Oleh: Ben Senang Galus
Pakar penyandang cacat (diffable), Aden Achmad (2005), menulis ”Penyandang cacat sebenarnya hanya merupakan sebutan yang dihasilkan oleh proses bias berpikir manusia itu sendiri dan kultur lingkungan yang tidak bersahabat. Hal inilah yang sesungguhnya merupakan sumber terjadinya proses diskriminasi terhadap kelompok masyarakat yang mendapat sebutan penyandang cacat. Telah terjadi proses pencacatan terhadap sekelompok manusia oleh struktur sosial politik dan kultur yang berlaku dalam kehidupan masyarakat”.
Proses diskriminasi tersebut terjadi di segala aspek kehidupan, seperti di bidang peribadatan, pendidikan, pekerjaan, politik, hukum, informasi dan komunikasi, fasilitas umum, layanan sosial dan kesehatan.
Hal tersebut mengakibatkan munculnya berbagai kesulitan bagi penyandang cacat untuk mengakses fasilitas publik dalam kehidupan sehari-harinya.
Itulah kiranya yang bisa disebut cacat, yaitu kurang bisa mengimbangi tantangan hidup, di mana kebebasan hidup terhalang oleh kultur budaya, politik, dan lingkungan yang tidak akses.
Jika kita mengamati fasilitas publik di kota Labuan Bajo yang kini menggeliat daya tarik wisatanya (kantor, sekolah, tempat perbelanjaan, tempat pariwisata, dan sebagainya) hampir belum bisa diakses oleh penyandang cacat. Para pemakai kursi roda masih kesulitan dalam mobilitasnya terhadap ruang publik.
Trotoar yang tidak bisa dilewati, gedung-gedung sarana publik yang banyak tangga, dan lainnya sebagainya tertutup bagi penyandang cacat.
Fasilitas ruang publik yang tidak menyediakan fasilitas bagi penyandang cacat itu sama halnya ruang publik telah melakukan diskriminasi terhadap penyandang cacat, yang menghalangi hak hidupnya. Penyandang cacat juga manusia yang punya martabat, punya hak yang sama, dan derajat yang sama dengan manusia normal.
Di negara-negara yang sudah maju dalam membangun fasilitas publiknya selalu menyediakan aksesibilitas bagi penyandang cacat. Mereka sadar bahwa hidup tidak selamanya mulus, muda, sehat, dan sempurna, jadi tak lepas dari sarana dan prasarana yang memudahkan kehidupan mereka.
Prinsip yang digunakan adalah semua warga negara memiliki kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan yang sama. Seperti hak menggunakan fasilitas umum, hak mendapatkan pekerjaan yang sama, hak mendapatkan pendidikan yang sama. Hak mendapatkan pelayanan yang sama, hak berperan aktif dalam politik yang sama dan lain sebagainya.
Di negara-negara yang sudah memiliki sifat-sifat kemanusiaannya (human sense) tidak ada lagi perbedaan kesempatan antara orang yang disebut penyandang cacat dengan orang yang tidak cacat. Kesamaan kesempatan itu ditunjang dengan tersedianya hak-hak dalam menggunakan fasilitas publik. Dari mulai pedestrian, trotoar, sarana rekreasi, sarana peribadatan, bangunan kantor pelayanan umum, dan kendaraan sudah akses untuk kaum penyandang cacat.
Pertanyaannya, kenapa tata ruang dan sarana publik dibuat sedemikian rupa? Jawabnya sungguh sangat bijak, “Pemerintah dan rakyatnya berpandangan bahwa kami pun suatu ketika akan mengalami cacat”, oleh karena itu dibangun konsep tata kota dan bangunan seperti ini,” itulah jawaban yang keluar dari pikiran orang-orang yang memiliki human sense, yang berorientasi masa depan.
Solidaritas, kesadaran, wawasan, dan daya pikir orang-orang di negera maju sudah sangat tinggi. Mereka yakin bahwa hidup ini tidak selamanya mulus. Jadi seolah-olah mereka telah mempersiapkan diri dengan sarana dan prasarana yang diciptakan bila mereka mengalami kecacatan yang bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, baik diakibatkan oleh penyakit maupun kecelakaan.
Ini berarti memberikan kesamaan kesempatan (equal opportunity) bagi para penyandang cacat (diffable) untuk bisa berpartisipasi penuh dalam aktivitas sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan. Oleh karena itu saya rasa Labuan Bajo dan kota-kota lain di NTT bisa tercipta accessibility for all bilamana para penguasanya punya hati nurani, kesadaran, dan kepedulian.
