BACA Ulasan Sebelumnya, Sexy Killers: Tampang Oligarki yang Membunuh secara Perlahan
Kupang, Vox NTT-Realitas yang diangkat Watchdoc di beberapa daerah seperti kalimantan, Jawa dan Bali dalam film Sexy Killers adalah secuil kisah dari banyaknya kejahatan lingkungan yang berdampak sistemik bagi kelangsungan ekosistem di Indonesia.
Jika saja waktu itu, Watchdoc sedikit melirik ke NTT, tentu mereka akan menemukan persoalan dan realitas kesenjangan sosial yang sama akibat investasi tambang, perkebunan berskala besar, dan pariwisata massal yang mengorbankan lingkungan dengan mengabaikan hak-hak asasi dan hak-hak sosial warga.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT, Umbu Wulang Tanaamah Paranggi, dalam diskusi film itu, Sabtu, 13 April lalu menjelaskan, persoalan lingkungan di NTT antara lain, pertambangan, geothermal, perkebunan, tambak garam dan yang akhir-akhir ini kian eksis adalah pariwisata massal.
Kemunculan investasi yang mulai masif beberapa tahun belakangan kata Umbu, sangat mengganggu kehidupan sosial warga yang berada di sekitar wilayah target investasi. Sebab, mayoritas masyarakat NTT bergantung pada sektor pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan.
Sayangnya, demikian Umbu, hari-hari ini mereka harus berjibaku dengan aneka jenis investasi berskala besar dengan potensi kerusakan alam dan kehilangan wilayah kelola masyarakat setempat.
Kasus kematian Poro Duka (45) di Sumba Barat merupakan secuil kisah yang sekarang masih hangat di NTT. Poro meninggal setelah timah panas yang diduga kuat milik aparat bersarang di tubuhnya.
Kejadian itu berlangsung saat ia dan warga setempat menghadang PT Sutra Marosi Kharisma dan Badan Pertanahan Pertanahan di pesisir Marosi, Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat.
Kata Umbu, tragedi ini secara jelas menggambarkan kekuasaan oligarki atas kehidupan masyarakat kecil di NTT. Padahal kata dia, tanah itu merupakan hak ulayat masyarakat adat setempat.
Perusahaan yang bergerak di bidang usaha Pariwisata itu didampingi anggota Polisi dan TNI. Beberapa media lokal juga memberitakan, pemaksaan investasi di tengah penolakan warga itu dididukung Pemda setempat.
Konon, tahun 1994, tanah yang mencabut nyawa Poro Duka itu, pernah diklaim PT. Sutera Marosi Kharisma dengan luas lahan 51 hektar.
Namun, karena ditolak warga, mereka berhenti dan membiarkan tanah itu kosong hingga pada 2016. Setelah dilepas-pergi, PT itu tiba-tiba kembali mengklaim untuk kedua kalinya. Sengketa pun terjadi.
Kasus kematian Poro Duka bukanlah masalah yang pertama akibat investasi di negeri Sandelwood itu. Sejumlah konflik agraria dan krisis ekologis juga terjadi di Sumba Timur.
Perkebunan Tebu
Selain pariwisata, perkebunan Tebu milik PT. Muria Sumba Manis (MSM) yang bernaung di bawah PT. Djarum Group telah dibangun di sana sejak 21 April 2018 lalu.
PT MSM berinvestasi di atas 52 ribu hektare (ha) lahan yang tersebar di 30 desa di Sumba Timur.
Dalil pemerintah, perusahan itu akan mensuplai kebutuhan gula secara nasional, sebagaimana dikutip dari berbagai media.
Penggusuran secara paksa pun menimpa masyarakat adat 2017 lalu. Padahal, saat itu, mereka baru mengantongi izin lokasi. Aksi protes dan pengaduan masyarakat adat melalui DPRD Sumba Timur tidak dipedulikan.
Hutan lindung Mbula di Desa Wanga, Sumba Timur yang menjadi sumber air untuk kehidupan makhluk hidup sekitar, ikut dikorbankan demi investasi.
Padahal tanah tersebut awalnya dipinjam-pakaikan oleh Dinas kehutanan dari masyarakat. Namun dalam perjalanannya, pemerintah justru memberikan lahan itu kepada perusahaan untuk menjadi sumber pengairan tebu.
