Oleh: Erens Holivil
Mahasiswa Pascaserjana UGM Yogyakarta,Program Studi Manajemen dan Kebijakan Publik
Pemilu yang digelar pada 17 Arpil 2019 telah usai. Satu hal yang patut disyukuri adalah pemilu 2019 kali ini sudah dilalui dengan situasi yang kondusif dan aman terkendali. Tinggal sekarang kita menunggu hasil real count dari KPU pada 22 Mei 2019. Artinya, meskipun sampai hari ini hasil perhitungan cepat (quick count) versi lembaga survey menuai perdebatan, keputusan real count KPU sebagai keputusan akhir mesti dihormati. Entah siapa pun yang menang dan kalah nantinya, itulah hasil dari keputusan demokrasi kita.
Sembari kita menunggu hasil real count KPU, barangkali penting untuk menengok kembali berbagai kecendrungan mendasar dalam dinamika politik kali ini. Saya tidak bermaksud untuk menghidupkan, apalagi memprovokasi berbagai kecendrungan yang terjadi di masa lalu, tetapi lebih pada apa yang disebut Derrida (1970), dekonstruksi, yakni upaya untuk melakukan destruksi atau pembongkaran sekaligus remanage atau menata kembali. Artinya, kecendrungan dan ketimpangan Pemilu masa lalu itu dibongkar, sembari berupaya menata kembali guna terciptanya peradaban politik yang lebih baik ke depan.
Ada pun tiga kecendrungan mendasar dalam wacana pemilu dan demokrasi kita kali ini, yaitu menguatkanya moralisasi dalam pertarungan kekuasaan; semakin mapannya estetisasi politik; dan munculnya gaya kepemimpinan yang populis.
Saya menyebut tiga kecendrungan ini sebagai dosa-dosa pemilu, yang tidak saja disebut sebagai pelanggaran, tetapi juga merusak ideologi dan sistem demokrasi kita.
Moralisasi, Estetisasi Politik, dan Populisme
Moralisasi, estetisasi politik, dan populisme adalah tiga kencerungan atau masalah yang tidak terlepas dari wacana perpolitikan kita.
Dalam pandangan ini, moralisasi bukan diartikan sebagai cara bertingkah masyarakat yang peduli kapada kepentingan bersama dan meninggalkan sikap egois.
Sebaliknya, istilah moralisasi dimaksudkan untuk menggambarkan politik yang dimainkan dengan cara menggunakan bahasa-bahasa moral. Atau dalam bahasanya Francois Flahaut (2003), moralisasi dalam konteks ini lebih merujuk pada mekanisme dalam diri manusia yang mengamankan dan menjamin kebaikan diri sendiri dengan cara menyalahkan dan menempelkan keburukan pada orang lain.
Sadar atau tidak, moralisasi politik adalah cara yang selalu dipakai oleh para kandidit dalam medan pertempuran politik. Atribut-atribut moral dipakai untuk mengklaim kebaikan diri sendiri, dan menempel keburukan pada lawan politik. Mantan Presiden Amerika Serikat, Ronald Reagen Misalnya, pernah menggunakan istilah “axis of evil” untuk menyebut lawan-lawan politiknya di dunia internasional.
Di Indonesia, diksi-diksi seperti “politisi Sontoloyo”, “Tampang Boyolali”, “tempe setipis kartu ATM”, dan lain-lain, adalah sederetan praktik moralisasi politik yang dipakai sebagai alat untuk menangkis lawan politik demi kepentingan dan kemenangan politik.
Dalam debat-debat politik antara kandidat pun, ruang moralisasi politik masih terbuka lebar. Hal ini bisa terlihat ketika debat-debat politik dihiasi oleh klaim-klaim “kebenaran”, “kebaikan”, dan “objektivitas” oleh para calon, tim sukses, atau para pendukung.
Perbedaan visi, misi, dan program antara kedua pasangan yang bertarung dianggap tidak terlalu penting. Yang lebih penting adalah track-record atau rekam jejak masa lalu dan atribut-atribut moral yang melekat dalam kepribadian seorang kandidat. Secara tidak langsung, pemilih kemudian dipaksakan untuk menjatuhkan pilihan kepada kandididat yang merepresentasikan moralitas tertinggi.
Adapun kecendrungan lain yang sejalan dengan moralisasi adalah estetisasi politik. Istilah estetisasi yang saya gunakan ini bersumber dari konsep aestheticization of politics yang diperkenalkan oleh Walter Benjamin (1936). Benjamin menerapakan konsep aestheticization of politics untuk menggambarkan kondisi seni dan budaya di Jerman yang digunakan untuk melakukan glorifikasi fasisme.
Menurut Benjamin, seni dan budaya yang ditampilkan dalam wajah yang sangat artistik, indah dan anggun, dimanfaatkan rezim fasis untuk menundukkan dan menarik simpati. Artinya, imej dan tanda menjadi alat meraup perhatian dan simpati rakyat.
