata dalam munculnya beragam partai kompetitif, menyebabkan partai-partai menarik minat untuk merekrut para artis.
Fenomena kandidasi para artis ini terus berlangsung. Pada pemilu 2004 tercatat 13 partai mencalonkan artis sebagi kontestan legislatif. Para artis ini dipasang untuk merebut kursi di beberapa daerah pemilihan (DAPIL) yakni di DKI-Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Selanjutnya pada pemilihan 2009, 2014 hingga 2019 mendatang, parpol-parpol memasang mereka untuk merebut kursi pemilihan di luar jawa.
Karena itu, dalam Bahasa West & Orman (2003), sebagaimana Ahmad, menyebut para artis yang terlibat dalam ranah politis sebagai ‘selebritas politik’.
Selebritas politik merupakan invidu yang diminati atau dikagumi oleh publik, karena atas dasar keunikan yang diperoleh melalui pencapaian ataupun karena terberi (Pemilu 2019 dan Selebritasisasi Politik, Kompas, 13/08/18).
Umumnya mereka (selebritas politis) yang terlibat dalam kancah perpolitikan mengandaikan yang bersangkutan memiliki kekuatan popularitas yang mumpni dan memenuhi syarat kecantikan.
Hal ini dimaksudkan agar menarik minat massa (masyarakat) sekaligus menjamin suatu kemenangan dalam kontestasi elektoral. Dengan demikian, sesungguhnya yang ditonjolkan disana bukan kesadaran politis konkret dari para agen parpol, melainkan semata-mata sebagai usaha menginstrumentalisasi tubuh dan popularitas artis. Hal ini erat kaitkannya sebagai bagian dari taktik untuk kemenangan politis partai.
***
Publik tentunya berbangga atas meningkatnya partisipasi politis kaum hawa dalam lanskap perpolitikan. Sebab hal ini disadari sebagai bagian dari pertumbuhan demokrasi ke arah yang lebih beradab.
Namun demikian, perlu kita menyangsikan hal ini, sebab tanpa disadari ia turut dirongrong oleh kejanggal bahwa yang berpartisipasi dalam politik adalah mereka yang memenuhi standar kemolekan tubuh sekaligus berparas cantik.
Sesungguhnya, partisipasi perempuan dalam politik dan sekaligus pencalonan para artis belum menjadi bukti empiris kesadaran gender para elite politik kita. Alasannya para artis dipilih pada tempat pertama bukan karena komptensi politis dan integritas moral yang dimiliki, tapi lantaran kemolekkan tubuh dan popularitas pribadi (Madung, 2011: 34).
Sudah sangat jelas yang terjun dalam dunia politik ialah mereka yang secara biologis memiliki kecantikkan dan kemolekkan tubuh. Dalam soal ini, sebenarnya tubuh perempuan direduksi sebagai alat atau barang yang mesti ditaklukkan dan dikomersialisasi demi menarik simpati massa.
Pada takaran ini, secara tak disadari telah terjadi suatu pergeseran signifikan dari melihat tubuh perempuan sebagai suatu realitas eksistensial yang berpribadi, bermartabat, berderajat, yang seharusnya dihormati, dihargai, menuju subuah cara pandang baru yang melihat tubuh perempuan sebagai tubuh hedonis semata (Lilijawa, 2010:151).
Tubuh Sebagai Alat
Di sini eksistensi tubuh dilihat hanya untuk memberi kenikmatan dan kesenangan seksual serentak dan demi membangkitkan khayalan sensual. Tubuh perempuan pun direduksi sebagai alat, barang, instrumentum, yang boleh dinikmati (dalam kawasan politik).
Sesungguhnya di sini para kandidasi artis diinstrumentalisasi oleh partai demi suatu tujuan pragamatis. Lucius Karus, peneliti FORMAPPI, membenarkan hal ini; bahwa karena gagal usaha kaderisasi, para pejabat partai secara instan dan pragmatis merekrut para artis perempuan demi meningkatnya elektabilitas partai (Beritasatu.com, diakses 23/09/2018).
Popularitas dan ketertubuhan (kecantikan) diisntrumenatlisasi demi mengedapankan pragmatisme politis partai.
Pada era sekarang produk utama industri tubuh adalah tubuh manusia, khususnya tubuh kaum perempuan. Dalam konteks politik tubuh, sangat jelas situasi demikian merupakan representasi atas komersialisasi tubuh. Tubuh telah menjadi komoditas yang ‘dijual’ termasuk dalam ranah perpolitikkan.
Tubuh yang sebelumnya dianggap sebagai sesuatu yang privat, sakralistis, dan tidak untuk ‘dipajang’, namun sekarang menjadi komoditas publik, bebas ditelanjangi dan dipertontonkan sesuka hati.
Fenomena politik tubuh demikian merupakan representasi dari depersonalisasi tubuh (hilangnya kepribadian tubuh). Semua rasa lembut dan perasaan yang manusiawi dalam kepribadian tubuh ‘diruntuhkan’. Ia menampilkan suatu model kekerasan seksual, sebab hubungan menjadi mengobjekkan dan menajdi suatu bentuk dominasi supaya fantasme tercapai (bdk. Haryatmoko, 2007:99).
Tubuh perempuan memang acapakali dikomersialisai dan menjadi satu-satunya komoditas yang laris secara ekonomis, dengan intensi memantik keganasan libido kelompok maskulin.
Tanpa disadari fenomen hingar bingarnya para artis dalam politik, yang diasosiasikan penulis sebagai politik tubuh merupakan momentum memarginalisasi perempuan.
Dalam soal ini tubuh diberi stempel harga, dikomersialisasi, dan lantas dijajakan untuk menarik minat banyak pihak (massa dalam politik). Ia bisa saja disandingkan dengan problem pelacuran, sebab secara substansial yang dilihat ialah adanya ekspolitasi tubuh, mengkomersialisasi tubuh, menstempelisasi tubuh dengan cap komoditas, dan pada akhirnya tubuh turut dijajahkan.
Maka dari itu, di sini penulis bukan bermaksud meruntuhkan partisipasi politis artis, namun intensi tulisan ini hanya mau membawa pemahaman baru ke arena publik. Bahwa sesunguhnya keterlibatan para artis dalam aras politik, adalah bentuk subordinasi kaum hawa yakni memperalat mereka demi keuntungan parsial partai.
Mereka direkrut bukan atas kesadaran politis sejati, tetapi semata-mata untuk ‘menjajakan tubuh’ demi meraih kemenangan partai (elektabilitas).
Tulisan ini hanya sekadar refleksi etis atas persoalan terselubung dalam ranah demokrasi kita.