Kupang, Vox NTT-Kasus yang menimpa Adelina Sau, TKW asal TTS yang meninggal di Bukit Mertajam, Penang, Malasyia pada 11 Februari 2018 lalu akhirnya direspons oleh Gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat.
Ia mengaku sangat prihatin, begitu mendengar Adelina meninggal dengan cara tragis di Kandang Anjing, setelah sebelumnya sering dianiaya oleh majikannya, AMbika MA Shan.
Karena itu, ia pun mengutuk perilaku Ambika yang dinilainya tidak menghargai hak asasi seorang Adelina.
Sebagaimana diketahui, Ambika sebelumnya sudah dilaporkan dan diproses hukum di Pengadilan Tinggi Penang, Malaysia . Dalam laporannya, Ambika akan dikenai Pasal 302 Hukum Pidana Malaysia dengan ancaman hukuman mati.
Ironisnya, pada 18 April lalu, bukan hanya tidak dihukum mati melainkan divonis hakim dengan putusan bebas murni, sesuai permintaan Jaksa.
Keputusan itu kemudian menimbulkan pro kontra di masyarakat, terutama keluarga Adelina dan komunitas peduli buruh migran dan anti human trafficking di NTT.
Berbagai aksi pun dilakukan, Forum Rakyat menggugat misalnya melakukan aksi demonstrasi untuk mendesak pemerintah NTT, agar segera berkoordinasi dengan pemerintah pusat untuk menggugat keputusan yang telah membebaskan Ambika, pelaku pembunuhan Adelina.
Bagi forum itu apa yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Penang, Malaysia adalah bentuk pelecehan terhadap hak asasi manusia, dan telah merendahkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, mereka meminta agar pemerintah Indonesia tidak boleh diam terhadap kasus ini. Pemerintah Indonesia harus mengambil sikap tegas demi menjaga harkat dan martabat bangsa Indonesia, juga kewibawaan negara di mata dunia.
Aparat Keamanan yang Diam Terhadap Human Trafficking adalah Penjahat
Temui Presiden
Terkait desakan forum ini, Gubernur Laiskodat mengatakan, Malaysia tentu mempunyai mekanisme hukumnya sendiri yang tidak bisa diintervensi oleh negara manapun.
Namun, ia berjanji akan bertemu dengan Presiden untuk menyampaikan hal ini.
“Urusan hukum kita serahkan kepada negara Malaysia. Kita juga meminta lewat presiden. Saya, tentunya nanti ketemu Presiden,” ujar Viktor saat menerima orang tua Adelina dan perwakilan Forum Peduli kemanusiaan NTT di ruang kerjanya, Selasa (7/5/2019).
Ketemu presiden ini kata dia, untuk meminta agar majikan yang divonis bebas oleh hakim sesuai permintaan Jaksa di Pengadilan Tinggi Penang, Malaysia, dapat ditinjau kembali.
“Upaya kita, dorong pemerintah pusat lewat kementrian luar negeri. Saya sendiri sudah telepon ke duta besar, jawabannya sama, tidak mungkin mereka mengintervensi hal itu,” kata Viktor.
Ia juga mengatakan, jika kasus yang menimpa Adelina ini terjadi di Indonesia, dirinya bisa menggunakan berbagai cara untuk menyelesaikan.
“Pasti saya akan usut langsung. Kalau di Indonesia, kita bisa menggunakan berbagai cara. Bisa minta untuk OMBUSDMAN, minta untuk pemeriksaan dari komisi Yudisial. Tapi kalau di Malaysia, kita dibatasi hanya pendekatan-pendekatan diplomasi yang kita miliki,” tegasnya.
“Orang yang punya system hukum sendiri itu lewat sebuah diplomasi. Dan jalur diplomasi adalah yang paling tinggi. Kalau you ada di Indonesia, yah mungkin kita ada perkara lain. Tapi kalau di Malaysia lain,” tandasnya.
Ia melanjutkan, yang paling benar adalah yang hidup ini harus diurus.
“Jadi tugas saya adalah bagaimana yang hidup diurus. Kita harus bantu. Kita berjuang untuk kedalian, tapi tidak mungkin lagi kita mati-matian, yang sudah pergi ya udah. Tetapi kita, tidak bisa, tetap move untuk fight sementara kita meninggalkan kita punya kehidupan,” ungkapnya.
Menurutnya, gubernur punya tanggung jawab tetapi tidak sebesar presiden.
“Presiden saja setengah mati, apalagi gubernur. Tapi kalau tanya apakah gubernur peduli buat ini di NTT, ya, itu memang kewajiban gubernur. Kalian punya hidup hari ini di NTT, itu tanggung jawab gubernur,” tutup Gubernur Viktor.
Agak berbeda dengan Gubernur, Wakil Gubernur, Josef A. Nae Soi dalam dialog dengan massa aksi dari Forum Rakyat Menggugat di halaman Kantor Gubernur, Senin 06 Mei 2019 lalu meyakinkan massa aksi untuk mendesak Pemerintah Indonesia, melalui kedutaan Indonesia di Malaysia agar pelaku mendapat hukuman yang setimpal dengan perbuatannya.
Josef mengaku, pada saat mendengar peristiwa kematian Adelina Sau, dirinya langsung meminta KJRI agar mengawal proses hukum pelaku yang merupakan majikannya supaya Pengadilan bisa memutuskannya secara adil.
“Mengenai kasus Adelina, begitu kami mendengar itu, saya pertama kali langsung menghubungi Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia. Karena hubungan diplomatik luar negri, pemerintah daerah tidak bisa langsung ke Pemerintah Malasyisa. Tetapi karena hubungan baik saya secara pribadi dengan duta besar,” katanya.
