Oleh: Petrus Natom
Saban subuh, di sebuah tempat, tepatnya di salah satu Kampus Negeri di Kota Kupang. Kira-kira, tak jauh dari parkiran kendaraan yang semberawut, saya sempat berdisksui dengan seorang teman mantan mahasiswa.
Dia kebetulan teman saya, sangat akrab. Acapkali bertemu, memang diskusi kami sering khusuk namun lentur. Dibaluti candaan dan juga nada serius. Topik kali ini, menyinggung kondisi politik Indonesia dan juga Nusa Tenggara Timur.
Ngomong politik saat ini, selalu saja hangat. Kehangatannya bukan karena politik selalu menarik perhatian, tetapi juga karena acapkali, selalu menggiring opini sekaligus emosional publik untuk, seola-olah ikut bermai dalam pusaran itu.
Teman tersebut sontak membuat saya sedikit kaget ketika menggambarkan fenomena politik saat ini. Dia menyinggung film zaman 1990-an yang cukup terkenal yakni Wiro Sableng.
Menyebut film itu, saya jadi teringat pemeran utama yang suka kocak dan bikin ngakak. Konon, jurus 212 dua adalah jurus pamungkas, saat pemeran Wiro Sableng dalam keadaan terdesak. Teman saya melanjutkan, kondisi politik praksis saat ini mirip jurus 212 itu.
Menurut dia, kekuatan modal menjadi poin utama dalam politik. Saat modal bermain apik, biasanya kader yang tanpa biaya atau tanpa kematangan finansial, akan cenderung di back up, oleh pemilik modal.
Pemilik modal itu akan menjadi Man Behind Gun. Ia bermain dibelakang layar. Mengendalikan dari jarak jauh. Penyertaan modal inilah yang kemudian menjadi senjata pamungkas untuk menghancurkan kebijakan yang prorakyat menjadi pro pemodal.
Jurus 212
Jurus 212 yang dimaksudkan adalah, 2 tahun pertama jika terpilih, akan mengembalikan modal serta menutup banyak dukungan finansial dari kelompok ketiga.
Satu tahun kemudian akan digunakan untuk sepenuhya memberikan perhatian kepada masyarakat, sisanya, 2 tahun digunakan untuk mencari modal demi melanggengkan jalan menuju kekuasaan jilid dua.
Disingkat, dua tahun tutup modal, satu tahu kerja buat rakyat, dua tahun cari modal untuk periode kedua.
Jika ditelisik dari ruang sejarah, politik dengan jurus balas budi telah lama mengakar dalam sistem politik indonesia. Toh, sejak zaman hindia Belanda, sudah dikenal dengan yang namanya politik balas budi.
Massa sebelum era kemerdekaan, di bawah penjajahan Belanda, eksploitasi atas manusia Indonesia sebagai daerah jajahan sudah dikenal dengan nama sistem tanam paksa.
Ekploitasi ini, bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya alam dan juga manusia Indonesia untuk melanggengkan kekuasaan sekaligus kekayaan Belanda.
Tubuh masyarakat Indonesia dipaksa untuk bekerja, meretas keterisolasian demi profit Belanda. Belanda dapat banyak modal untuk membangun negaranya, sementara rakyat Indonesia makin melarat dalam kemiskinan akut.
Pada massa kemerdekaan dan demokrasi liberal jurus mendapat modal itu terus dipraktekkan.
Kali ini pelakunya sesama saudara bangsa. Demi mendapat modal kekuasaan, idealisme dilacurkan bahkan tega membohongi rakyat.
Kekuatan modal finansial politik tak terlepas dari tangan tersembunyi pemilik uang. Sebut saja, beberapa partai politik yang justru dikendarai para pemodal kelas atas.
Pengamat politik Charta Politicia, Arya Fernandes (KONTAN 22/02/18), pernah menyampaikan, ada tiga pola utama pembisnis/pemodal bercokol dibalik partai politik.
Pertama, pola pembisnis menjadi pendonor tunggal dalam partai politik, kedua, pemodal menjadi pemodal di beberapa partai sekaligus, dan ketiga, pemodal membangun partai sekaligus.
Pola pertama, sebut saja, Oesman Sapta Oedang, diangkat sebagai ketua umum Hanura. Kita pun tahu, OSO adalah konglomerat yang juga dibuntuti oleh PT Citra Putra Mandiri.
Selain itu, contoh lain, berdirinya partai Nasional Demokrat (NasDem), oleh Surya Palloh, partai Gerindera oleh Prabowo Subianto dan juga Partai Berkarya oleh Tomy Surato.
Pembisnis/pemodal ini bukan tanpa alasan untuk mendonasikan modalnya ke partai poltik.
Kita sepaham, apapun kebijakan yang lahir di Negeri ini, tak terlepas dari proses politik. Partai yang menjadi pemenang akan mengendalikan kekuasaan. Siapapun pemimpin yang terpilih akan senantiasa mendengar pimpinan partai politik yang adalah pemodal juga pembisnis. Apapun risikonya.
Lepas dari soal di atas, realitas hari ini, menunjukkan kondisi yang disebut jurus 212 itu. Pemodal biasanya selalu mencari peluang bagi kandidat juara. Hitunganya sederhana, modal bisa dikembalikan serta dilipatgandakan.
Waktu untuk memikirkan urusan rakyat, hanya satu tahun. Dalam jangka waktu itu, biasanya akrab disebut politik cari muka.
Pada zona itu, adalah kebiasan pemimpin terpilih akan cenderung mengunjungi konstituen dan memainkan peran ganda dengan obral kebijakan prorakyat. Kebijkan ini sebagiannya sampai pada tataran realisasi juga sebagian hanya bermain pada level iklan semata.
Dua tahun terakhir, biasanya pemimpin terpilih akan selalu mengambil keuntungan sebagai modal dasar untuk periode selanjutnya.
Kebijakan, pekerjaan pembanguna fisik akan ditakar sedemikian rupa akan bisa meraup isi saku.
Segala jenis pembangunan fisik mesti ditarik fee dan keuntungan pribadi dan kelompok sejenis untuk mampu bermain nyaman pada puataran kedua.
Modal ini kemudian akan disimpan dalam sebuah buku simpanan istri atau lainya yang bersifat tersembunyi agar kemudian menjadi modal untuk melakukan pendekatan politik demi melanggengkan dan melanjutkan kekuasaan jilid dua.
Jika dulu, politik semacam ini kerap disebut politik etis atau balas jasa, kini, tidaklah salah jika kita menyebutnya dengan nama politik 212 Wiro Sableng.
Sebuah kondisi politik yang menempatkan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat menjadi nomor wahid. Akibatnya, lahirlah sebuah pola pikir masyarakat, politik itu sampah. Politik adalah penyakit yang selau menyisakan luka yang sama, penyakit yang sama dengan ragam godaan jenis obat penangkal yang dibuat beda padahal nyatanya sama.
Alhasil, pada akhirnya, masyarakat tetap maka angin janji, tanpa bukti. Besar retorika nihil realisasi.
Semoga, diskurus kecil antara saya dan teman saya, mampu membuka mata publik, mana calon pemimpin yang ramai diboncengi pemodal dan mana calon pemimpi yang benar-benar memiliki modal sosial dan berjuang atas nama kepentingan banyak orang.