Editorial, Vox NTT-Wajah beringas Kepolisian Resort Manggarai terasa makin menakutkan.
Keberingasan itu tampak dalam kasus yang dialami Herman Mbawa (50), Warga Kampung Rekeng, Desa Rana Gapang, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur (Matim).
Herman, demikian disapa, mengalami nasib naas ketika Kamis, 29 November 2018, sekitar pukul 10.00 Wita, dipukul oknum Polisi bernama Lalu Sukiman diduga tanpa sebab.
BACA: Mata Herman Lebam Dipukul Kapospol Elar
Herman dalam keterangan yang diterima VoxNtt.com beberapa waktu lalu mengaku kaget dan shok dengan tindakan Sukiman. Pasalnya Kapospol Elar ini langsung meninju sebanyak dua kali ke arah muka Herman hingga lebam.
Pertama, Sukiman meninju ke bagian pelipis kiri dan kedua menyasar di sebelah bawah mata kiri.
“Saya tidak tahu masalahnya apa. Saya masih jinjing barang belanja, tidak ada masalah sebelumnya tiba-tiba dia masuk di kios itu pukul saya,” kata Herman saat bertemu dengan sejumlah awak media di Mapolres Manggarai, Jumat (30/11/2018).
Herman mengaku, Polisi Sukiman saat itu berpakaian preman. “Saya juga kaget dan sok. Apalagi hari itu saya tidak pernah bertemu dia. Sebelumnya juga saya jarang ketemu dan lihat dia,” terang ayah tiga anak ini.
Kejadian ini pun dilaporkan ke Polres Manggarai pada Jumat (30/11/2018). Kala itu Herman didampingi pengacara dari LBH Manggarai, Fransiskus Ramli.
Tak hanya itu, usaha untuk mendapat keadilan juga dilakukan anak Herman, Reginaldus Erson.
Pada 2 Desember 2018 lalu, Erson, demikian disapa, melaporkan kasus ini ke Kompolnas.
“Saya tulis surat ini ketika korban pemukulan oleh oknum polisi yang bernama LALU SUKIMAN sudah menderita luka memar di bawa kelopak matanya. Saya menulis surat ini sekaligus memberi masukan agar Aparat Kepolisian STOP MEMAKAI KEKERASAN dalam melindungi masyarakat. Bagi saya yang adalah anak korban, merasa keadilan kami masyarakat kecil di daerah terpencil yang belum semuanya tersentuh pembanguann, diinjak-injak,” Demikian tulis Erson pada bagian pengantar suratnya.
Meski sudah resmi dilaporkan ke Polres Manggarai dan Kompolnas, kasus ini rupanya makin tenggelam dan terancam tidak dilanjutkan.
BACA: Tindakan Lalu Sukiman, Lalu Sudah?
Saat dikonfirmasi VoxNtt.com, Minggu (2/12/2018), Kapospol Sukiman mengarahkan untuk mengonfirmasi langsung ke Humas Polres Manggarai.
“Konfirmasi ke Humas saja om,” jawab Sukiman dengan singkat, lalu menutup teleponnya.
VoxNtt.com pun sudah berusaha mengonfirmasi Kasubag Humas Polres Manggarai, Daniel Djihu melalui pesan WhatsApp-nya beberapa waktu lalu. Namun kala itu Daniel Djihu belum berkesempatan merespon.
Untuk Kapolres Manggarai
Kasus yang menimpa Herman bisa jadi dianggap sepele oleh Polres Manggarai. Toh, itu cuma pemukulan yang berdampak pada lebamnya wajah Herman.
BACA: Terkait Kasus Pemukulan Herman, Kapospol Elar Arahkan ke Humas Polres Manggarai
Kasus ini tidak seberingas kasus ‘Rabu Berdarah’ pada 10 Maret 2004 lalu kala Polres Manggarai menembak 120 warga Colol secara brutal.
Kejadian ini mengakibatkan 6 warga tewas dan 22 warga lainnya menderita cacat seumur hidup, luka berat dan luka ringan.
Tindakan kekerasan lain dialami MSD, wanita 21 tahun, asal Poco Ranaka, Manggarai Timur. Ia dihamili lalu ditinggalkan begitu saja oleh oknum polisi berinisial YSA.
Mulanya YSA mengaku duda. Belakangan baru diketahui bahwa istrinya masih hidup. Tak diketahui alasannya, sang istri kembali ke rumah orang tuanya di Timor.
