Ruteng, Vox NTT-Anas begitu warga kampung akrab menyapanya. Wajahnya tampak murung dan sedih saat didatangi VoxNtt.com, Senin (03/06/2019) malam.
Pemilik nama lengkap Anastasia Undik itu berbicara tertatih-tatih saat berkisah tentang hidupnya yang sungguh malang.
Anas adalah seorang janda asal Kampung Lompong, Desa Golo Lembur, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur (Matim), NTT.
Tak terasa air mata wanita berumur 39 tahun itu turun perlahan, saat memulai bercerita tentang kehidupannya yang kian getir.
Sejak menikah dengan suaminya Stefanus Adol almarhum, ia terpaksa harus bertahan hidup di tengah gempuran kemiskinan.
Hidup dengan kemiskinan dan serba kekurangan masih akrab menemani ruang hidupnya, seolah tak rela pergi.
Tak hanya soal kekurangan ekonomi, rumah untuk Anas dan kelima buah hatinya menetap pun sungguh miris. Ukurannya hanya sekira 4×5 meter.
Dinding dan atapnya terbuat dari pelupuh bambu. Lantainya tanah. Keluarganya tampak berdesakan saat tidur malam.
Tempat tidur mereka juga dibuat Anas dari bambu dalam bentuk tenda. Tak ada kamar khusus untuk keluarga dan tamu, selayaknya model rumah dari kebanyakan orang.
Tak ada kasur di tenda itu. Alas tidur mereka hanya berupa tikar yang dijahit dari sak semen.
Tak ada sekat dalam rumah yang serba dirancang dari bambu itu. Yang ada sekat hanya dapur, tempat Anas memasak untuk anak-anaknya. Itu pun tak berdinding, bagai pondok di tengah sawah.
Di belakang rumahnya, ada jurang yang cukup curam. Ada beragam pohon tumbuh dengan apit di jurang itu.
Kerja Banting Tulang
Sejak pasangan hidupnya Stefanus Adol meninggal pada tahun 2010 lalu, hidup Anas mulai sengsara dan penuh penderitaan.
Arah dan keberlangsungan kehidupan keluarga itu pun sepenuhnya berada di pundak Anas, tanpa ditemani suami tercinta.
Anas pun rela menjalaninya demi kelima buah hati hasil pernikahannya dengan Stefanus Adol.
Wanita kelahiran Lompong, 6 Januari 1980 itu terus berusaha bangkit dan bekerja keras bukan untuk bergelimang harta, namun hanya demi menafkahi anak-anaknya.
Tak ada kamus lelah dalam hidupnya. Ia terpaksa harus merambah semua tugas sang suami sebagai tulang punggung utama keluarga hingga tugas seorang ibu rumah tangga.
Anas bekerja sebagai buruh tak tetap di kebun dan sawah tetangga di Kampung Lompong.
Biasanya, ia mengaku diberi upah 30 ribu- 35 ribu rupiah perhari. Itu pun tidak setiap hari upah harian ia dapatkan. Uang bisa didapatkan Anas, jika ada warga yang membutuhkan tenaganya.
”Eh pak, seng harian kut weli dea, kut piara anak-anak daku (pak, uang harian untuk beli beras, untuk pelihara anak-anak saya),” katanya dalam bahasa daerah Manggarai.
Wanita yang hanya bertamatkan Sekolah Dasar (SD) itu mengaku, tak hanya berupa uang sebagai upah tenaganya bekerja di kebun dan sawah tetangga.
Terkadang, kata dia, ada warga yang memberi upah tenaganya dalam bentuk padi. Itu pun tak ada ukuran baku berapa karung padi dalam satu hari kerja, tergantung kasihan tuan kebun atau sawah.
”Bo eme momang lata e pa, nganceng tei ca karung 50 kilo lise woja (kalau ada yang iba pak, mereka bisa kasih satu karung 50 kilogram padi),” ucap Anas.
Meski ada tiga bidang kebun kemiri peninggalan suami, namun Anas mengaku hasil panenannya tak cukup kuat untuk menopang kehidupan keluarga. Hasil panenan kemiri itu hanya maksimal 30 kilogram.
Anak Putus Sekolah
Tidak ada orang tua yang ingin anaknya tumbuh dalam kondisi putus sekolah. Prinsip ini pun masih tertanam dalam lubuk hati Anas.
Namun apa daya, kondisi ekonomi dan kemiskinan membuat anak-anaknya harus menerima kenyataan pahit.
Dari lima buah hati Anas, tiga yang lainnya sudah putus SD lantaran ekonomi tak mampu. Sementara, dua lainnya masih duduk di bangku SD.
