Oleh: Ben Senang Galus*
Berbagai perkembangan dan perubahan, terutama godaan konsumerisme dan materialisme, membuat banyak orang cenderung merasa kurang tertarik dengan masalah spiritual dan rohaniah.
Akibatnya, semakin banyak orang larut dalam berbagai pesona material dan tidak sedikit pula yang mulai mengalami ketegangan antara tarikan kehidupan spiritual dengan godaan material.
Banyak kalangan menilai pembangunan ekonomi menjadi pembawa arus materialistis dan konsumtif itu.
Budaya materialistik dan konsumtif yang berlebihan membuat manusia terpental dari imannya, dimana seharusnya ia masih haus akan nilai-nilai moral-spiritual.
Artinya apa yang dia peroleh pada akhirnya tidak lebih sebagai bentuk baru menyembah berhala.
Masyarakat konsumeris memproduksi apa saja yang bisa memuaskan semua keinginan manusia untuk membuatnya bahagia. Mereka mengira bahwa kebahagiaan bisa terjadi dengan memuaskan semua kebutuhan tersebut.
Kebahagian Semu
Fenomena zaman ini hampir menegaskan bahwa seluruh energi kita dikerahkan untuk pembebasan dan pemenuhan hawa nafsu: nafsu kebendaan, kekayaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, kebugaran, keindahan dan lain-lain.
Dalam kompleksitas kebahagian semu itu manusia modern sebenarnya mengalami ketegangan iman.
Berbagai produk modern yang menawarkan kebutuhan manusia, turut menciptakan tipe kebudayaan baru (baca: iman baru) yang ditandai oleh prinsip pertumbuhan dan kemajuan sebagai ideology imperatifnya.
Maka dampak negatifnya bisa mengganggu keutuhan atau totalitas pribadi manusia sebagai insan kamil ( Hendryk Beribe, 1984).
Mengutip pendapat Marshal McLuhan dalam “ The Global Theatre”, dampak negatif dari ideology materialisme atau kemajuan tanpa batas itu melampaui batas-batas kewajaran dari pertumbuhan atau perkembangan yang mungkin paling masuk akal. Misalnya, hilangnya identitas moral dan spiritual manusia, secara radikal mengubah persepsi mengenai diri dan orang lain.
Dengan demikian manusia menjadi teralienasi dari dirinya sendiri sebagai ciptaan Tuhan dan lingkungan masyarakat budayanya. Teknologi maju membuat manusia sebagai mesin dalam proses perkembangan automatis.
Automatisasi membuat manusia bukan lagi subyek human yang otonom, melainkan budak yang tertindas karena keseimbangan psikologisnya terguncang ketika norma-norma etos social, moral, dan spiritual dijungkirbalikkan.
Maka tidak heran kalau rasa keadilan sosial, solidaritas sosial, moral pada manusia modern meluntur habis. Semua nilai itu diganti dengan etika materialisme yang menjadi tolok ukur kriterium nilai.
Manusia modern tidak lagi menjadi makhluk sosial yang hidup bersama dengan orang lain melainkan makluk tunggal yang hidup sendirian dalam penjara-penjara kebudayaan yang diciptakannya sendiri.
Materialisme lebih jauh memaksa manusia untuk memandang dirinya sebagai dewa dan Allah dalam dunia. Begitu sekularisme dan ateisme praktis muncul sebagai “agama baru”, tanpa promulgasi resmi.
Dalam hal ini kita bisa mengingat kembali citra raja Firaun, ketika Nabi Musa menerima Sepuluh Perintah Allah di Gunung Sinai. Firaun dan rakyatnya menyembah patung emas sebagai Allah lain, yang pada akhirnya mereka menjadi murka. Itulah gambaran manusia modern saat ini.
Bahaya paling fatal yang disemburkan materialisme dan konsumerisme adalah kecenderungannya untuk tidak mempedulikan tuntutan moral, kehangatan spiritual dan kemanusiaan. Orang tergila-gila untuk memiliki dan mengkonsumsi sebanyak mungkin, tatapi imannya mengalami kehampaan.
Manusia modern tidak tumbuh seimbang. Kepribadiannya terpecah. Akibatnya, manusia kehilangan iman di atas tumpukan kemewahan. Mereka menyisihkan sedikit ruang bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan dan pencerahan spiritual.
