Borong, Vox NTT- Rabu (27/2/2019) pagi, jalan menuju Lehong, pusat pemerintahan kabupaten Manggarai Timur (Matim), Flores-NTT, tampak ramai. Situasi ini berbeda dari biasanya.
Maklum hari itu, kegiatan pesta rakyat pasca pelantikan Bupati Andreas Agas dan Stefanus Jaghur.
Di pinggir jalan tampak seorang pria tua sedang berdiri. Ia menatapi beberapa batu besar sambil menunggu kayu yang dibakarnya jadi arang.
Kepalanya ditutupi dengan sehelai baju berwarna kuning. Ia tak memakai topi. Memilikinya pun tidak.
Panasnya cuaca di wilayah itu seakan tak ia hiraukan. Ia sepertinya rela “tubuhnya terbakar” demi mengais rejeki.
VoxNtt.com pun mencoba mendekatinya untuk berdialog sembari menawarkan rokok, namun ia menolak.
Sepuluh detik berselang, VoxNtt.com mencoba membuka percakapan. Pria yang kini rambutnya beruban itu merespon dengan nada pelan. Sayang, saat itu tak ada tempat yang teduh untuk dapat bercerita.
Tak apalah, ia dan awak media ini bersepakat tetap lanjut bercerita meski di bawah sengatan Matahari.
Lelaki renta ini bekerja sebagai pembelah batu di pinggir jalan di daerah itu. Nama lengkapnya Antonius Tamat. Usianya lebih dari 70 tahun. Ia sendiri sudah lupa kapan tahun lahirnya.
Bekerja sebagai pembelah batu merupakan pilihan Antonius. Pekerjaan itu ia lakoni sejak kabupaten itu dimekarkan pada 2007 silam dari kabupaten induk Manggarai.
Kala itu ia melihat ada potensi yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Batu-batu besar yang berada di pinggir jalan menuju Lehong menjadi andalannya.
Setiap hari, dengan peralatan seperti pemukul besar, ia berusaha membelah batu-batu itu.
“Kerja apalagi e…pak, ini sudah pekerjaan saya,” imbuh Antonius.
Antonius tinggal di Kelurahan Satar Peot, Kecamatan Borong. Jaraknya sekitar 700 meter dari rumahnya dengan tempat ia bekerja.
Hampir setiap hari ia seorang diri di tempat itu. Maklum sang istri tercinta, telah tutup usia pada dua tahun lalu. Anaknya pun sedang bersekolah dan yang lainnya sudah bersuami.
Terkadang dalam kesendirian ia mengaku kerap tak sadari meneteskan air mata. Ia terkenang istrinya Juliana Nusu yang pergi terlampau cepat.
“Aku eme nuk hia pa, retang (saya kalau ingat dia pa, menangis),” ujarnya dalam nada sedih.
Sebelum batu-batu dipecahkan menjadi beberapa bagian, ia harus membakarnya dahulu selama 12 jam. Terkadang dari pagi pukul 07.00 Wita hingga malam pukul 19.00 Wita.
Namun, kata Antonius, waktu pembakaran sangat bergantung pada kondisi batu. Kalau yang keras, ia harus membakarnya selama satu hingga dua hari lamanya.
“Kalau sudah dingin saya pukul dulu, tetapi kalau dia tidak pecah, eme nggitu aku tapa kole (kalau begitu saya harus bakar lagi),” ungkapnya.
Dijual Rp 300.000
Kualitas batu milik Antonius tak diragukan lagi. Banyak orang yang datang membeli dan memesannya.
Namun, jerih payahnya hanya dihargai dengan Rp 300.000 untuk satu bak mobil jenis dump truck. Padahal, untuk satu mobil saja, ia pun harus bekerja selama seminggu.
“Anggaplah gaji Rp 50.000 setiap hari e..pak,” katanya dengan raut wajah layu.
Dulunya Antonius bekerja sebagai petani ladang. Ladang miliknya itu berada di Kelurahan Rana Masak. Salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Borong. Sekitar 5 kilometer (km) jauhnya dari tempat ia tinggal.
Tetapi, hasil yang diperoleh dari ladang itu tidak memuaskan. Tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga dan biaya pendidikan anaknya.
Dari tujuh buah hatinya, dua di antaranya kini sedang mengenyam pendidikan.
“Kadang gagal panen pak, kalau anak saya yang satunya masih SD dan satunya lagi SMP,” ujarnya.
Dari ketujuh anaknya itu, Antonius selalu ingat dengan putrinya yang kini sedang merantau. Lantaran sudah lama pergi, ia lupa kapan putrinya itu meninggalkan kampung halaman.
Selama bekerja, ia tak pernah mengalami sakit. Katanya, sakit itu urusan Tuhan. Sang khaliklah yang menentukannya.
Antonius mengaku, mendapatkan bantuan pemerintah seperti program keluarga harapan (PKH) dan beras. Namun, itu belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia harus bekerja ekstra untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tangga dan pendidikan anaknya.
Ketika ia tak mampu lagi bekerja, ia hanya mampu menitipkan harapan pada pemerintah Matim.
“Gereng kat momang le pemerintah, bom nganceng tombo le ru (tunggu saja kasihan dari pemerintah, maunya saya bisa beritahu sendiri),” pintanya penuh dengan senyuman.
Ia mengaku, sudah banyak pejabat yang mampir dan bercerita dengannya. Tapi hanya sebatas tanya.
Penulis: Sandy Hayon
Editor: Ardy Abba