Oleh: Pius Rengka
Wilson Therik, dipergok menulis status begini di Facebook, Senin, 14 Januari 2019. Prediksi Caleg DPRD NTT Dapil Kota Kupang yang lolos, Partai Golkar: Jonas Salean & M. Ansor. Parpol lain… besok.
Dari status itu jelas terbaca, academicus Wilson Therik, menganggap pengaruh politik Jonas Salean dan M. Ansor masih sangat kuat untuk para pemilih di Kota Kupang.
Sedangkan lainnya, terutama dari partai besar lain, tidak disebutkan atau sengaja ditunda penyebutannya, lantaran, saya duga, Wilson Therik ragu apakah lainnya masih mudah diingat khalayak pemilih Kota Kupang atau tidak.
Sedangkan M. Ansor, pada Pemilu kali lalu cukup kuat karena sokongan politik Setya Novanto sangat besar. Kali ini ancaman internal justru datang dari tokoh muda Golkar lain, seperti Megasari dan Heru Dupe.
Katakanlah, konsolidasi kekuatan Islam bertumpuk pada Megasari, maka M. Ansor akan kehilangan banyak. Atau malah banyak suara mengalir ke Heru Dupe, maka Ansor pun akan tergerus.
Kecuali itu, para calon dari PDIP, Demokrat, Gerindra, Nasdem, PSI, PKPI, Bulan Bintang, Berkarya, Garuda, PKS, PKB, PAN dan Hanura, diketahui gila-gilaan bekerja sekarang ini.
Bukankah para caleg dari partai yang disebut belakangan, hari-hari ini bekerja sangat keras untuk memenangkan persaingan politik ini? Saya selalu memergok aktivitas para politisi ini siang malam. Nyaris udara politik Kota Kupang sesak seperti mahluk yang dihimpit tekanan beban berat yang menindih.
Kembali terkait elektabilitas Jonas Salean, saya sependapat dengan DR. Wilson Therik. Arus dukungan untuknya tampak masih sangat besar dan deras. Bahkan seiring dengan mobilisasi dukungannya ke legislatif propinsi, Jonas pun sedang digadang kalangan terbatas untuk dicalon lagi sebagai Walikota Kupang usai masa kepemimpinan DR. Jefry Riwu Kore.
Karenanya, mesin tim sukses lama Jonas Salean masih terus bekerja, bergerak dan kompak. Langkah pertama, yang sempat terbaca, ialah memenangkan Jonas Salean ke kursi legislatif propinsi dengan suara penuh. Langkah kedua, mempersiapkan sangat serius untuk mengajukan Jonas sebagai calon Walikota Kupang.
Pada bagian ini, Golkar terkesan unggul di Kota Kupang. Tetapi, jangan dulu membusung dada. Karena, partai-partai lain kini bergerilia, nyaris melupakan kempanye presiden.
Para calon legislatif lain di kota ini tak boleh dianggap sepele. Para calon legislatif dari Demokrat, misalnya, harus wajib dihitung matang, karena betapa pun pengaruh Walikota Kupang, DR. Jefry Riwu Kore yang adalah juga Ketua DPD Partai Demokrat Propinsi masih sangat kuat memberi warna pertarungan itu.
Kompetisi politik Pilkada Jonas Salean dan Jefry, saya duga, tidak berhenti pada elektasi perebutan menjadi Walikota Kupang, tetapi juga berlanjut dalam pertarungan pilihan legislatif, baik di level kota maupun propinsi. Hitungannya jelas, menang Pileg adalah pintu gerbang ke arah kursi Walikota.
Yang menarik di sini ialah, Jonas Salean memimpin Golkar Kota Kupang, sedangkan Jefry Riwukore memimpin Demokrat Propinsi. Andaikan perolehan kursi DPRD Kota Kupang untuk Golkar unggul dibanding Demokrat, maka Kota Kupang, dapat dipastikan akan dikancing habis-habisan dalam hampir semua arena kebijakan publik tim Jefry demi pesan kuat politik bahwa Jefry Riwukore adalah pemimpin gagal dan lemah (fail and weak).
Tetapi jika sebaliknya, perolehan kursi Demokrat di legislatif Kota Kupang unggul atas Golkar maka dapat dipastikan banyak kebijakan publik yang terbit pada tahun ketiga kepemimpinan Jefry Riwu Kore akan berjalan sangat mulus.
Dalam media sosial, diperoleh informasi, Ketua DPC Demokrat Kota Kupang Hery Kadja, menyebutkan bahwa Demokrat akan meraih 10 kursi untuk legislatif kota pada Pemilu April mendatang.
Jika ucapan Herry Kadja ini berbasis hitungan akademik yang handal, maka perolehan 10 kursi tentu saja, sangat-sangat berarti bagi Demokrat Kota Kupang. Itu juga sekaligus berarti Demokrat menang telak 250 % dari perolehan kursi pada Pemilu sebelumnya.
