Oleh: Hilarian Arischi Hadur
Direktur Lembaga Change’O
Badan Usaha Milik Desa (BUM-Desa) menjadi kelembagaan ekonomi komunal yang sedang nge-trend di desa. Sekalipun nomenklatur UU Desa menyatakan bahwa desa “dapat”membentuk BUM-Desa (boleh dibentuk, boleh tidak), geliat pembentukan BUM-Desa masih terus berlanjut.
Instansi terkait, para politisi, maupun elemen pegiat desa seringkali memberikan saran sampai ultimatum bagi setiap kepala desa agar segera membentuk BUM-Desa.
Di Manggarai Raya misalnya, jumlah BUM-Desa yang lahir semakin banyak. Bahkan beberapa diantaranya sudah menjalankan bisnis yang mulai berkembang.
Dalam penjelajahan penulis bersama Lembaga change’O, kebanyakan desa yang belum memiliki BUM-Desa di Manggarai raya terkendala administrasi perumusan AD/ART dan Perdes. Lebih dari itu, para kepala desa tersebut sepakat dan berniat membentuk BUM-Desa.
BUM-Desa di Manggarai Raya
Pelembagaan BUM-Desa dalam UU Desa merupakan upaya untuk membentuk sinkronisasi dengan kelembagaan ekonomi di lingkup supradesa, BUMD dan BUMN.
Sekalipun dalam praktiknya BUM-Desa di Manggarai lebih banyak bersinergi dengan pihak swasta ketimbang badan usaha pemerintah [1], namun BUM-Desa dianggap perlu sebagai lembaga konsolidasi ekonomi yang mampu mengatasi masalah permodalan ekonomi lokal (desa) melalui penyertaan modal dana desa.
Rata-rata desa di Manggarai raya memberikan penyertaan modal berkisar Rp 50 juta- Rp 100 juta rupiah dengan dominasi jenis usaha yang dijalankan adalah renting, terutama barang perlengkapan pesta.
Usaha lain yang dijalankan adalah membentuk kios desa, pertamini, BRILink, dan sebagainya. Singkatnya, Podes (Potensi desa) belum menjadi sektor unggulan yang ingin digarap dalam pengembangan BUM-Desa.
Dalam logika bisnis, hal ini wajar terjadi karena BUM-Desa tentunya akan memilih jenis usaha yang minim risiko. Jika mengembangkan Podes, pelaku usaha mewanti-wanti ketersediaan pasar, sebab Podes lebih menguntungkan jika memperoleh external costumer.
Agak lucu ketika desa dengan komoditas unggulan kopi malah menjadikan desanya sendiri sebagai pasar target. Apakah target pasar Podes tersedia? Ketika masih harus bertemu dengan pengijon dan penadah, sektor Podes dalam BUM-Desa masih belum dianggap menguntungkan, sehingga belum dikembangkan lebih jauh.
Sebaliknya, usaha-usaha yang mainstream dijalankan saat ini di BUM-Desa (sewa perlengkapan pesta, pertamini, BRILink, dll) hanya membutuhkan pasar di intern desa sendiri.
Dengan kata lain, masyarakat desa dibentuk sebagai konsumen dari BUM-Desa yang dibangun, bukan sebagai produsen dalam unit usahanya. Belum lagi, usaha-usaha ini malahan ada yang mematikan unit usaha masyarakat yang sudah ada sebelumnya. Di sini BUM-Desa hadir sebagai kompetitor baru usaha masyarakat, bukan sebagai tiang penyangga ekonomi desa.
Kondisi ini tentunya sangat jauh berbeda dengan cita-cita awal pembentukan BUM-Desa, yakni menciptakan kemandirian ekonomi di level desa, bukan sekedar kemandirian kelembagaan BUM-Desa. Untuk itu, BUM-Desa harus dibangun berdasarkan ekonomi partisipatif masyarakat.
BUM-Desa Terancam
Mengutip laporan lembaga Change’O dalam observasinya, salah satu kelembagaan ekonomi komunal yang potensial berkembang di desa-desa di Manggarai raya adalah koperasi.
Maraknya pendirian koperasi di tingkatan desa di Manggarai raya dipicu oleh program Anggur Merah yang menyertakan modal sebesar Rp 250 juta kepada setiap desa yang dalam petunjuk teknisnya harus dikelolah dalam bentuk koperasi.
Sekalipun program tersebut telah berakhir, sebagian besar desa di Manggarai masih melakukan perputaran modal dana anggur merah.
Sejumlah masyarakat mengaku cukup terbantu dengan adanya koperasi ini, sebab mereka melakukan transaksi dan memperoleh SHU dari koperasi.
Koperasi dengan mekanisme pertanggungjawaban kepada anggota terlihat lebih efektif dan berorientasi people centered lebih diminati dalam praktiknya ketimbang BUM-Desa yang lebih pada pertanggungjawaban publik.
Sekalipun tidak dapat dipungkiri ruang koperasi ini masih tidak jauh dari usaha simpan pinjam, namun keuntungan koperasi tetap dikembalikan untuk melayani anggotanya secara langsung.
Bagaimana nasib BUM-Desa jika kemudian koperasi-koperasi ini menjalankan unit usaha yang serupa dengan BUM-Desa? Tentunya masyarakat akan memilih untuk melakukan transaksi ekonomi pada koperasi dengan pertimbangan akan memperoleh bagi hasil akhir tahun.