MSD yang sudah terlanjur hamil terpaksa pasrah menjadi orang kedua. Penderitaan MSD bertambah ketika ia mulai mengalami penolakan dan penyiksaan YSA.
“Setiap malam Jumat, dia (YSA) pukul saya pakai tujuh lidi. Itu rutin dia lakukan setiap malam Jumat. Saya tidak tahu apa maksudnya. Tetapi ‘ritual’ itu selalu dia lakukan sampai saya harus menangis kesakitan,” kata MSD dilansir dari Floresa.co, Sabtu, 1 Desember 2018.
Jika terus melihat ke belakang, Oknum anggota Polres Manggarai, Stanislaus Kosmas Tandi juga memukul Germanus Adon (37), di Golo Kukung, Desa Sambi, Kecamatan Reok Barat, Minggu 12 Agustus 2018 sekitar pukul 17.00 WITA.
Kejadian ini bermula saat Germanus sedang mengikuti hajatan pesta sekolah di Golo Kukung.
Tiba-tiba saat hajatan pesta berlangsung panas. Seorang warga berasal dari Sambi, Tarsisius Dalim menunjuk-nunjuk korban. Beberapa pelaku juga diduga berasal dari kampung Sambi juga ikut mengeroyok korban. Namun korban saat itu berusaha menghindar dari amukan pelaku yang semakin beringas.
Nasib naas dialami korban. Tiba-tiba Stanislaus Kosmas Tandi (pelaku) menghampiri dan langsung memukul korban.
“Dia dalam keadaan mabuk, tapi kok aneh saya tau dia polisi kenapa saya langsung dipukul,” ucap Germanus Adon dilansir dari Beritaflores.com, Selasa 14 Agustus 2018.
Masih banyak lagi kasus lain yang menunjukan keberingasan oknum dari Polres Manggarai. Kasus-kasus tersebut menjadikan Polres Manggarai sebagai institusi lekat dengan kekerasan.
Ya, tindakan ini memang ulah segelintir oknum yang turut mencoreng citra kepolisian di Manggarai. Namun, sebagai kepala institusi organisasi, Kapolres Manggarai AKBP Cliffry Steiny Lapian, SIK harus segera melakukan pembenahan internal.
Maraknya kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi mesti menjadi keresahaan dan kepedulian Polres Manggarai sebagai institusi. Masalah ini bukan lagi tanggung jawab pribadi oknum tetapi masalah yang harus segera diselesaikan oleh Polres Manggarai.
Pertama, Kapolres Manggarai tidak boleh menutupi kasus-kasus ini apalagi dengan dalih menjaga semangat korps.
Tindakan anggota yang melanggar hukum harus diusut sampai tuntas dengan hukum yang berlaku.
Jika institusi kepolisian resort Manggarai tidak membersihkan internalnya dari pelaku kekerasan, bagaimana bisa menjaga ketertiban di masyarakat?
Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan dan pada akhirnya berpikir justru oknum polisi yang memberi teladan buruk. Jika demikian, kehadiran polisi bukan lagi membawa ketertiban dan keamanan melainkan keresahaan dan masalah.
Kedua, Kapolres Manggarai harus segera melakukan pencegahan dengan rutin melakukan pembinaan bagi anggotanya. Tujuannya agar anggota selalu diingatkan akan tugas pokok mereka terutama sebagai pengayom, dan penjaga masyarakat.
Ketiga, alangkah baiknya jika polres Manggarai mulai memikirkan program sosial-kemasyarakatan di mana polisi dan masyarakat bisa berinteraksi secara langsung dan membangun keakraban.
Misalnya di daerah-daerah rawan masalah ketertiban dan keamanan dijadikan sebagai “Desa Binaan kepolisian”.
Di desa-desa ini, pihak Polres Manggarai bisa mengadakan ‘live in’ sekali dalam setahun sembari tetap membangun kemitraan berkelanjutan dengan warga desa. Program Desa Binaan ini bisa menjadi sarana untuk merajut kembali hubungan baik dengan masyarakat.
Akhirnya, kita terus optimis bahwa kepolisiaan resort Manggarai akan terus berbenah. Kita terus mendukung dan menanti gebrakan perubahan dari Polres Manggarai. Semoga!
Penulis: Irvan K