Bajawa, Vox NTT- Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Dinas PMDP3A Ngada, setidaknya menangani dan membantu memfasilitasi tiga kasus kekerasan anak bawah umur pada awal tahun 2019 ini.
Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Dinas PMDP3A Ngada, Matilde Paulina Laban mengungkapkan, ketiga kasus tersebut, masing-masing, satu kasus pemerkosaan dengan korban anak dan pelaku anak di wilayah Golewa, dan kasus persetubuhan di wilayah Turekisa, serta satu kasus asusila dalam Kota Bajawa.
Menurut Matilde, salah satu faktor pemicu tingginya kekerasan seksual pada anak adalah karena penggunaan handphone. Anak bisa dengan mudah mengakses konten pornografi.
Dijelaskan, tiga kasus kekerasan pada anak di awal tahun 2019 sudah dilapor dan ditangani oleh pihak Kepolisian.
Ada beberapa kasus kekerasan anak lainnya terjadi di tahun 2018. Kasus-kasus ini masih menjalani proses hukum hingga saat ini.
Data P3A Ngada mencatat terjadi 21 kasus kekerasan pada anak sebagai korban. Itu tersebar di Kecamatan Riung, Soa, Golewa dan Bajawa.
Untuk kasus kekerasan, dimana anak terlibat sebagai pelaku terjadi 9 kasus di tahun 2018.
Menurut Matilde, rata-rata kasus kekerasan terjadi pada anak yang memiliki keluarga bermasalah. Dan, pelaku kekerasan rata-rata orang terdekat atau di sekitar korban.
”Salah satu faktor pemicu tingginya kekerasan seksual pada anak adalah penggunaan handphone di kalangan anak yang mudah mengakses konten pornografi,” jelasnya kepada wartawan baru-baru ini.
Selain itu, lanjut dia, kurangnya perhatian orangtua dan faktor lingkungan, dimana terdapat oknum yang mengalami penyimpangan seksual dengan anak sebagai korban.
Untuk itu, Matilde mengimbau kepada orangtua, guru dan masyarakat agar bersama-sama menjaga dan memberi perlindungan pada anak dari bahaya teknologi, lingkungan yang buruk, serta pergaulan yang menyesatkan.
Pemerintah, kata dia, membutuhkan kerja sama semua stakeholder untuk membantu mengurangi atau mengentaskan kasus kekerasan seksual pada anak, baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku.
Lingkungan rumah menjadi tempat paling aman untuk anak. Namun tetap harus membatasi pergaulan dan aktivitas anak laki-laki dan perempuan.
Ia juga menyarankan agar sebisa mungkin mendampingi anak dalam menggunakan internet dan selalu berkoordinasi dengan sekolah terkait perkembangannya.
Matilde menjelaskan, sesuai dengan Undang- undang Perlindungan Anak, dipastikan tidak ada perdamaian untuk semua kasus anak.
Kasus anak harus tetap dibawa ke ranah hukum. Meskipun ada proses penyelesaian secara adat, namun proses hukum akan tetap berjalan.
Penulis: Arkadius Togo
Editor: Ardy Abba