Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
Kepala daerah di Indonesia hampir-hampir identik dengan korupsi. Sejak Januari-Juli 2018, 19 kepala daerah ditetapkan tersangka oleh KPK.
Metro TV (20/11) memberitakan sejak 2015-November 2018, ada 69 kepala daerah yang terjerat korupsi. Terakhir, Bupati Pakpak Bharat, Remigo Yolanda Berutu, bersama dua orang lainnya, ditangkap dalam sebuah Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK.
Maraknya kepala daerah yang melakukan tindakan korupsi berjalan linear dengan besaran dana transfer pusat ke daerah sejak tahun 2015. Disebutkan tahun 2015, jumlah dana transfer pusat ke daerah sebanyak Rp 623,1 triliun, 710,3 triliun (2016), 755,9 triliun (2017), dan 766,2 triliun (2018).
Motif korupsi pun bermacam-macam; mulai dari proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, pengisian jabatan, perizinan, pengesahan anggaran hingga alih fungsi hutan. Semua aspek nyaris dikorup dan dicuri.
Karena itu, banyak pihak mengatakan, otonomi daerah lebih banyak mendatangkan azab daripada nikmat. Demokrasi berjalan tanpa isi. Politik lokal dipakai bukan untuk merumuskan kebijakan prorakyat tetapi mendatangkan kemaslahatan segelintir elite kekuasaan.
Lalu, apa yang diharapkan dari model kepala daerah seperti ini? Jika kepala daerah diasumsikan menjadi kepala bagi setiap kepala manusia yang ada di daerah, kebijakan yang keluar dari kepala daerah sejatinya memberi dampak bagi kesejahteraan kepala yang lain secara fisik dan sosial. Faktanya, semakin banyak anggaran yang ditransfer ke daerah, korupsi makin masif dan terus menjadi-jadi.
Banyaknya kepala daerah yang terjerak korupsi menyebabkan banyak orang pesimis akan banyak hal. Masyarakat pesimis tidak saja pada tujuan demokrasi lokal dan politik elektoral tetapi terutama soal usaha membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Semua usaha pemberantasan korupsi akhirnya menemui jalan buntuh. Sebab, kepala daerah tetap saja melakukan korupsi dan merayakan tindakannya itu dalam perayaan pencurian uang rakyat dengan sangat vulgar.
Sampai pada batas ini, usaha memberantas korupsi seakan gagal total. Jalur yuridis dan nonyuridis seperti kesulitan mencari format yang tepat dalam penyelesaian kasus korupsi.
Pertanyaan penting kemudian ialah di mana letak kelemahan utama pemberantasan korupsi di Indonesia?
Tanpa mengurangi rasa hormat atas analisis dari banyak analis yang lain, hemat saya, kelemahan dasar kita terletak pada konsistensi penegakkan hukum. Yang dimaksud ialah konsistensi penerapan aturan terkait dengan hukuman bagi mereka yang melakukan korupsi.
Dengan kata lain, bangsa ini menjadi ruang subur bagi tumbuhnya korupsi karena ketidakkonsistenan kita pada penerapan aturan. Kita terlampau permisif terhadap koruptor.
Dua Realitas
Soal ide pemberantasan korupsi dan praktik korupsi di Indonesia telah banyak didiskusikan banyak ahli. Dua hal ini merupakan pertarungan antara dua dunia yakni realitas simbolik dan realitas sosial (Kleden, 2001). Dosa terbesar perilaku korupsi di Indonesia menurut Kleden karena korupsi terbentang dalam dua dunia itu.
Ketika menyebut kepala daerah, semua energi tertuju pada cara mendapatkan kekuasaan sebagai bupati, walikota atau gubernur. Itu berarti, politik mesti disebutkan di sana. Politik disebut karena semua yang ingin berkuasa harus melalui mekanisme politik.
Dengan demikian, politik berkaitan dengan dua aspek pula yakni cara untuk merumuskan kebijakan secara luas dan mekanisme untuk mendapatkan kekuasaan guna perumusan kebijakan tertentu. Dalam kerangka seperti itu, kemampuan politik seseorang berhubungan dengan beragam kebijakan yang dapat dijalankan oleh lembaga sosial di satu titik dan implikasi politik tersebut bagi dinamika sosial di dalamnya.
