Ende, Vox NTT- Warga yang belum menerima pembebasan lahan dalam rangka perpanjangan landasan Bandar Udara Aroeboesman, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, menemukan sejumlah kejanggalan-kejanggalan administrasi.
Kejanggalan itu terdapat pada surat panggilan yang ditandatangani oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha Bandara, Agustinus M. Moa dan rincian nilai ganti rugi berasal dari Tim Appraisal.
Stefanus Teban, warga Tetandara yang belum menerima biaya ganti rugi, menguraikan sejumlah kejanggalan administrasi yang diterimanya seperti surat panggilan dimaksud.
Ia menerangkan, pihak bandara mengirim surat panggilan kepadanya lantaran ia bersama keluarga belum menerima hasil kajian dari Tim Appraisal.
Sudah tiga kali surat panggilan itu dilayangkan kepadanya. Surat pertama tertanggal 23 November 2018 dengan nomor surat AU.103/2/7/HHA-2018.
Baca: 10 Warga Tetandra Lepaskan Hak Tanah Pengembangan Bandara Aroeboesman
Surat kedua tertanggal 27 November 2018 dengan nomor surat AU.103/2/8/HHA-2018 dan surat panggilan ketiga tertanggal 30 November 2018 dengan nomor surat AU.103/2/10/HHA-2018.
Stefanus mengaku, dari tiga panggilan itu, tak sekalipun ia penuhi.
“Nah, saya temukan ada yang aneh dalam surat panggilan. Makanya, saya tidak ikut (panggilan) itu,” ucap, Sabtu (01/1/2018) di Ende.
Kejanggalan yang temukan Stefanus itu yakni pada lampiran surat panggilan ketiga. Surat panggilan pertama yang dilampirkan pada surat panggilan ketiga itu terdapat perbedaan tembusan.
Tembusan pada surat panggilan pertama itu hanya tertuju kepada Panitia Pembebasan Lahan.
Sementara, pada lampiran surat ketiga, tembusan tertuju pada beberapa instansi yakni Bupati Ende, Wakil Bupati Ende, Kepala BPN Ende, Kepala Kejaksaan Negeri Ende, Kepala Dinas DPRKPP, Camat Ende Selatan dan Lurah Tetandara.
“Masa surat yang sama, dengan nomor dan tanggal yang sama, tapi tembusan berbeda-beda? Ini saya duga ada rekayasa,” katanya.
Kejanggalan ini, membuat Stefanus tak percaya terhadap proses pengadaan lahan pengembangan Bandara Aroeboesman. Kemudian ia menilai ada hal yang direkayasa secara struktural.
“Saya tidak percaya dengan administrasi ini,” katanya singkat.
Sementara, Yerun L. Goetha kepada wartawan menjelaskan, rincian nilai ganti rugi yang diberikan kepadanya merupakan administrasi palsu.
Hal itu ia sebut, karena dalam surat rincian tersebut tidak tertera penanggung jawab serta stempel yang legal dari tim Appraisal.
Ia mengatakan, jika surat tersebut dikeluarkan oleh lembaga atau instansi yang resmi maka dicantum stempel dan tanda tangan penanggung jawab.
“Kalau ini saya nilai administrasi bodong. Tidak ada penanggung jawab yang legal,” tegas Yerun.
Ia menjelaskan, dalam urusan pembebasan lahan seperti ini mesti dilakukan secara transparan terhadap publik, terutama warga yang terkena dampak.
“Kalau kita warga yang kena dampak saja sudah tidak transparan, bagaimana dengan warga lain. Jadi, sangat tertutup dan tidak transparan,” ujar Yerun.
Penuli : Ian Bala
Editor: Boni J