Anas mengaku memang ada bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) untuknya. Nominasi variatif, mulai dari 400 ribu-1 juta rupiah.
Keluarga Anas juga pernah mendapatkan bantuan dari Program Indonesia Pintar (PIP). Penerimaan terakhir, ungkap Anas, sebesar 900 ribu rupiah.
Suami Bunuh Diri
Air mata Anas kembali jatuh, namun tangisannya tak pecah saat mulai berkisah tentang kepergian sang suami tercinta.
Percakapan dengan VoxNtt.com kemudian sempat jedah sejenak. Kepalanya tunduk dengan raut wajah kembali sedih. Air mata terus turun dari kedua bola matanya.
Ia tampak menghening, kemudian menghapuskan air matanya dengan sarung yang ia pakai malam itu.
Tak lama berselang Anas mulai berkisah tentang kepergian sang suami tercinta dengan cara tragis yakni gantung diri.
Ia berkisah, suaminya Stefanus Adol pergi untuk selama-lamanya pada tahun 2010 lalu.
Sebelum meninggal dengan cara gantung diri, dua tahun sebelumnya Stefanus pernah merantau ke Malaysia dengan status TKI ilegal.
Anas mengaku, awalnya ia sempat melarang Stefanus merantau ke luar negeri.
Namun, tekad suaminya kala itu tampak sudah bulat untuk berangkat demi mengais rezeki di negeri jiran.
Selama di Malaysia, Stefanus tak ada kabar untuk keluarganya. Anas pun terus menanti dengan penuh harapan bahwa suaminya bisa pulang membawa berkah, terutama untuk perbaikan ekonomi keluarga.
Dua tahun kemudian, Stefanus pun pulang ke rumah. Namun, kenyataannya sudah jauh dari harapan Anas.
Pasalnya, Stefanus pulang dengan ‘tangan kosong’, tidak bawa sepeser pun uang atau ole-ole.
Bahkan, ia pulang hanya menyisakan pakaian di badan. Sementera pakaian yang dibawa dari kampung halamannya sebelum merantau sudah hilang dan tak kelihatan lagi.
Namun Anas mengaku tetap menerima suaminya itu dengan besar hati. Ia tak marah lantaran tidak membawa uang.
Perasaannya bahkan puas dan senang, karena kerinduannya agar suami pulang sudah terwujud.
Setelah beberapa bulan kemudian, Anas justru melihat gelagat aneh dari suaminya itu. Anas selalu dimarah-marah Stefanus, jika ada kekurangan dalam bahtera rumah tangga.
Suatu malam saat tidur, kisah Anas, suaminya itu terbangun. Malam masih larut, Anas melihat suaminya bangun dan mengambil seutas tali nilon.
Anas mengintip dari balik celah kelambu, sang suami mencoba mengikat tali nilon tersebut di lehernya. Anas pun bangun dan langsung mencegatnya.
Rupanya percobaan bunuh diri sudah mulai dilakukan Stefanus malam itu, namun berhasil digagalkan sang istri.
Anas mulai menaruh curiga atas sikap dan tindakan suaminya yang hendak bunuh diri itu. Ia pun takut akan kehilangannya.
Anas kemudian memotong tali nilon itu dengan parang, menjadi beberapa bagian terkecil. Upaya tersebut dilakukannya agar Stefanus tidak menggunakan tali nilon itu untuk gantung diri.
Selang beberapa hari kemudian, lanjut Anas, Stefanus diundang saudarinya dari Golo Popa, Desa Compang Necak, Kecamatan Lamba Leda untuk mengikuti pesta sekolah (acara pengumpulan dana).
Stefanus dan keluarga yang kala itu tinggal di kebun pun bersepakat untuk hadir memenuhi undangan tersebut.
Keesokan harinya, Anas memberikan uang senilai Rp 100.000 kepada Stefanus untuk mengikuti pesta. Stefanus pun berangkat untuk mengikuti pesta di malam harinya.
Malam itu, pikiran Anas memang tak tenang. Firasatnya buruk, ketika sang suami berpamitan pergi pesta.
Karena tak tenang di kebun, Anas pun memutuskan kembali ke kampung halaman keesokan harinya.
Setiba di kampung, Anas bertemu anak sulung dari istri pertama Stefanus yang baru saja pulang dari pesta itu.
Anak sulung Stefanus yang tinggal di rumah lain kemudian menanyakan alasan ayahnya tidak mengikuti pesta.
Anas pun langsung merespon bahwa ia sudah menitipkan uang Rp 100.000 agar Stefanus mengikuti pesta. Ia juga sudah pamit berangkat menuju tempat pesta.
Kala itu, pikiran Anas masih kacau dan tidak tenang. Ia kemudian kembali ke pondok bersama anak-anaknya.
