Kupang, Vox NTT- Pengurus Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kupang menggelar audiensi bersama Dinas kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi NTT, Jumat (12/10/2018).
PMII itu mendesak DKP Provinsi NTT agar segera mengusut tuntas masalah nelayan tradisioanl di Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata-Flores.
Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan PMII Kupang, Muhamad Aras mengatakan, berdasarkan laporan nelayan pada Kamis 11 Oktober 2018 bahwa nelayan tradisional di Kecamatan Nubatukan telah melakukan rapat tatap muka bersama Ketua Himpunan Masyarakat Nelayan Indonesia (HMNI) Kabupaten Lembata.
Dalam rapat tersebut, kata dia, nelayan bersepakat untuk memberikan jangka waktu selama 7×24 jam terhadap DKP Kabupaten Lembata agar menyelesaikan konflik horizontal antar nelayan.
Itu terutama saling menyikut antar nelayan tradisional dan nelayan modern yang melakukan operasi penangkapan ikan di Perairan Teluk Lewoleba, Kecamatan Nubatukan.
Dikatakan, apabila tuntutan yang telah disepakati secara bersama oleh seluruh nelayan tradisional oleh DKP Kabupaten Lembata, maka nelayan akan melakukan tindakan anarkis berupa membakar seluruh purseine nelayan modern yang memang melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak diatur berdasarkan UU Kelautan dan Perikanan.
Ketua Umum PMII Kupang, Ibrahim Hasnu mengatakan, audiensi itu untuk menawarkan langkah strategis dan taktis yang harus dikerjakan dan ditindaklanjuti oleh DKP Provinsi NTT.
Hasnu mengatakan, DKP Provinsi NTT harus segera mengambil langkah serius guna mencegah konflik horizontal yang berkembang di tengah nelayan.
“Dampak negatif dari konflik horizontal antar sesama nelayan ini adalah terjadinya pertikaian hingga melenyapkan nyawa seseorang. Tentu hal ini tidak kita inginkan secara bersama,” ujar Hasnu kepada VoxNtt.com, Jumat siang.
Hasnu juga mendesak agar DKP Provinsi NTT untuk segera menyelesaikan persoalan-persoalan Kelautan dan Perikanan lainnya yang hingga hari ini tak sejengkalpun diselesaikan.
“Persoalan Konflik horizontal yang berkembang antar sesama masyakat nelayan diperairan teluk lewoleba ini semestinya pemerintah dalam hal ini DKP Kabupaten Lembata harus melakukan pengaturan daerah penangkapan antar nelayan tradisional dan nelayan modern,”ujarnya
Nelayan tradisional itu, kata dia, melakukan operasi penangkapan di Perairan Teluk Lewoleba.
“Mereka melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan dengan menggunakan alat-alat terbatas yakni, Pukat Dasar (Botton Gilnet), Pancing tonda, Pancing Ulur dan unit penangkapan ikan lainnya yang masih dalam skala kecil,” jelasnya.
Sedangkan nelayan modern, lanjut dia, melakukan operasi penangkapan ikan di Perairan Teluk Lewoleba dengan menggunakan alat penangkap ikan Mini Purseine.
“Nah kedua-duanya adalah sama-sama masyarakat setempat. Karena sebagaimana kita ketahui secara seksama bahwa sumber daya Kelautan dan Perikanan merupakan sumber daya open access, artinya bahwa siapan dia berhak untuk melakukan operasi penangkapan ikan selama tidak bertentangan dengan UU No 45 Tahun 2009 Jo UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Perikanan,” imbuhnya
Hasnu menjelaskan, dalam UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 2004 pada pasal 1 ayat (5) menegaskan, penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memeroleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun termasuk kegiatan yang menyimpan, mendinginkan, mengawetkan, memuat, dan mengangkut dan mengolah ikan.
“Pada Undang-undang ini juga dijelaskan bahwa pengolahan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian, dan pembangunan yang berkelanjutan,” katanya.
Mahasiswa Fakultas Perikanan pada program Studi Pemanfaatan Sumber Daya Perikanan Konsentrasi Penangkapan di Universitas Muhammadiyah Kupang itu mengatakan, PERMENKP Nomor 71 Tahun 2016 tidak mampu melaksanakan Undang-undang sebagai bentuk acuan dalam pembuatan kebijakan pemerintah yang baik.
“Karena UU ini telah melupakan asas yang telah diamanatkan dalam UU No 45 Tahun 2009 Tentang perikanan yang saya jelaskan diatas. Tentu PMII menilai PERMENKP yang dikeluarkan oleh Susy Pudjiastuti selaku Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Indonesia tidak cocok untuk diberlakukan di Perairan Teluk Lembata dan harus mengadakan revisi,” ujarnya.
Menanggapi laporan dari PMII itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT Ganef Wurgianto mengatakan, permasalahan ini telah lama dipikirkan dan dibahas di tingkat Provinsi.
Namun hingga kini, kata dia, pihak DKP Kabupaten Lembata belum melakukan koordinasi secara intens kepada Pemerintah Provinsi NTT.
“Untuk saat ini, saya telah berdiskusi dan diberikan perintah oleh Gubernur NTT Viktor Bung Tilu Laiskodat untuk penertiban dan peningkatan sektor Kelautan dan Perikanan di Provinsi NTT. jadi ke depannya DKP Provinsi NTT akan bekerja secara maksimal guna menjadikan NTT sebagai provinsi Kepulauan yang sarat akan potensi kelautan dan perikanan demi mendorong kemajuan provinsi yang kita cintai secara seksama ini,” katanya.
Untuk Perairan Lembata sendiri kata dia, semestinya DKP Kabupaten Lembata harus mengatur dan membahas terkait daerah penangkan (fishing ground) agar, baik itu nelayan tradisional maupun nelayan modern tidak berlangsung ribut yang kian alot hingga detik ini.
“Tentu, laporan adik-adik PMII Kupang akan kami bahas dan agar diselesaikan secara musyawarah tanpa harus mendiskreditkan sepihak. Karena antar nelayan tradisional dan nelayan modern sama-sama masyarakat lembata,” jelasnya.
“Tentu sesuatu yang sangat keliru apabila kita memilih hanya sepihak. Dan untuk Kabupaten Lembata akan menghadirkan pabrik ikan kaleng, guna mendorong program pengentasan kemiskinan baik kultural dan struktural yang pada hari ini menjadi agenda prioritas pemerintah,” sambung dia.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Ardy Abba