Oleh: Pius Rengka
Presiden keenam Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono, mungkin tidak pernah dan bahkan tidak akan pernah membayangkan jauh sebelumnya bahwa perpisahannya dengan istri terkasih Kristiani Herrawati Ani Yudhoyono akan melalui jalan begini di Singapura.
Jalan menuju alam baka ternyata dilaluinya melalui kanker darah dan tak ada satu pun di sana yang sanggup mengatasinya.
Ibu Ani pergi meninggalkan suami terkasih, anak-anak dan rakyat Indonesia tercinta untuk selama-lamanya, di sebuah negeri di seberang itu.
Tentu saja, dan diyakini sangat pasti, kepergian Ibu Ani mengundang memoria yang manis.
Kepergian Ibu Ani untuk selama-lamanya, menghadirkan gelombang luka sukma yang menggetarkan dan menggetirkan terutama bagi SBY pribadi.
SBY sebagai pribadi yang hidup bersamanya sangat lama dengan aneka dinamika yang semuanya terbilang. Tetapi, nasib sejarah perjalanan kehidupan manusia ternyata pasti berujung pada kematian. Hanya itu yang banyak orang tahu. Manusia akan berziarah menuju kematian.
Kita semua, mahluk hidup di alam fana ini, satu waktu, entah kapan, pasti mati. Dan, kematian itu tidak akan pernah sanggup ditolak, ditunda, entah oleh siapa atau apa pun mungkin ilmu yang terberi.
Kematian adalah tragika bagi mereka yang ditinggalkan. Seluruh kisah perjalanan hidup manusia tak lebih dari serial sejarah menuju ke sana.
Kabar tersiar luas. Ibu Ani menghebuskan nafas terakhir di tempat rantau, nun jauh dari rumah orangtuanya di Purworejo, Jawa Tengah, jauh dari keluarga terdekat di Cikeas dan jauh dari semua pihak yang pernah disentuhnya dengan kasih seorang Ibu yang tak terlukiskan di tanah air.
Kematian, memang, sekali lagi selalu benar sangat pasti. Tetapi dengan cara apa dan kapan kematian itu terjadi selalu menjadi misteri bagi semua orang entah apa pun mungkin derajat sosialnya.
Maka kematian tak hanya menyimpan misteri pada cara dan waktu kejadiannya, meski pada akibatnya selalu dapat diucap oleh siapa pun entah sejak manusia mulai lahir dan berziarah di padang gurun kehidupan.
Ibu Ani, misalnya, dikenang tak hanya karena wajahnya yang senantiasa menebar senyum, empati dan simpati, meski keluarganya kerap didera hujatan buruk dan busuk lantaran ekses politik di tanah air.
Ibu Ani tetap tampil sebagaimana biasanya, senyum di kulum, selalu berkomentar positif tentang segala jenis pertanyaan yang mungkin datang kepadanya tentang keluarganya dan terutama tentang rakyat Indonesia yang dicintainya.
Ibu Ani di panggung publik, selalu pasti tampil ceria. Ibu Ani senantiasa menyiram seruan damai dari balik selimut duka kabar tak waras atas keluarga ini.
Pada pandangan Ibu Ani, kemauan baik dan perbuatan baik selalu pasti tidak cukup bagi pemuasan semua pihak. Tetapi toh harus diucapkan, ditularkan dan dibiasakan.
Ibu Ani senantiasa teguh mendampingi SBY, suami tercinta dalam seluruh deraan yang dialami keluarganya. 10 tahun SBY memimpin negeri ini sebagai presiden, 10 tahun pula rakyat melihat dan merasakan sentuhan kasih Ibu Ani, meski diterjang gosip, tudingan, penghakiman yang kadangkala terkesan melampaui humanisme biasa pada masyarakat berkulutur ketimuran.
Tetapi Ibu Ani, sebagaimana biasa, mendengar, mencermati, memahami, dan tampil tersenyum di depan publik tanpa sedikit pun tampak setitik getir di dalamnya.
Namun, jejak perbuatan baik, tulus dan pilihan sikap yang dipilihnya, adalah pilihan seorang ibu yang menaruh harapan dan kasih atas seluruh warga negara yang sanggup disentuhnya. Jejak humanisme atas kehidupan persis diingat saat dia telah tiada.
Pada situasi seperti ini, rasanya, sebagaimana umumnya kaum ibu, mestinya seorang Ibu penuh gundah, luka dan dhuka. Rasanya, dalam terpaan tudingan buruk kalangan lawan politik dan politisi di luar Cikeas, mestinya hati Ibu Ani terus diiris sembilu luka. Tetapi, tidak! Ibu Ani Yudhoyono, selalu saja tampil pantas di semua pentas. Ia tersenyum dan selalu begitu sebagaimana ia biasa begitu sejak lama.
Belajar Dari Kematian
Pada banyak kesempatan, Ibu Ani mengajukan gagasan-gagasan yang tampak seperti amat sederhana, tetapi berakibat sangat luas. Misalnya, gagasan tentang nasib alam lingkungan dan tanam jutaan pohon, mendidik anak manusia sejak usia dini, memperhatikan kekerasan umat manusia yang dilihatnya sebagai ancaman atas nasib manusia.
Pada tanah tumpah darah Indonesia, sepertinya Ibu Ani peduli tak pernah kenal musim hingga akhir hayat.