Di hadapan massa aksi juga, dia mengaku bahwa sesaat sebelum menemui massa aksi, ia menelepon Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Rusdi Kirana untuk menyampaikan persoalan yang menimpa Adelina, terutama keputusan Pengadilan Tinggi Penang, Malasyia yang sama sekali tidak mempertimbangkan keadilan bagi korban.
“Tadi sebelum saya turun ke sini, saya sudah telepon Pak Rusdi, dan Pak Rusdi sudah menjelaskan ke saya,” akunya.
Menurut Josef pada saat keputusan yang membebaskan Ambika, pelaku yang menewaskan Adelina, ia sempat mengusulkan kepada Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia di Malaysia agar menggugat Pengadilan menggunakan Watching Brief.
“Yang pertama, saya mengusulkan kepada direktur pada saat itu kalau seandainya, kita tidak bisa mengintervensi, memang tidak bisa intervensi, di dunia tidak bisa mengintervensi, negara manapun. Kita tidak bisa mengintervensi hukum di Negara mereka, mereka juga tidak bisa mengintervensi hukum di Negara kita, tetapi ada satu celah di dalam hukum internasional, namanya Brief Watching,” ujarnya.
“Saya sudah minta kepada atase KJRI di sana supaya mengusahakan ada brief watching terhadap ketidakadilan dari Pengadilan Tinggi Penang,” tambahnya.
Penelusuran VoxNtt.com dalam beberapa Sumber, Watcing Brief adalah suatu metode yang biasa digunakan dalam kasus kriminal, dimana dalam persidangan, pengacara hadir mewakili klien dan berfungsi sebagai pengamat.
Metode ini biasanya digunakan untuk membantu melindungi hak-hak dan kepentingan para korban kejahatan, atau juga untuk melindungi terdakwa dari kemungkinan tuntutan jahat. Metode ini digunakan di negara-negara seperti Australia dan Malaysia.
Pada dasarnya, pengacara harus membiasakan diri dengan kasus yang ada dan memahami implikasi hukum dari setiap tindakan atau kelalaian vis a vis kepentingan kliennya.
Namun kata Josef, kalau tidak bisa menggunakan metode ini (watching brief) maka gunakan hukum internasional tentang Human Trafficking.
“Yang kedua saya mengusulkan, kalau seandainya watching brief itu tidak bisa, maka kita menggunakan Hukum Internasional mengenai Human Trafficking. Kalau Human Trafficking bisa kita gunakan ke majikannya, maka dalam hukum internasional, hukumannya adalah 20 tahun. itu yang harus kita lakukan,” ujar Josef.
Karena itu, Josef mengajak seluruh masyarakat NTT agar mendorong pemerintah Indonesia agar lebih giat lagi memperhatikan kasus-kasus yang menimpa buruh migrant asal NTT, terutama kasus yang menimpa Adelina Sau.
“Saya sudah sampaikan kepada duta besar, agar ini harus ada jalan keluar dan harus ada keputusan dari pengadilan. Supaya tidak ada kesewenang-wenangan dan harus dihukum setimpal dengan perbuatan pelaku,” ujarnya.
Vivat: Bebasnya Majikan Adelina Tanda Kekalahan Negara Melawan Kejahatan
Tuntutan Rakyat
Sebelumnya, Forum Rakyat Menggugat menyampaikan beberapa tuntutan, yang dibacakan Pendeta Emi Sahertian, di anataranya yaitu:
Satu, Kami meminta agar perdana menteri Mahathir Mohamad perlu memberikan perhatian lebih terhadap proses pradilan Adelina Sau, karena kasus ini merupakan tanda umum tentang pentingnya menjaga martabat kemanusiaan, terlebih kepada para pekerja asal Indonesia, khususnya dari Nusa Tenggara Timur yang bekerja di Malaysia. Solidaritas “Little Soekarno” Sangat kami butuhkan saat ini, karena itu kami rakyat Indonesia meminta agar Perdana menteri (PM) Mahathir Mohamad tidak berdiam diri melihat ketidakadilan yang sedang terjadi di tanah Tuan.
Kedua, Kami menuntut agar Pemerintahan Indonesia segera mendorong banding terhadap kasus ini yang dibatasi waktu 14 hari setelah putusan dibuat pada tanggal 19 April 2019. Pemerintah Presiden Joko Widodo seharusnya aktif memperjuangkan hak buruh migran yang teraniaya di negeri orang. Karena hanya dengan cara ini maka kewarganegaraan para buruh migran diperjuangkan. Selama mereka dibiarkan mati layaknya hewan, hak mereka sebagai warga negara sedang diabaikan. Pemerintah Presiden Joko hingga saat ini belum menunjukan kemajuan berarti dalam melindungi para buruh migran, baik ketika mereka barada di Indonesia, maupun ketika sudah berada di luar negeri.
Ketiga, Kami menuntut agar Pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk bekerjasama menyelesaikan personal hak-hak buruh migran asal Indonesia baik dalam kerangka hubungan bilateral maupun bekerjasama regional ASEAN. Kemiskinan menjadi alasan para buruh merantau ke Malaysia, seharusnya tidak ditanggapi dengan sewenang- wenang dan mengabaikan hak hidup secara layak.
Keempat, kasus Adelina Sau sebenarnya menjadi tonggak pemulihan martabat manusia, dan bukan malah dijadikan aksi brutal dengan membiarkan persoalan ketidakadilan dipraktekan secara handle dan liar dengan cara mengabaikan saksi-saksi kunci maupun ketidakmauan pengadilan setempat untuk menggali fakta-fakta hukum yang memungkinkan hakim mendapatkan informasi yang memadai.
Penulis: Tarsi Salmon
Edito: Boni J