Oleh: Ben Senang Galus*
Multikultural menjadi salah satu keunikan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sini, berbagai etnis, bahasa, agama, budaya, dan golongan berlebur menjadi semacam miniatur Indonesia.
Faktor itulah yang menyebakan berbagai latar belakang masyarakat memilih NTT sebagai tempat yang paling aman untuk tinggal dan berusaha.
Pemerintah daerah maupun penduduk setempat tidak pernah menolak warga dari daerah lain yang ingin melakukan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya maupun aktivitas keagamaan.
NTT itu dinamis, terutama sikap masyarakatnya yang bisa memahami berbagai macam perbedaan, melebihi daerah lain di Indonesia. Sejumlah penghargaan level nasional yang diraih pemerintah NTT setidaknya mendukung narasi itu.
Yang lebih menarik lagi adalah eksistensi budaya setempat masih tetap dijaga dan dilestarikan oleh berbagai komunitas adat. Tidak seperti Jakarta yang sudah sangat industrialis dan cenderung kapitalistik.
Mereka semua bisa belajar hidup tanpa ada perbedaan asal usul kesukuan, agama maupun ras. Dan itulah barangkali kelebihan masyarakat NTT maupun para pemimpinnya. Mereka terus mencurahkan banyak energi untuk membangun NTT dalam spriti perdamaian dan kerukunan.
Namun demikian, realitas multikultural tersebut kini berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi “ke-NTT-an” menjadi “integrating force Indonesia“.
Rekonstruksi tersebut bertujuan untuk lebih mengikat keragaman etnis, suku, bahasa, budaya, dan agama di daerah ini.
Hal ini menjadi urgen karena kita tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa NTT sebagai daerah multikultural kadang memperlihatkan kecenderungan yang kurang “bersahabat”.
Interaksi sosial dalam langgam keberagaman itu kadang hanya bersifat “semu”. Sehingga tidak jarang muncul gesekan kecil yang berdampak pada lambatnya proses akulturasi budaya.
Gejala itu mulai terlihat pada setiap kelompok yang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, tanpa adanya kesediaan ruang dialog untuk mempererat persaudaraan dan menyelesaikan masalah bersama.
Walaupun itu belum tampak ke permukaan, namun perlu diwaspadai sejak dini. Salah satu tantangannya ialah para “pendatang” dari luar daerah.
Mereka yang masuk ke NTT memang mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan dalam arti luas, akan tetapi perubahan yang berlangsung relatif singkat itu berpotensi menyebabkan goncangan budaya meski hal ini tergolong wajar sebagai bagian dari dinamika perkembangan kawasan.
Dinamika semacam ini, rentan terjadi karena berbagai kelompok yang terdapat dalam masyarakat mempunyai kepentingan sendiri dan ingin supaya kepentingan itu didahulukan dari pada kepentingan kelompok lainnya.
Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa kalau kita menginginkan masyarakat NTT menjadi lebih harmonis dari sekarang, maka pengetahuan atau pemahaman kita terhadap etnis lain mutlak diperlukan.
Hanya dengan pengetahuan atau pemahaman itu kita dapat mendekati permasalahan pokok yang dihadapi. Di sinilah fungsi rekonstruksi demi mendorong keterbukaan antarsuku, agama, etnis, ras dan golongan di NTT menjadi perlu.
Bercermin Pada Sejarah
Untuk mengingat kembali memori kolektif kita, sudah sepatutnya kita bercermin pada sejarah awal menyatunya republik ini. Berbagai latar belakang pandangan, budaya, agama dan golongan sepakat membentuk Indonesia karena punya kesamaan historis, sosiologis dan tujuan.
Untuk itu saya mengajukan sebuah pertanyaan eksistensial, motivasi apa yang mendorong berbagai suku bangsa, agama, ras, dan golongan menyatakan dirinya dan memilih NTT sebagai tempat berkebudayaan?
Hemat saya, yang mendorong memilih NTT sebagai tempat berkebudayaan ialah ikatan kukuh antarsuku, agama, ras, dan bahasa. NTT mempunyai semangat dan filosofi moral yang sama untuk membentuk masyarakat yang multikultural. Dan itu sudah ditunjukan sejak zaman nenek moyang.
Emile Durkheim dalam karya klasiknya “Essays in Sociological Theory”, mengatakan ”Each nation has its own moral Philosophy conforming to its character”, setiap bangsa mempunyai falsafah moral masing-masing yang sesuai ciri-ciri khusus bangsa itu.
Nilai-nilai moral yang kita miliki sebenarnya adalah nilai-nilai yang diakui bersama oleh kelompok tempat kita berada (human concience that we must integrally realize is nothing else than the collective concience of the group which we are the part).