Persis di situlah benturan kekuasaan di Indonesia. Di sini, kekuasaan yang didapat melalui proses politik, tidak untuk merumuskan kebijakan yang dimanfaatkan bagi kepentingan banyak orang. Kekuasaan sering dipakai untuk tujuan pemenuhan hasrat ekonomistik individu tertentu.
Dalam logika demikian, benturan pemberantasan korupsi di Indonesia terjadi dalam bentangan kepentingan politik dan hukum. Ketika sebuah aturan yuridis dibuat oleh lembaga legislatif dan pemerintah, di saat yang sama, aturan yang telah dibuat itu serta merta diabaikan dengan amat sangat.
Inkonsistensi
Fenomena maraknya korupsi yang dilakukan kepala daerah hemat saya bukan karena ketiadaan moral dan etika. Korupsi terjadi bukan karena ketiadan aturan dan norma yang mengatur tata cara pemerintahan.
Memeriksa motif korupsi yang dilakukan kepala daerah, sulit untuk tidak mengatakan bahwa mereka melakukannya tanpa berbasiskan etika dan moral. Dana proyek infrastruktur dan lain-lain bisa saja dipakai untuk tujuan pembangunan menurut pandangan kaum modernis.
Soal menjadi lain ketika uang yang ditransfer itu ternyata tidak dipakai untuk kepentingan banyak orang tetapi digunakan hanya untuk kepentingan diri dan kelompok. Dosa kepala daerah ada di sana.
Saat korupsi terus dilakukan, upaya pemberantasannya pun tak surut. Anehnya, masifnya penangkapan koruptor oleh lembaga yang berwewenang berjalan linear dengan tindakan korupsi kepala daerah. Semakin gencar KPK menangkap koruptor semakin sering pula kepala daerah melakukan korupsi.
Di titik itulah pertarungan ide di realitas simbolik dengan fakta yang terjadi di realitas sosial, Kleden, menarik didiskusikan. Menurut Kleden, soal besar pemberantasan korupsi di Indonesia ialah karena kita gemar mengutak-atik realitas simbolik dan bukan realitas sosial.
Aturan menyangkut pelarangan mencuri uang negara terlampau banyak di Indonesia. Selain polisi dan kejaksaan, Indonesia memiliki KPK; sebuah lembaga yang berkuasa penuh atas pemberantasan korupsi. Meski demikian, setiap saat kepala daerah terus ditangkap dan banyak berurusan dengan lembaga penegak hukum.
Meminjam Kleden, semua itu terjadi karena inkonsistensi hukum dalam praktiknya di masyarakat. Inkonsistensi hukum ialah lemahnya putusan dan miringnya praktik putusan hukum dalam praktiknya di level sosial.
Ketika koruptor mendapatkan fasilitas mewah di lembaga pemasyarakatan (kasus Lapas Sukamiskin misalnya), sulit nian rasanya mengharapkan pemberantasan korupsi di level praktik. Ketika banyak orang menolak mantan napi korupsi untuk dicalonkan menjadi anggota legislatif, beberapa pihak masih permisif lalu memberikan absolusi (memberi ampun dan maaf) bagi mantan napi tersebut. Efek jera sulit dapat di sana.
Maka, mengangisi bangsa karena perilaku korup kepala daerah merupakan pekerjaan sia-sia. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada kepala daerah yang telah dan akan berbuat baik bagi rakyat, yang bisa dilakukan sekarang ialah memberi label bahwa kepala daerah adalah kepala korupsi.
Dengan begitu, kita semua segera sadar untuk tidak memilih orang yang salah dalam setiap kontestasi. Selanjutnya, label tersebut memberi peringatan bahwa setiap kepala daerah rentan terhadap korupsi. Karena itu, konsistensi hukum amat perlu untuk memberikan efek jera bagi kepala daerah yang lain.