Kupang, Vox NTT-Direktur Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC), Dominggus Elcid Li mengecam keras aparat Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur (NTT) yang terkesan diam dan membiarkan pelaku perdagangan orang berkeliaran bebas.
Kemarahan Elcid, demikian ia disapa terungkap saat dirinya menyampaikan orasi di depan Mapolda NTT dalam aksi massa, menuntut Polda NTT, menuntaskan masalah Human Trafficking di NTT yang kian marak hingga menelan ratusan korban meninggal dunia.
Kasus kematian Adelina Sau, TKW asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten TTS, NTT yang mati di kandang anjing pada 11 Februari 2018 di Bukit Mertajam, Penang, Malaysia setelah sekian lama disiksa oleh majikannya, Ambika MA Shan dan kasusnya terbengkelai hingga saat ini, kata Elcid, menjadi bukti diamnya polisi.
“Kasus kematian Adelina Sau, yang mati di kandang anjing, yang kasusnya terbengkelai yang polisinya diam di negeri ini, yang ada anak Timor, yang ada anak Jawa di sini (Polda) yang diam. Ini adalah bukti pembiaran,” kata Elcid.
Menurut Elcid, pembiaran yang terjadi sedemikian rupa membuat para calo dan mafia perdagangan orang di NTT berlaku sewenang-wenang.
Karena itu, ia menduga para aparat dan petugas PJTKI juga merupakan bagian dari jaringan kejahatan, yang sudah sekian lama memperbudak masyarakat NTT.
Karena itu, bagi dia, para aparat keamanan yang diam terhadap perdagangan orang adalah bagian dari penjahat perdagangan orang.
“Para aparat keamanan yang diam adalah penjahat,” tandasnya.
“Mereka ada yang berseragam, ada yang berupa orang tua, mereka ada petugas PJKI, mereka ada aparat keamanan, itulah para pelaku perdagangan orang. Sudah saatnya kawan-kawan kita membuka topeng-topeng para penjahat yang menggunakan seragam,” ujar Elcid.
Ia pun menegaskan, pernyataannya itu sangat beralasan. Sebab setiap minggu ada penangkapan orang yang hendak pergi ke luar negeri sebagai pekerja illegal, oleh petugas dari Dinas Nakertrans NTT, bahkan ada pula para calo yang ditangkap tetapi setelah ditangkap tidak jelas prosesnya.
Polsisi kata dia, harusnya menjawab semua pertanyaan masyarakat berkaitan dengan kasus-kasus itu secara lugas. Bukan malah diam.
Dia menjelaskan, publik tentu tahu, keputusan ada di tangan hakim dan jaksa tetapi polisi mempunyai kewenangan untuk menyelidiki jaringan-jaringan perdagangan orang di NTT.
Elcid juga yakin, Polda NTT mempunyai data tentang penyebaran agen perekrut tenaga kerja illegal beserta jaringan perdagangan orang di NTT.
“Kenapa kita katakan begitu, setiap minggu kawan-kawan, orang yang mengirimkan orang di Bandara El Tari ditangkap oleh petugas Nakerrans, tapi berapa yang diproses, polisi harus menjawab dengan lugas, berapa yang diproses bukan hanya diam,” ujarnya.
“Kami tahu, keputusan ada di tangan hakim, ada di tangan jaksa tetapi polisi harus melanjutkan penyelidikan jaringan-jaringan perdagangan orang yang diketahui oleh kawan-kawan di dalam (Mapolda),” ungkapnya lagi.
Alumni Hardvard ini juga mempertanyakan proses hukum pelaku pemalsuan identitas yang dilakukan terhadap Alm. Adelina Sau.
Vivat: Bebasnya Majikan Adelina Tanda Kekalahan Negara Melawan Kejahatan
Ia berharap pihak kepolisian tidak hanya berlaku pada hal-hal yang bersifat seremonial, tetapi harus menjalankan fungsi sebagai lembaga penegak hukum.
“Kita minta, teman-teman kepolsisian tidak berlaku hanya bersifat seremonial, atau hanya berseragam. Tetapi harus ada fungsinya. Kejahatan harus dihapuskan, Kriminal harus ditangkap, bukannya dibiarkan,” tegasnya.
“Sudah saatnya kita bangkit, meminta pertanggungjawaban Negara untuk melaksanakan tanggung jawab. Untuk itu kita minta Kapolda, Wakapolda bersikap tegas terhadap kasus ini. Kasus perdagangan orang yang beratus-ratus, bahkan ribuan harus diproses bukan hanya ditumpukan berkasnya lalu hilang,” pungkas Elcid.