Sesampai di pondok, tempat mereka tinggal, Anas melihat tulisan suaminya di dinding pondok.
Kalimat berupa pesan petunjuk itu tertulis dari arang.
”Eme kawe aku, kawe awo Golo Kembo (kalau mau cari saya, cari Golo Kembo),” demikian isi tulisan Stefanus, sebagaimana diucapkan Anas.
Golo Kembo sendiri adalah nama tempat yang merupakan kebun mereka yang satunya. Anas kemudian memanggil warga lainnya untuk bersama-sama mencari Stefanus di kebun Golo Kembo.
Setiba di Golo Kembo, Anas dan warga lainnya mendapati Stefanus sudah tewas gantung diri di sebuah pohon.
Anas pun menangis histeris, seakan tak rela suaminya pergi begitu cepat. Apalagi pergi untuk selama-lamanya dengan cara gantung diri.
Jasad Stefanus kemudian disemayamkan untuk selanjutnya dimakamkan oleh warga Kampung Lompong.
Butuh Bantuan
Anas mengaku, dalam kamus hidupnya tak berpikir untuk merehab rumah mereka. Kendati memang rumah pelupuh bambu yang reot itu sudah banyak yang bolong.
“Co kong kut pikir pande mbaru ta pa, kawe mose latang piara anak so’ok kat nai loen (bagaimana mau pikir buat rumah pak, menafkahi anak-anak ini saja setengah mati,” ucap Anas, seolah pasrah dengan kenyataan hidupnya.
Namun demikian, Anas mengaku sudah tidak tahan lagi tinggal di gubuk yang sudah reot itu. Atap rumah dari bambu yang sudah lapuk dan bolong itu tidak mampu lagi menahan air hujan.
Di musim penghujan tanah di dalam rumah mereka kerap becek akibat air bocor dari atap.
Situasi itulah yang membuat Anas memohon bantuan berbagai pihak untuk merehab rumah mereka agar nyaman dihuni.
”Tegi mohas agu momang data, cala nganceng bantu pande mbaru ho’ok (minta belas kasihan orang, mungkin bisa bantu bangun rumah ini),” pinta Anas penuh harap.
Saat berbincang-bincang dengan VoxNtt.com sebelumnya, Kepala Desa Golo Lembur Robertus Sumardi Imbi mengaku, pihaknya siap membantu memberikan bantuan untuk merehab rumah Anas.
Namun bantuan dari Dana Desa, kata dia, hanya 10 juta rupiah dan dipotong pajak. Itu berarti tidak cukup untuk membangun satu buah rumah secara keseluruhan.
Arsy Tergerak Hati
Penderitaan yang terus mencekam kehidupan Anas dan keluarga ternyata turut menggerakkan hati Bripka Arsy Lentar untuk menggalangkan bantuan.
Bhabinkamtibmas Desa Nampar Tabang Kecamatan Lamba Leda itu mengaku sudah mendatangi rumah reot milik Anas.
Ia pun berniat menggalangkan dana untuk merehab rumah Anas dan keluarga. Ia memohon kepada siapa saja yang iba dengan penderitaan Anas agar sudi kiranya bisa membantu merehab rumahnya.
”Prinsip kemanusiaan sebagai dasar pijakan saya, sehingga tergerak hati untuk melakukan penggalangan dana,” kata Polisi Arsy saat dihubungi VoxNtt.com, Rabu (05/06/2019).
Ia mengatakan itu saat ditanyai alasan dirinya rela meluangkan waktu untuk menggalangkan dana demi membangun rumah Anas dan keluarga.
Usaha penggalangan dana yang dilakukan Polisi Arsy memang bukan kali pertamanya.
Sebelumnya, ia sudah melakukan gerakan kemanusian serupa untuk membantu merehab rumah Paulina Lawus, janda berumur 70 tahun asal Kampung Deru, Desa Compang Deru, Kecamatan Lamba Leda.
Alhasil, rumah milik nenek Paulina sudah dibangun secara permanen berkat bantuan dari berbagai pihak.
Salah satu bentuk penggalangan dana yang dilakukan Polisi Arsy ialah lewat media sosial facebook.
Melalui akun facebook-nya, ia memohon bantuan kepada warganet.
Arsy kerap mengunggah foto dan video nenek Paulina dan kondisi rumah reotnya, dengan menulis caption ”mohon bantuan”.
Postingan Arsy turut menyita perhatian netizen. Banyak warganet yang tergugah dan kemudian membantu.
Kali ini, ia kembali memohon bantuan semua pihak lewat akun facebook-nya untuk merehab rumah milik Anas.
Penulis: Ardy Abba