*Oleh: Matheus Siagian
Perpindahan manusia dari tinggal di satu tempat ke tempat yang lainnya untuk memperbaiki hidup bukanlah hal yang baru.
1400 tahunan yang lalu, Nabi Muhammad SAW menyebutnya dengan istilah hijrah, ke kota Madinah saat ia merasa Mekah sudah tak lagi kondusif dan aman untuknya.
Seperti Musa berpindah menyeberangi Laut Merah, atau Yesus yang mencoba hijrah dari kekuasaan Romawi.
Orang modern menyebut perpindahan, dengan skala nasional, sebagai migrasi.
Migrasi orang Meksiko ke Amerika Serikat, migrasi orang Taiwan ke Australia, dan banyak lagi.
Pada level regional, ada urbanisasi, di mana orang-orang Bali Utara pindah dan tinggal di Seminyak atau Denpasar, misalnya.
Atau perpindahan karena iklim, yang dilakukan warga Winnipeg Kanada ke kota Toronto di negeri yang sama, untuk menghindari musim dingin yang ekstrim (sampai -50 derajat Celcius).
Tujuan perpindahan-perpindahan ini, meskipun namanya berbeda-beda, intinya sama: meningkatkan kualitas hidup diri sendiri dan orang-orang yang disayangi.
Ketika saya mendengar soal penutupan Pulau Komodo untuk rehabilitasi ekosistem alamnya, saya teringat dengan konsep migrasi ini.
Awalnya saya pikir seluruh TNK akan ditutup, tentu saya tak setuju, tapi kemudian baru diketahui bersama bahwa yang akan ditutup hanya pulau Komodo saja.
Saya juga mendengar tentang adanya pembatasan maksimum 50 ribu orang pengunjung, yang sesuai dengan studi carrying capacity yang pernah dirilis.
Dari situ saya sadar, Pemerintah Provinsi NTT peduli dengan hal-hal ini.
Pembatasan pengunjung ke masing-masing titik macam Loh Liang dan Loh Buaya akan memberi dampak positif.
Hal ini memaksa pemerintah membuka titik baru dan melestarikannya.
Seperti diketahui, habitat Komodo ada di banyak tempat, yakni di Pulau Komodo, Pulau Rinca, Pulau Longos, di daratan pulau Flores – Wae Wuul dan Riung.
Jika titik-titik ini dikembangkan penutupan secara bergantian, berotasi tiap 6 bulan per titik, penutupan ini malah akan berdampak positif karena akan menjaga kealamian dari Taman Nasional Komodo kita.
Istilah gampangnya, kadal Komodo di titik-titik habitat libur, 6 bulan tidak melihat turis.
Memang perlu diteliti lebih dalam, tapi jelas akan berpengaruh pada perilaku kebinatangan.
Termasuk perilaku alaminya sebagai apex predator di habitat.
Pergantian buka tutup titik juga akan mempermudah kontrol jumlah pengunjung.
Penambahan titik-titik kunjungan juga akan menambah pemerataan impact kepariwisataan bagi masyarakat di lingkungan TNK.
Penulis adalah pelaku pariwisata di Mabar