Terpadu
Untuk merealisir hal tersebut, mutlak dibutuhkan kedalaman – keluasan—kepekaan wawasan badan publik, karena ia punya misi menggabungkan sekaligus mengatasi parokialisme tiap pendekatan.
Menggeliatnya pariwisata di Labuan Bajo dan kota-kota destinasi wisata lain di NTT tidak saja berdampak pada perubahan tata pemerintahan dan pembangunan, tapi juga berdampak pada tatanan dan sistem penataan ruang.
Penataan kota sebagai suatu kesatuan proses dan sistem perencanaan tata ruang, pemanfaatan dan pengendalaian ruang dalam praktiknya tergantung pada kewenangan pemerintah daerah dan sistem pembangunan.
Tata ruang mesti dipikirkan sebagai titik masuk pembangunan daerah yang beradab. Sudah saatnya NTT, pengelolaan tata kotanya tidak sekadar sebagai “economic and business battleground” atau sebagai ajang bagi “everyday war”, melainkan sebagai wadah dan wahana peradaban dan kebudayaan manusia.
Mekanisme development control yang ketat juga perlu ditegakkan. Lengkap dengan sanksi bagi pelanggar dan penghargaan bagi mereka yang taat aturan.
Hal lainnya penataan ruang perlu dilakukan secara total, menyeluruh dan terpadu, dan memudahkan aksesibiltas bagi penyandang cacat. Model-model participatory planning dan over the board planning atau perencanaan lintas sektoral selayakanya dilakukan secara konsekuen dan berkesinambungan.
Demikian halnya dengan kepekaan sosio kultural para penentu kebijakan dan para perencana seyogiyanya lebih ditingkatkan. Sedangkan, kekayaan khazanah lingkungan alam mestinya jadi perhatian dalam setiap perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup dan sarananya yang benar-benar mendekati kemuliaan rakyat, yaitu bisa dinikmati oleh semua orang termasuk di antaranya yang disebut sebagai penyandang cacat (diffable).
Namun beberapa masalah dalam penyelenggaraan penataan ruang, seperti semakin tingginya konversi penggunaan lahan; meningkatnya pertumbuhan pemikian baru di spadan jalan; urban sprawl; semakin meningkatnya kemacetan lalu lintas (diperkirakan untuk tahun mendatang), dan perumahan kumuh, serta semakin berkurangnya ruang publik di perkotaan; kurang memadainya kapasitas kawasan perkotaan terhadap tekanan jumlah penduduk; dan kurang seimbangnya pembangunan kawasan perkotaaan, merupakan fakta empirik dan yuridis tentang penataan ruang yang belum mampu mewujudkan kehidupan masyarakat yang nyaman, aman, produktif, dan berkelanjutan.
Dari uraian di atas, berikut ini beberapa catatan yang perlu diperhatikan oleh pejabat publik di NTT khususnya di Labuan Bajo dalam penataan ruang di kota ini.
Pertama, konsep dasar penataan ruang dan pengelompokan penataan ruang meliputi; integrasi pengaturan ruang parkir, trotoar, pengaturan pengelolaan pengembangan wilayah, pengaturan pengelolaan kawasan perkotaan; alternatif arah pengembangan kelembagaan; konsep peran masyarakat dalam penataan ruang; penegakan hukum di bidang penataan ruang melalui pengaturan sanksi penerapan zoning regulation, dan standar pelayanan minimal; maupun pertimbangan eco-region dalam penataan ruang.
Kedua, tidak ada kata terlambat, perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan perlu dilihat sebagai management of conflict, tidak sekadar management of growth atau management of changes.
Tujuan jangka panjang yang ideal perlu disenyawakan dengan pemecahan masalah jangka pendek yang bersifat inkremental. Singkatnya penataan ruang hendaknya berperspektif penyandang cacat sehingga mereka juga bisa menikmati indahnya kota-kota destinasi wisata di NTT sama seperti kita yang lain.
Ketiga, penataan ruang hendaknya terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kualitas lingkungan hidup, yang pada akhirnya akan mendukung upaya mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan sejahtera, sebagaimana dalam diatur dalam pembukaan UUD45. Semoga !
*) Ben Senang Galus pemerhati masalah sosial, tinggal di Yogyakarta.