Saya bersaran, agar pernyataan Herry Kadja itu patut diolah ulang untuk tidak disebut sebagai pernyataan amat sangat tergesa-gesa. Mengapa? Karena faktual perolehan kursi legislatif Demokrat Kota Kupang pada pemilu kali lalu hanya 4 kursi. Bagaimana kiranya langkah yang ditempuh Demokrat Kota, agar meraih 10 kursi di tengah gempuran perang total partai-partai di Kota Kupang?
Saya duga, pernyataan Kadja sebagai jargon bombastis. Lebih bersifat gertak sambal, tanpa basis analisis akademik yang kuat. Pernyataan itu patut ditafsir sebagai satu bentuk motivasi bagi seluruh jajaran team Demokrat Kota Kupang agar bekerja total dan melakukan semacam “perang semesta” di kota ini.
Daerah Pemilihan Kota Kupang, saya anggap daerah paling keras dalam pengertian di wilayah politik ini akan sulit diklaim oleh siapa pun dan dari partai apa pun.
Partai mana yang paling mungkin merebut perhatian khalayak pemilih di Kota Kupang?
Menurut saya, patut dicatat Nasdem akan menguat di Kota Kupang mengingat Gubernur NTT, Victor Laiskodat, adalah tokoh berpengaruh di sini.
Mengapa Nasdem?
Pertama, Nasdem akan berusaha sangat keras untuk mencapai target parliament threshold secara nasional dengan cara memenangkan semua level legislator di NTT. Sebab jika Nasdem tidak mencapai PT 4%, maka Nasdem hanya berdendang di level propinsi dan kabupaten kota tanpa gantungan kuat di parlemen Jakarta.
Kedua, Nasdem juga akan memobilisasi seluruh kekuatan yang dimilikinya, untuk meremukkan partai-partai besar di sini (Golkar, PDIP, Demokrat, PKB dan PAN), meski ada di antaranya partai koalisi presiden.
Bagi Nasdem di NTT, dukungan ke Jokowi sudah dianggap tidak perlu membutuhkan kerja keras, kecuali memenangkan Pileg di semua level. Apalagi, tipikal Nasdem itu adalah partai luar Jawa, khususnya Indonesia Timur.
Ketiga, bagi Victor Laiskodat, kekuatan Nasdem di legislatif propinsi adalah keharusan politik, mengingat pemerintahan dan seluruh rencana pembangunan yang dibayangkannya membutuhkan dukungan politik siginifikan di parlemen, terutama Nasdem. Karena itu, Nasdem kerja keras dan jika perlu banting tulang luar biasa.
Sedangkan sikap PDIP di Kota, juga sangat militan. Tampaknya, para calon legisaltif lainnya menggantungkan doa harapan dengan menjual habis-habisan Jokowi sebagai calon dari PDIP.
Ketua PDIP Kota Kupang, juga pemain lama yang piawai dalam mengemas politik kota asal saja, dia bersih dari gosip, misalnya, tidak terlalu banyak ikut bermain dalam urusan parkir di Kota Kupang atau jenis proyek-proyek lain.
Sejauh dia masih lurus tegak memerankan diri sebagai pengendali lembaga kontrol politik, saya kira PDIP akan imbang dengan partai-partai lain.
Yang saya perhatikan ialah partai pendatang baru seperti PSI. PSI tampaknya akan meraih kursi di level kota dan propinsi. Mengapa? Karena segementasi PSI kian jelas sebagai partai anak-anak muda yang bersih dari seluruh anasir busuk politik rente.
Maka, adu taktik politik politisi Kota Kupang, sesungguhnya, berbasis pada kebersihan diri dan kemampuan diri para calon masing-masing.
Bagi para calon incumbent harus sanggup memperlihatkan prestasi dan reputasi masa silam, sedangkan para pendatang baru harus sanggup bercuap tentang kebaikan diri dan reputasi diri.
Track record adalah jualan yang tetap. Para pemabuk hanya laku di kalangan sesama pemabuk yang biasanya jumlahnya tak banyak, tetapi kaum intelektual kelas menengah atas pasti akan dilirik para pemilih.
Meski terus terang saya harus akui, sentimen etnik dan agama tetap akan memberi warna pada Pileg kali ini di Kota Kupang. Hal ini membenarkan satu dari empat asumsi teori voting yaitu party identification atau partisanship yang menyebutkan orang memilih tokoh politik tertentu karena memilih identifikasi diri pemilih sendiri.
Akhirnya, menjual Jokowi atau Prabowo, bagi kebanyakan partai hanya menguntungkan PDIP dan Gerindra, dan hal ini terkonfirmasi hasil survei lembaga-lembaga survei.
Nah, partai-partai lain akan meninggalkan jualan mereka atas calon presiden, tetapi mereka akan kembali ke pertarungan asli yaitu baku saing dan baku adu di level legislatif, tanpa peduli siapa pun presiden terpilih.
Tak peduli pada presiden terpilih karena pada level tarung taktik di legisaltif variabel Jokowi atau Prabowo tak terlalu berpengaruh lagi pada hari-hari tersisa.