Bagaimana dengan BUM-Desa? PADes yang diperoleh dari BUM-Desa hanya sebesar 5 persen, selebihnya dialokasikan untuk insentif pengawas, insentif pengurus, dan bagi hasil investor BUM-Desa (data berdasarkan review AD/ART sejumlah BUM-Desa di Manggarai Raya). Padahal, BUM-Desa dicita-citakan sebagai pionir untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
Persentasi 5 persen untuk PADes merupakan satu-satunya ruang kesejahteraan sosial itu, dan itu berarti pintu kesejahteraan bersama masih tertutup untuk BUM-Desa di Manggarai yang masih memiliki profit di bawah Rp 100 juta (PADes Rp 5 juta).
Hal ini yang oleh berbagai pihak disebut sebagai penguasaan elite capture terhadap kelembagaan ekonomi desa melalui BUM-Desa, karena keuntungan lebih banyak dirasakan ileh pengurus BUM-Desa.
BUM-Desa bisa saja menghindari kompetisi dengan kelembagaan ekonomi komunal lainnya jika saja pilihan unit usahanya diberikan hak istimewa seperti pengelolahan listrik dan air minum oleh desa, tanpa boleh diakses secara pribadi oleh masyarakat, seperti logika BUMD dan BUMN.
Ruang tersebut sebenarnya sudah dibuka luas dalam Permendes 4/2015 tentang BUM-Desa. Namun beberapa kelompok masyarakat desa di Manggarai menolak tawaran usaha ini.
Sebagai contoh, program pemerintah pusat tentang air bersih melalui PAMSIMAS yang menawarkan perluasan jaringan air minum dengan model pengelolahan secara swadaya oleh PAMDes (Manggarai Barat)dan OPAM (Manggarai) dengan dasaran: masa air sendiri harus kami bayar? Dengan kata lain, pengelolahan hak istimewa tersebut perlu didesain ulang agar lebih populis dan mencapai semangat awal pembentukan BUM-Desa.
Membangun Kerja Sama BUM-Desa dan Koperasi
BUM-Desa sebenarnya dapat bergerak dalam koridor demokrasi ekonomi dengan mengedepankan partisipasi usaha masyarakat di dalamnya. Misalnya dengan menjadi payung ekonomi kolektif masyarakat dengan mendanai kelompok tenun, kelompok petani, kelompok ibu-ibu untuk mendirikan usaha yang dimodali oleh BUM-Desa.
Ikuti Perkembangan Desa di NTT DI SINI
Kelompok- kelompok ini dapat juga berdiri dalam bentuk koperasi, sehingga bahasanya menjadi “penyertaan modal BUM-Desa pada koperasi”. Hal ini dimungkinkan dan ditegaskan dalam Permen Koperasi No 11/Per/M.KUKM/IX/2015.
Penyertaan modal ini pun dapat berlaku sebaliknya, ketika koperasi ingin menyertakan modal kepada BUM-Desa, asalkan memperhatikan peraturan keuangan mikro yakni 60 persen penguasaan modal dimiliki oleh BUM-Desa agar BUM-Desa tetap memegang kendali dari investasi pihak ketiga.
Penyertaan modal oleh koperasi ini menjadi mungkin berangkat dari pengalaman penyertaan modal dana desa ke BUM-Desa yang hanya berada di besaran sekitar Rp 50 juta- Rp 100 juta, yang bagi sejumlah direktur BUM-Desa di Manggarai belum dapat menjalankan beberapa unit usaha dasar BUM-Desa.
Bagaimana agar BUM-Desa dapat memperluas jaringan pasar dan mengelolah Podes desa sebagai unit usaha BUM-Desa? Hal ini dapat diselesaikan dengan menggunakan dua pendekatan.
Pertama, community approachment. Penulis menyarankan agar seluruh BUM-Desa di Manggarai dapat membentuk asosiasi BUM-Desa sektor komoditas unggulan, pariwisata, dan manufaktur sebagai wadah untuk memperluas daya jangkau pasar dan menciptakan bergaining produk desa terhadap praktik pengijon dan penadah.
Kedua, pemerintah daerah perlu untuk membangun sinergi pasar (holding) antara BUMD dan BUMDes serta mengaktifkan instansi terkait guna menunjang unit usaha desa dalam BUM-Desa.
Hal ini dapat dilakukan dengan membuat kategorisasi atas tipologi BUM-Desa di Manggarai raya, agar kemudian menjadi agenda pembangunan kawasan perdesaan sektor ekonomi.
Konkritnya adalah dengan menginisiasi pembentukan BUMA-Desa ( BUM-Desa bersama) yang menghubungkan beberapa BUM-Desa untuk melakukan sinergi dan elaborasi usaha. Dengan skala BUM-Desa yang lebih besar maka akan meminimalisir resiko usaha serta akan menjaga konsistensi produk yang dijual.
Bagi penulis, membangun BUM-Desa di Manggarai membutuhkan external resources dengan menciptakan sistem kerja/managerial yang baik, sebelum kemudian dilepas pada mekanisme pasar.
Jika BUM-Desa tidak memiliki peta jalan yang jelas, maka BUM-Desa hanya akan menjadi project yang akan hilang seiring dengan perubahan kebijakan dan pergantian rezim. Salam berdesa.
[1]Satu-satunya jenis usaha dalam BUM-Desa yang dikomparasikan dengan pemerintah daerah dan pusat adalah air bersih melalui program PAMSIMAS. Program ini diluncurkan sejak tahun 2017 dengan menggunakan skema anggaran APBN dan APBD 2.