Oleh: Yustina Febry Salsinha
Mahasiswi program doktor Fakultas Biologi UGM, Peneliti Fisiologi Tumbuhan, dan Blogger Domain UGM
Maraknya restoran fancy yang menjamur ternyata tidak hanya mengancam kedai makanan rumahan, tetapi juga kesejahteraan, pola pikir, kesehatan masyarakat dan pembentukan generasi.
Bagaimana tidak, makanan yang berlabel impor ini selain diklaim cepat saji, ternyata juga tidak cukup mengandung gizi yang seimbang untuk memenuhi kebutuhan harian konsumennya.
Tak pelak, konsumsi makanan cepat saji erat kaitannya dengan peningkatan gejala penyakit jantung, hipertensi, kolesterol dan sebagainya, belum termasuk efek gizi buruk, stunting, dan obesitas.
Seperti kutipan dari Ludwig Feuerbach dalam Concerning Spiritualism and Materialism,1863: “Der Mensch ist, was er ißt (manusia adalah apa yang Ia makan)”, masalah pangan ternyata tidak hanya soal lapar kemudian kenyang tetapi lebih dari itu menunjukkan kultur, pikiran serta kualitas kesehatan seseorang.
Momentum Hari Gizi Nasional (HGN) ke-59 tanggal 25 Januari diharapkan kembali mengingatkan betapa makanan bukan hanya menjadi bagian dari masalah perut belaka, tetapi juga suatu faktor penting yang membentuk pola pikir, kesejahteraan dan terlebih regenerasi.
Tidak dapat dipungkiri, alasan modernisasi seakan ‘menina-bobokan’ sebagian orang sehingga lupa mengatur pola konsumsi dan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh.
Makanan cepat saji menjadi pilihan ketika jadwal yang padat menghalangi. Tidak hanya itu, kecenderungan untuk mengonsumsi hanya satu jenis makanan juga menjadi pola berulang. Hal ini membuat sel tubuh harus bekerja keras mengatur proses metabolisme untuk mendukung akivitas harian kita. Akibatnya, produktivitas harian kita menjadi menurun sejalan kacaunya pola konsumsi pangan.
Lalu, bagaimana sebaiknya pola konsumsi kita setiap hari? Berdasarkan Jurnal Nutrient Balance Concept-PLOS tahun 2015, mengkombinasikan makanan yang berbeda-beda dalam pola makan dapat meningkatkan kualitas nutrisi yang lebih baik dan seimbang dengan energi yang dibutuhkan dalam aktivitas harian.
Hal ini sejalan dengan fakta bahwa tidak ada satu makananpun yang dapat menunjang semua kebutuhan gizi yang dibutuhkan tubuh. Misalnya, satu buah jeruk dapat menyajikan vitamin C yang tinggi namun tidak dengan vitamin B12, demikian pula daging dan telur kaya protein yang tidak mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan. Oleh sebab itu, konsumsi makanan yang bervariasi merupakan cara untuk mendapatkan gizi seimbang setiap hari.
Semua orang bisa melakukannya, karena makanan yang baik adalah yang berasal dari dapur kita sendiri. Banyaknya keluhan tidak mampu menyediakan gizi seimbang rupanya dapat ditangkis dengan melihat makanan tradisional yang ada di sekitar kita. Variasi itu tidak hanya melulu berasal dari bahan pangan impor. Mengkombinasikan beras dan jagung, kacang dan sorgum adalah salah satu contohnya.
Makanan dan Tingkat Sosial
Fakta hari ini menunjukkan masih adanya stereotip mengenai jenis makanan tertentu yang dikaitkan dengan tingkatan sosial dalam masyarakat. Misalnya saja, masyarakat yang mengonsumsi jagung dianggap sebagai kelompok masyarakat kelas menengah ke bawah, padahal dilansir dari Asian Jurnal, jagung mempunyai protein, serat makanan, mineral, dan antioksidan yang jauh lebih tinggi dibandingkan makanan pokok lainnya.
Fakta lain dari Jurnal Harvard Medical School menunjukkan bahwa jagung memiliki nilai IG (Indeks glikemik) sebesar 48 sangat jauh di bawah kentang (sebesar 82) dan nasi sebesar 72 per 150 gramnya. Indeks glikemik itu sendiri merupakan standar pengukuran seberapa cepat karbohidrat dalam makanan diubah menjadi gula (glukosa) untuk dipakai sebagai energi. Semakin rendah nilai IG, semakin kecil pengaruhnya dalam peningkatan kadar gula darah.
Seperti telah dikatakan, kebiasaan makan tidak dapat dilepaskan dari nilai sosial-budaya masyarakat. Di sisi lain, kebiasaan makan juga erat dengan kesehatan dan generasi.
Faktor budaya layaknya gender dan kelas sosial masih memengaruhi siapa yang mendapat asupan makanan, jenis makanan yang didapat dan banyaknya. Misalnya dalam hal ini, masyarakat dengan sistem partriarki akan cenderung mengutamakan jatah makanan ayah dibandingkan ibu. Padahal, kondisi ini ini berpeluang menyebabkan kekurangan gizi pada wanita, terutama wanita hamil yang tak pelak berkontribusi pada perkembangan janin dan generasi penerusnya.
Sudah saatnya menyadari bahwa apa yang dimakan masyarakat berpengaruh besar terhadap kehidupan, juga menunjukkan bagaimana perkembangan generasi dalam suatu masyarakat.
Sehingga, memahami keterkaitan antara kebiasaan makan, sistem keluarga dan pengolahan makanan yang baik selayaknya tidak hanya menjadi buah kampanye, tetapi bagian dari budaya masyarakat yang mendukung upaya peningkatan status gizi masyarakat agar lebih tepat guna dan tepat sasaran. Tentu saja, ketercapaian proses ini secara bertahap akan menyokong transformasi kesehatan dan pembentukan manusia menuju arah yang positif.