Polisi Harus Berpihak pada Rakyat
Dia juga berharap agar di internal Lembaga Kepolisian Republik Indonesia segera melakukan reformasi agar lebih professional dan mengutamakan kepentingan rakyat dalam menjalankan tugas.
“Sudah saatnya, reformasi ditegakkan, sudah saatnya anda harus berpihak pada rakyat. Anda harusnya tidak berpihak pada siapa yang membayar. Sudah saatnya polisi sadar,” harapnya.
Kata Elcid, seragam kepolisian itu hendaknya dimanfaatkan sebagai atribut kenegaraan dalam menjalankan tugas bukan sekadar untuk mendapatkan gaji dari Negara. Polisi juga tegas dia harus berani dalam mengungkap kasus, tanpa tunduk pada yang membayar.
“Kita minta agar Polisi bangun dari tidur panjangnya. Kita minta agar baju seragam bisa menjadi atribut kenegaraan, bukan sekadar untuk mendapatkan gaji semata. Untuk itu kita meminta Kapolda, Wakapolda, Dirkrimum, Dirkrimsus untuk bangun, jangan diam, Para reserse, para penyidik untuk bangun, jangan hanya diam. Satu orang Rudy Soik dan Buang Sine yang sudah keluar saja tidak cukup. Kita butuh lebih banyak yang baik dan berani,” tegasnya.
Presiden Segera Koordinasi dengan PM Malaysia
Atas ketakjelasan kepolisian dalam menyelesaikan masalah perdagangan orang di NTT, maka Elcid berharap, Presiden Jokowi segera turun tangan. Selama ini, dia menilai, Presiden diam terhadap masalah perdagangan orang di Indonesia, kuhusunya di NTT.
“Sudah lama Presiden kita diam perhadap masalah perdagangan orang di negeri ini. Kita tidak peduli kosong satu atau kosong dua, warga Negara harus dibela haknya,” jelasnya.
Senada dengan Elcid, Direktur Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (PADMA) Indonesia, Gabriel Goa yang dihubungi VoxNtt.com melalui WhatsApp, Kamis (09/05/2019) mengatakan, bebasnya Ambika MA Shan, pelaku penganiaya Adelina Sau dalam putusan Pengadilan Tinggi Penang, Malaysia menunjukkan kepada dunia bahwa hukum belum berpihak pada orang-orang kecil.
Gabriel juga menilai, para hakim yang memutuskan kasus itu mempunyai nurani yang tumpul. Keputusan itu juga kata dia, telah menciderai rasa keadilan korban dan keluarga korban.
“Nurani hakim-hakim itu tumpul dan menciderai rasa keadilan korban dan keluarga korban,” ujarnya.
Selain menciderai rasa keadilan korban dan keluarga korban, Gabriel juga mengatakan, putusan hukum itu secara jelas telah melecehkan harkat dan martabat orang Indonesia, khususnya orang NTT.
“Ini merupakan Pelanggaran Ham berat,” ungkapnya.
erpanggil untuk memperjuangkan pemenuhan hak-hak korban maka Lembaga PADMA Indonesia dan Kelompok Kerja Menentang Perdagangan Manusia (POKJA MPM) menyatakan sikapnya:
Pertama, Mendesak Presiden Jokowi untuk berkoordinasi dengan PM Mahatir Muhammad utk meminta pertanggungjawaban Majelis Hakim.
Kedua, Bekerja sama dengan Penggiat Kemanusiaan di Malaysia untuk melakukan tekanan ke Mahkamah Agung Malaysia agar mencopot Majelis Hakim dan menghukum seberat-beratnya Pelaku dan Majelis Hakim.
Ketiga, Mendesak Dewan Ham PBB untuk melakukan tekanan ke Malaysia dan Indonesia yang telah membiarkan adanya Pelanggaran Ham berat terhadap Adelina Sau, dkk yang telah diinjak-injak harkat dan martabatnya.
Copot Kapolres Sumba Timur
Selain meminta Presiden, Gabriel juga mendesak Kapolda NTT segera proses hukum perekrut dan jaringannya yang telah menjerumuskan Adelina jadi korban hingga meninggal secara tragis di tangan sang majikan di Malaysia.
Ia juga meminta Kapolda, mencopot jabatan Kapolres Sumba Timur yang belum menetapkan Bunda Ani sebagai tersangka Human Trafficking dengan korban, Selfiana Dada Gole (24), Regina Kodi Mete (19) dan Ngada Ata Linda (19).
Penulis: Boni J