Selain Sumba, persoalan serupa juga terjadi di Wolokuku, Ngada dengan menghadirkan investai perkebunan kemiri sunan milik PT Bumianpao Investama Sejahtera yang berdampak pada perampasann lahan, penghancuran kawasan hutan dan ritus budaya hingga intimidasi dan kriminalisasi terhadap warga yang menolak.
Tambang Mengepung NTT
Seperti yang dirilis VoxNtt.com melalui Infografiknya, 11/9/2018, hingga awal tahun 2018, NTT masih dikepung 309 izin tambang yang tersebar di 17 Kabupaten.
Kajian WALHI NTT, sebagaimana ditegaskan Umbu dalam diskusi bedah fim itu, 309 izin pertambangan itu juga mengabaikan Daya Dukung Lingkungan. Hasil analisis BPBD, 10-15 persen desa di NTT mengalami krisis air.
Sementara WALHI NTT menyuguhkan data yang mengejutkan, didasarkan pada Tata Kuasa, Tata Kelola, Tata Produksi, hingga Tata Konsumsi. WALHI menemukan, 70 % Kawasan di NTT mengalami krisis air.
Tagih Moratorium Tambang
Pasca dilantik, Gubernur NTT, Viktor Laiskodat menyampaikan memoratorium tambang. Hal itu diikuti SK Gubernur NTT No. 359/KEP/HK/2018 tentang moratorium tambang minerba.
Namun yang tertuang dalam SK itu justru tak segarang pernyataan Viktor Laiskodat dalam kampanye Pilgub lalu. Nasibnya pun sama dengan apa yang ia pernah utarakan terhadap Human Trafficking.
Moratorium tambang itu hanya satu tahun. Itu pun, dalam setahun itu hanya berkutat pada evaluasi administrasi teknis dan finansial yang ujung-ujungnya hanya akan bermuara pada aspek tata kelola semata.
Selepas dari isu tambang, sebagaimana di Batang, Jawa Tengah, kerusakan lingkungan yang juga berdampak pada kehidupan manusia juga terjadi di NTT.
VoxNtt.com pada 03 November 2017 menuliskan, PLTU di Bolok, Kabupaten Kupang, yang dibangun oleh PT. Santosa Makmur Sejahtera Energy menyisahkan luka bagi masyarakat sekitarnya.
Dalam kasus tersebut, VoxNtt.com mengisahkan ratapan Agus Luit (57), warga Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, sebagai petani rumput laut yang menjadi korban akibat tercemar limbah PLTU.
“Saya coba budi daya rumput laut sejak tahun 1979 Pak, karena berhasil akhirnya saya lanjutkan dan hasilnya sangat baik sehingga saya bisa hidup bersama keluarga saya termasuk bangun rumah yang bagus. Tetapi 2013 sudah tidak bisa lagi pak, kita punya rumput laut rusak semua kena minyak dari PLTU” ujar Agus.
Bersama petani rumput lainnya dari Bolok hingga Tablolong, usaha Agus ambruk. Dia berhenti menjadi petani dan kehilangan penghasilan puluhan juta setiap tahunnya.
Semua rumput laut yang ditanamnya mati karena dicemari minyak (limbah) dari PLTU.
Geothermal
Keputusan pemerintah melalui kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Flores memiliki 16 titik potensi panas bumi yang sedang dan akan digarap.
Sebelumnya, pengeboran panas bumi telah berdampak pada penghancuran lahan pertanian dan perkebunan, pencemaran udara dan sumber air seperti yang pernah terjadi di Mataloko, Kabupaten Ngada.
Ancaman serupa akan dihadapi Desa Wae Sano, Sano Nggoang, Manggarai Barat. Pengembangan geothermmal di wilayah itu berhimpitan langsung dengan rumah-rumah warga, sumber mata air, kawasan hutan, obek wisata danau Sano Nggoang dan fasilitas pendidikan, juga gereja.
Dasar Penolakan Pengembangan Geothermal oleh Masyarakat Desa Sano
Tambak Garam
Adapun yang lain adalah Tambak Garam. Pengembangan tambak garam berbasis korporasi juga tersebar di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara (TTU), Nagekeo, Malaka dan beberapa daerah lainnya.
