Kupang, Vox NTT – Perwakilan Aliansi Mahasiswa Pemuda Peduli Rakyat Lembata (Amppera) Kupang mendatangi Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Timur, Kamis (17/1/2019).
Kedatangan yang diwakili oleh Koordinator Umum Amppera Kupang Emanuel Boli dan anggota Elfrdus dan Rofinus Madi itu disambut baik oleh Kepala Seksi Penerangan Hukum (Penhum), Iwan Kurniawan di ruangannya.
Kedatangan ketiga aktivis itu untuk mengonfirmasi lagi tindak lanjut penanganan kasus dugaan korupsi proyek jembatan Waima di Kabupaten Lembata.
Terhitung untuk yang ketiga kalinya, Amppera Kupang menyambangi Kejati NTT untuk meminta usut kasus dugaan penyelewengan dana proyek jembatan Waima.
Kepada perwakilan Amppera, Iwan mengaku, pihaknya sudah melimpahkan ke Kejari Lembata atas penanganan kasus dugaan korupsi proyek jembatan Waima.
“Saya sudah konfirmasi lagi ke Kepala Tindak Pidana Khusus (Tipidsus) Kejati NTT, Wijaya Kusuma bahwa kasus dugaan korupsi jembatan Waima telah diserahkan ke Kejari Lembata untuk diproses,” katanya.
Perwakilan Amppera Kupang pun mempertanyakan alasan kasus tersebut dilimpahkan ke Kejari Lembata.
Namun menurut Iwan, pihaknya mempertimbangkan efisiensi karena kasus tersebut berada di Kabupaten Lembata. Itu sebabnya, Kejati NTT melimpahkan pengusutannya ke Kejari Lembata.
“Kami melimpahkan ke Kejari Kabupaten Lembata untuk ditangani,” tandas Iwan.
Pria asal Nusa Tenggar Barat itu menegaskan, apabila Kejari Lembata lamban dalam proses penyelidikan kasus dugaan korupsi proyek jembata Waima, maka perkara ini akan diambil alih oleh Kejati NTT.
Sementara itu, Koordinator Umum Amppera Kupang, Emanuel Boli, kepada Kasie Penhum Kejati Provinsi NTT menuturkan, ambruknya oprit jembatan Waima bukan karena bencana banjir.
Menurut pria yang akrab disapa Soman Labaona itu, ambruknya oprit jembatan Waima disebabkan oleh kegagalan konstruksi dari konsultan perencanaan.
“Sehingga, jembatan yang menghabiskan dana 1.7 miliar dari dana BTT APBD II dan baru selesai dibangun sekitar lima bulan yang lalu, ambruk dua kali. Ambruk kali pertama pada tanggal 26 November 2018 dan diperbaiki. Setelah itu, ambruk lagi pada tanggal 27 Desember 2018 dan putus total sampai dengan sekarang,” tegas aktivis PMKRI Cabang Kupang itu
Ia juga mendesak Kejati NTT agar memerintahkan Kejari Lembata segera melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi proyek jembatan Waima.
Tak hanya itu, ia juga meminta agar Kepala Dinas PUPR Lembata, Paskalis Tapobali dan pihak swasta untuk bertanggung jawab atas ambruknya jembatan Waima.
Paskalis dan pihak swasta tersebut, kata dia, segera menyerahkan semua dokumen-dokumen terkait proyek jembatan Waima mulai dari tahap perencanaan sampai dengan tahap pelaksanaan.
Amppera Kupang Tolak Alasan Pemda Lembata
Elfridus Leirua Rivani Sebleku, mahasiswa asal Lembata dengan tegas menolak alasan Pemda Lembata yang menyebut ambruknya jembatan Waima diakibat bencana alam.
“Pemda Lembata terkesan sedang cuci tangan atas masalah yang sedang terjadi,” tegas Sebleku.
Ambruk dan putusnya jembatan Waima kata dia, tidak bisa diamini begitu saja bahwa semua diakibatkan oleh bencana alam.
“Pasalnya, kalau dikatakan bencana, maka setiap tahun di kali Waima selalu terjadi bencana. Debit air pada kali Waima di saat musim hujan selalu saja seperti saat ini. Lalu apakah itu bencana?, Kita mesti tetap patut menduga segala macam penyimpangan yang terjadi pada proyek pembangunan Jembatan Waima tersebut,” ujar aktivis GMNI Cabang Kupang itu.
Oleh karena itu, ujar Sebleku, Pemda Lembata beserta seluruh elemen terkait mestinya mempertanggungjawabkan dana sebesar Rp 1,7 miliar yang saat ini terkesan mubazir akibat putusnya jembatan ini.
“Kami sangat berharap pihak Kejaksaan harus mengusut tuntas kasus dugaan korupsi proyek jembatan Waima,” harapnya
Rencananya, Amppera Kupang akan mendatangi Gubernur NTT, Polda NTT, dan Ombudsman Perwakilan NTT untuk melaporkan kasus jembatan Waima.
Sebleku menegaskan, apabila Kejati NTT dan Kejari Lembata lamban dalam menanangi kasus Waima, Amppera Kupang akan kembali melakukan aksi besar-besaran di sejumlah instansi penegak hukum di Kota Kupang.
Penulis: Tarsi Salmon
Editor: Ardy Abba