Di Indonesia, praktik estetisasi politik menjadi trend dalam wacana publik, dimana imej dan tanda berperan penting dan menentukan simpati rakyat. Para kandidiat tidak saja menampilkan dirinya sebagai representasi moralitas tertentu, seperti jujur, sederhana, berani dan tegas, tetapi juga membuktikan keberadaan moralitas tersebut dengan gambar, pilihan jenis pakaian, bahasa tubuh, warna, dan berbagai bentuk tanda lainnya. Seolah-olah memilih kemeja putih dan peci hitam adalah pesan politik.
Ketika politik diasosiakan dengan imej dan tanda, tidak heran banyak kandidat cenderung narsistik. Dia menjadi semacam selebriti yang mementingkan style dan stylization of life dalam perayaan politik, ketimbang substansi. Kampaye pada akhirnya bukannya adu gagasan dan program, tetapi malah berfungsi untuk mempresentasikan gaya hidup, sensasi, dan pengalaman baru. Profilerasi imej dan tanda seperti ini membuat kampanye sulit dibedakan dengan festival Indonesian idol. Mode berpakian, bahasa tubuh, gesture, dan demeanour dijadikan sebagai cara berpolitik yang paling penting dan menentukan ketimbang isi pembicaraan.
Selain moralisasi dan estetisasi politik, populisme juga adalah salah satu kecendrungan yang seringkali muncul dalam panggung politik kita. Seorang pemimpin populis menawarkan program-program politik untuk menarik perhatian para pemilih. Bahkan dalam banyak hal, para elit politik seringkali menjanjakan program-program politik yang “tampak” sesuai dengan keinginan rakyat. Namun sebagian besar retorika-retorika dahsyat ini berhenti hanya sebagai retorika. Kemarahan tanpa imajinasi. Gerakan tanpa visi. Kampanye tanpa program. Dan perang tanpa jalan keluar.
Hampir semua pemimpin politik di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir ini menggunakan gaya politik populis untuk kepentingan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Bahkan dalam banyak hal, populisme dianggap selalu berjalan dalam kerangka demokrasi, sekalipun hasilnya mungkin akan meruntuhkan demokrasi itu sendiri. Kalau tidak diwaspadai, gerakan atas nama populis ini akan terus melemahkan demokrasi, yaitu dengan cara mendelegitimasi perangkat hukum dan institusi pemerintahan lain di luar lembaga eksekutif.
Deklarasi Politik Rekonsiliasi
Seperti yang sudah digarap sebelumnya, bahwa moralisasi, estetisasi, dan populisme adalah kecendrungan-kencendrungan mendasar pada musim elektoral kali ini. Kehadiran ketiganya tidak saja mengganggu, tetapi juga menjadi sumber konflik di antara masyarakat. Namun, demi kemajuan sebuah bangsa, kecendrungan-kecendrungan itu mesti dianggap bagian dari dinamika politik, bukan justru menjadi corong konflik pasca pemilu. Kerena itu, rekonsiliasi politik menjadi jaminan untuk membangun perdamaian dan memulihkan hubungan politik yang kondusif.
Tak ada gunanya kita menggaungkan Pancasila, NKRI, UUD, dan Bhineka Tunggal Ika, jika dalam kehidupan bersama masih ada rasa dendam, sindir-menyindir, dan berupaya menjatuhkan yang lain. Rekonsiliasi yang baik adalah selalu bergandengan tangan, menunjukkan kesejukan, dan mengutamakan kepentingan bangsa dan negara di atas segalanya dari pada kepentingan pribadi, partai, atau golongan. Semua kandidat yang sudah berkompetesi membuka kembali dialog dan saling memberikan dukungan kepada yang menang dan kalah.
Siapa pun yang terpilih nantinya, baik untuk Presiden dan Wakil Presiden, DPR-RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, dan DPD, mesti mempersiapkan diri untuk melanjutkan kepemimpinan politik dalam lima tahun ke depan. Janji-janji kampanye dan visi-misi para calon agar semaksimalnya diwujudkan serta dirasakan manfaatnya untuk publik. Tentu rakyat akan bangga dengan para pemimpinnya jika antara perkataan dan janji yang pernah diucapkan tidak merupakan pepesan kosong. Suara yang diberikan rakyat setimpal dengan apa yang diperbuat sang pemimpin sehingga cita-cita untuk kesejahteraan dan keadilan serta masa depan Indonesia yang lebih baik akan dirasakan masyarakat.
Kemenangan harus diletakkan dalam kepentingan yang lebih besar, yakni konsolidasi demokrasi Indonesia. Ilmuwan Politik, Larry Diamond dalam bukunya Developing Democracy: Toward Consolidation (1999), memberi catatan bahwa konsolidasi demokrasi itu soal bagaimana kita merawat stabilitas dan persistensi demokrasi. Tak cukup regulernya sirkulasi elite lima tahunan, butuh juga memastikan negara kita stabil dan memiliki daya tahan memadai di tengah kuatnya arus polarisasi dukungan di pilpres.