Semakin majemuk masyarakat, semakin majemuk pula fungsi-fungsi di dalamnya, semakin majemuk pula nilai-nilai yang disepakati untuk dijadikan tali pengikat mereka dalam kebersamaan.
Jiwa kehidupan sosial suatu masyarakat bersumber dari dua hal: adanya pembagian fungsi diantara sesama anggotanya dan adanya kesamaan pandangan tentang nilai-nilai moral.
Pandangan tentang nilai-nilai itu akan berkembang sesuai dengan perkembangan kemajemukan dalam masyarakat itu sendiri. Ada yang berubah, ada juga yang dipertahankan. Jika unsur kesamaan hilang dari seseorang, maka ia dilihat sebagai bukan orang kita atau ia berbeda dari kita.
Kehilangan kesamaan sesungguhnya sangat fundamental karena dapat merusak kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Hal ini juga dapat mendorong terjadinya deakulturasi budaya, karena masih ada sekelompok etnis tertentu yang memandang etnis lain sebagai suatu golongan yang tidak mempunyai kesamaan dalam masyarakat multikultural.
Berbeda memang menjadi ciri khas setiap kelompok masyarakat namun, setajam apapun perbedaan itu pasti ada kesamaan. Baik itu secara historis maupun pandangan kemanusiaan.
Dalam rangka merekonstruksi ke-NTT-an sebagai integrating force Indonesia beberapa pendekatan berikut barangkali bermanfaat untuk kita acu.
Pertama, setiap lembaga pendidikan di NTT mulai merintis model pendidikan multikultural (multiculturel based learning) di sekolah-sekolah maupun perguruan tinggi.
Hal ini dimaksudkan sebagai upaya rekonstruksi sosial terhadap begitu kuatnya fenomena divergen-disintegratif, yaitu rasa kedaerahan, identitas kesukuan, keakuan dan kekitaan, dan the right to culture, baik dalam tataran perorangan maupun suku bangsa, yang telah menimbulkan fragmentasi kelompok dan menyebabkan pergeseran-pergeseran horizontal yang tidak dikenal sebelumnya.
Pendidikan multikultural dapat dijadikan sebagai strategi budaya dalam menanamkan sikap egaliter terhadap keberadaan kelompok lain dan selanjutnya untuk mereduksi ekskalasi gerak-gerak divergensi menjadi gerak-gerak konvergensi ke arah kohesi nasional.
Maka saya yakin NTT sebagai integrating force Indonesia yang mengikat seluruh keragaman etnis akan terwujud. Untuk itu kepemimpinan lokal harus mengambil perannya, dan bagi kita tantangan semacam ini merupakan suatu tuntutan kurikuler yang harus terwujud di ruang-ruang kelas.
Kedua, mewujudkan perubahan struktural di bidang sosial – ekonomi dalam arti transformasi dari ketimpangan menjadi keseimbangan diantara berbagai macam etnis yang ada dengan pola hubungan dialogis.
Sedangkan untuk mendorong proses akulturasi budaya perlu diciptakan suasana yang mampu mendorong berbagai suku bersikap lebih terbuka dengan penduduk asli.
Sikap ini tidak cukup hanya dibebankan kepada etnis-etnis saja, melainkan juga aparatur pemerintah dalam bentuk kebijaksanaan pelayanan umum. Sebab, tidak jarang terjadi kebijaksanaan yang diberikan instansi pemerintah justru tidak mendorong usaha akulturasi budaya.
Ketiga, suku, etnis, dan kebudayaan mana pun menjadi orang NTT di NTT. Dengan cara demikian mereka menjadi ”berada, bereksistensi, diakui, dan diterima sebagai anak kandung NTT”.
Intinya di mana langit dijunjung di situ bumi dipijak, yang berarti memahami/mendalami kebudayaan NTT. Caranya mudah seperti belajar bahasa-bahasa di NTT, belajar kebudayaan NTT, ikut kerja bakti, ikut ronda malam, ikut kunduren, ikut sawalan, ikut pengajian bersama, ikut koor di lingkungan atau gereja, ikut melayat jika ada yang meninggal dunia, ikut aktif di RT/RW, ikut menjaga tempat ibadah, dan lain-lain.
Tanpa melakukan itu semua, maka perbincangan tentang akulturasi budaya dan toleransi kehidupan beragama justru tidak mendarat ke relasi sosial.
*) Ben Senang Galus, penulis buku ” Kosmopolitanisme Satu Negeri Satu Jiwa”, tinggal di Yogyakarta