Padahal sebetulnya manusia tidak bisa menahan kekosongan batin. Hal itu merupakan tuntutan kodrati. Tanpa adanya kepenuhan rohani yang meresapi seluruh diri, kodrat itu akan berusaha menambal kekurangan itu dengan kebahagian buatan (artificial) dan palsu.
Di sinilah letak ketergiuran manusia modern terhadap kekayaan dan kemewahan hidup. Seperti dilansir Gustav Jung, bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam dunia kita. Segala dambaan material, uang, rumah, mobil, televisi, dan pencakar langit yang kita miliki tidak memuaskan kehausan jiwa kita.
Pembangunan memicu perubahan social. Perubahan itu tidak hanya terjadi secara fisik, tapi juga perubahan sikap mental. Nilai-nilai mengalami pergeseran. Nilai-nilai lama dan baru saling berhadapan.
Dalam situasi konfrontatif itu, setiap orang terdesak untuk membuat pilihan. Bahaya muncul karena orang tercerabut dari akar nilai-nilai yang pernah membesarkannya, dan cenderung terpesona oleh nilai-nilai baru itu, tapi tidak masuk sungguh-sungguh di dalamnya.
Situasi ini menimbulkan krisis iman atau bisa disebut ketegangan iman. Orang merasa kehilangan orientasi dan pegangan hidup. Orang merasakan kebosanan untuk hidup. Hidup kehilangan makna dan tujuan. Inilah wabah yang paling akut yang dialami manusia modern dewasa ini.
Kalau memang benar sebagian manusia dilanda krisis, khususnya aspek moral dan spiritualnya, sudah saatnya kita memeriksa batin sebelum datang bahaya yang lebih besar.
Krisis itu, bagaimanapun, bukan hanya merupakan gugatan terhadap pembangunan yang menghasilkan manusia materialis dan konsumeris, tapi juga memberikan tamparan keras terhadap keberadaan agama dalam masyarakat.
Sejauh mana agama menjadi satu-satunya alternatif pandangan hidup yang sungguh memberikan bukan hanya jawaban atas misteri terang alam dan manusia, melainkan juga pada masalah konkret, seperti problem social dan ekonomi.
Meminjam terminologi Jerome Aixala, dalam bukunya “Justice with Faith Today”, iman manusia modern saat ini seolah-olah tidak mempunyai akar dengan ajaran kitab suci.
Dalam kondisi yang demikian akan memunculkan gejala baru yaitu apa yang disebut “agama semu” (quasi faith), dimana manusia modern mengalami kerapuhan oleh proses perubahan yang tidak pernah berhenti.
Budaya materialisme kian merasuk iman kita. Padahal dalam kitab suci agama apapun mengajarkan agar kita tidak bersikap boros.
Maka manusia modern dihadapkan pada tantangan kehidupan sehari-hari yang serba sulit, ditambah lagi suatu kemungkinan terjadinya involusi iman, yaitu kencendrungan sikap manusia yang semakin eksklusif sebagai manifestasi ketidakmampuannya menyerap nilai-nilai baru budaya materialisme yang seakan-akan mengancam resistensi iman mereka.
Dengan perubahan yang terlampau cepat dapat menyebabkan timbulnya gejala krisis iman, yang menjurus pada pendewaan harta benda.
Krisis iman itu telah menjadi nyata dimana “ethico-mythical nucleus” yang merupakan central point of reference telah mengalami kematian. Contohnya, budaya korupsi yang marak dilakukan orang-orang yang mengaku Bertuhan.
Dalam arus kuat modernisasi dan perubahan tersebut kita dihadapkan dengan beberapa pertanyaan reflektif berikut ini: Sanggupkah kita merevilitalisasi iman? Ataukah tenggelam dan terpaksa ikut arus, menjadi bagian dari kekeliruan itu?
Atau masihkah moral kita mempunyai fungsi dan peranan sebagai “ watchdog” terhadap arah perubahan yang keliru itu? Jawabannya tergantung pada kesadaran eksistensial masing-masing pribadi. Mau menanggalkan iman demi kebahagiaan semu atau terus berusaha mengasa spritualitas untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki.
*) Ben Senang Galus, penulis buku ” Kosmopolitanisme, Satu Negeri Satu Jiwa”, tinggal di Yogyakarta