Di Malaka, perampasan lahan masyarakat dan perusakan mangrove terjadi akibat investasi ini.
Walau begitu, izin beroperasi tetap diberikan oleh Gubernur Viktor, meski sudah menyalahi aturan, seperti tidak adanya analisis dampak lingkungan (AMDAL).
Solidaritas Masyarakat NTT Yogyakarta Desak PT IDK Hentikan Perusakan Mangrove di Malaka
Fakta ini tentu jadi bukti ketidaktahuan pemerintah soal daya dukung ekologis. Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) No. 32 tahun 2009 pasal 27 soal AMDAL yang menjadi basis penolakan warga diabaikan.
Pariwisata Massal
Pariwisata massal, kini primadona di NTT. Pengembangan pariwisata massal di NTT juga berdampak marginalisasi masyarakat pesisir.
Kasus Poro Duka adalah gambaran bagaimana pembangunan resort wisata, membunuh masyarakat kecil. Sedang di Labuan Bajo, transaksi jual beli tanah kian gencar ke para pemodal.
Semua persoalan ini, menurut WALHI NTT memperlihatkan skema tata kuasa politik sedang kuasai oligarkis di NTT.
Mayoritas Sumber Daya Alam (SDA) di NTT dikuasai oleh segelintir penguasa yang bermain mata dengan kekuasaan politik.
Persoalan-persoalan ini juga belum tampak menjadi diskursus serius dalam panggung perdebatan politik menjelang pemilihan legislatif 2019.
Masyarakat, terutama pemilih malah disesaki narasi klise soal kesejahteraan, melalui setumpuk janji yang utopis.
“Padahal, sejumlah krisis dan masalah begitu nyata terjadi dan semuanya terdapat peran pemerintah pusat dan DPR,” kata Melki Nahar, direktur kampanye JATAM dalam diskusi publik bertajuk ‘Menyoal Pemilu 2019 Bagi Penyelesaian Krisis dan Masalah di NTT’ di kantor WALHI, Kota Kupang, Senin (01/04/2019).
Kebijakan-kebijakan ini, lanjut Melky, telah dan sedang menggerogoti masyarakat dan ruang hidupnya.
Menurut kajian JATAM, kehadiran caleg-caleg ini tidak akan membawa perubahaan bagi rakyat kecil jika terpilih.
“Kepentingan mereka itu adalah bagaimana bisnisnya berjalan dengan aman, buka investasi baru dan bisa terhindar dari jeratan hukum. Urgensi kah memilih orang-orang ini ke Senayan? atau jangan-jangan hanya untuk mengurus kepentingan bisnis?” ” pungkasnya.
Selain mengantongi data jejak rekam para caleg, bukti ketidakberpihakan calon-calon ini yakni tidak ada satupun yang berani berbicara dampak buruk investasi tambang dan masalah kemanusiaan di NTT.
Seperti yang diceritakan dalam film Sexy Killers, WALHI dan JATAM sama-sama menilai semua masalah itu sebagai modus kejahatan korporasi.
Untuk itu, WALHI NTT mendesak agar seluruh investasi korporasi di NTT harus dibahas dari hulu hingga hilir.
Pastor Alsis Goa, OFM selaku direktur JPIC OFM, menyerukan agar para caleg terpilih, diharapkan dapat membawa krisis dan masalah-masalah investasi massal ini ke level kebijakan.
Harapan itu tetap disampaikan Alsis meski ia sendiri pesimis dengan munculnya caleg wajah lama maupun wajah baru yang banyak terlibat di dalamnya.
“Keterlibatan bisnis dan rekam jejak yang buruk ini berpotensi terjadi konflik kepentingan dan rawan memperdagangkan pengaruh dalam mengamankan bisnis dan terhindar dari jeratan hukum, serta berpotensi ikut terlibat dalam arena kepentingan elit partai politik nasional, sehingga krisis dan masalah di NTT tak diurus, terus terjadi,” urainya.
Sebagaimana dalam Sexy Killers, pembunuhan sistemik kian dekat dengan kehidupan rakyat NTT. Peluang untuk tergusur, terusir dan terbunuh ada di sini.
Penulis: Grace Gracella
Editor: Irvan K