Pada situasi seperti ini, ketika Ibu Ani telah pergi untuk selamanya menghadap Sang Khalik, sepertinya kita kembali diingatkan oleh dua bait sajak penyair India, Rabindranath Tagore ketika penyair ini menulis begini:
Ikan di laut berenang diam
Hewan di darat membuat ribut
Burung di udara terbang menyanyi
Tetapi manusia
Mendapat ketenangan di laut
Membuat onar di darat
Menemukan nyanyian di udara.
Sepertinya, Rabindranath tak melihat luka hati Ibu Ani di kelak hari, ketika Ibu Ani menemukan laut tidak lagi tenang, dan ikan-ikan kocar-kacir oleh dinamit dan pukat harimau. Kapal silang siur di permukaan dan bawah air. Kerusuhan dan perang berpindah ke laut, mulai dari pantai sampai ke tengah samudra.
Di darat apalagi. Hiruk pikuk dan bising tidak diproduksi oleh hewan lagi, melainkan oleh manusia dan teknologinya. Lalu lintas menyilang benua membawa ingar bingar dan pencemar sekaligus. Perang dan latihan perang menggelegar secara global, tak mengenal batas wilayah negara.
Di udara pun, burung-burung kian berkurang, dan tempat tinggalnya makin dipersempit, terutama oleh manusia penyerang segala. Perang makin hebat di udara, bahkan sampai ke angkasa luar. Rudal dan antirudal menerangi langit malam disertai bunyi ledakan yang khas dan mengerikan.
Para burung di udara tersingkir oleh olah ulah manusia penghuni bumi. Pesawat terbang menggantikan burung di udara, dan tidak lagi bernyanyi, hanya deru campur cemar udara. Manusia, kian merasa bangga dan sombong pada kehidupan, sambil mencintai budaya kematian.
Di darat ulah manusia lebih mengerikan. Ulah manusia menimbulkan erosi dan subrosi kerak bumi secara besar-besaran. Dunia tidak lagi sebagaimana sedia kala, seperti yang dibayangkan Tagore. Jika kini Tagore masih hidup, mungkin dia mengubah sajaknya tidak sebagaimana apa yang ditulisnya dulu.
Lihatlah, dunia dan bumi tidak lagi seperti sediakala. Hewan telah digantikan manusia, tetumbuhan telah digantikan tanaman buatan, hutan digantikan kota. Sungai dibendung dan dialihkan demi kepuasan dahaga manusia.
Danau artifisial dibuat untuk memuaskan dahaga mata para pembuatnya, selat dibuat menyambung pulau-pulau agar manusia pindah tempat tanpa alat seberang.
Manusia terus berpindah dari satu kawasan ke kawasan lain, dan demi kepentingan itu, politisi merumuskan aturan main agar manusia nyaman pergi ke segala arah di alam fana ini, seperti kesepaatan AFTA dan NAFTA.
Manusia menciptakan taman dan tanam sendiri sesuka seleranya, dan kebun dihuni oleh manusia demi memuaskan dahaga imajinasinya sendiri. Hutan alami kian punah, kulit tanah kian rusak berat, lantaran manusia mencari isinya untuk pemuasan hasrat yang tak pernah bertepi.
Hasrat menjadi kaya tak dapat dibendung, tetapi perusakan lingkungan kian bertambah luas, dan hewan-hewan tersingkir dari habitasinya. Para hewan tak hanya habis dan kian terpunahkan karena dimangsai manusia, tetapi juga diusir manusia dari lingkungannya demi kepuasan manusia.
Manusia, tampaknya mahluk paling super gelisah dan maha gila. Dia tidak hanya gelisah di darat, laut dan di udara, tetapi juga gila risau di dalam hatinya sendiri sambil mencari alasan penyebab pada orang lain atau pihak lain.
Maka bunuh diri tampak kian jamak entah karena alasan politik, cinta dan putus asa. Bunuh diri tak hanya ada pada kaum pria, sebagaimana heroisme harakiri pada pasukan Jepang, tetapi bunuh diri melibatkan wanita lantaran urusan politik.
Begitu pun kaum Waria harus menggantungkan nasib nafasnya pada sembilu yang menghujam tubuhnya lantaran rebutan pasangan kencan.
Para kaum pria, melontarkan diri dari ketinggian agar tubuhnya menghujam batu cadas untuk melenyapkan nyawanya. Lainnya mati sungguhnya, sedang sisanya setengah mati dan kali lain mati-matian memepertahankan hidupnya kembali.
Tercatat Wafa Idris. Ia wanita cantik rupawati, intelektual cerdas dari sebuah Universitas di perbatasan. Dia pembunuh diri pertama Palestina, menyusul pidato provokasi Yaser Arafat atas kekejian Israel pada bangsa di perbatasan itu.
Dia tak sanggup bertahan atas seluruh perlakuan Israel atas negerinya. Dan, pidato Yaser Arafat seperti siraman lidah api di tengah ladang minyak. Dia meledakkan diri persis di depan sebuah tokoh serba ada dan menghujam tubuhnya sendiri, dan banyak yang lain. Kepingan tubuhnya nan elok itu sulit diidentifikasi karena remuk dan terlontar entah ke mana-mana di kawasan itu.
Ibu Ani, kini telah tiada lagi dari antara kita. Kisahnya disimpan masing-masing entah oleh soiapa yang pernah bersentuhan dengannya, terutama SBY dan dua anak-anaknya, serta anak mantu dan cucu-cucunya.
Kita hanya menyimpan makna di balik ucapannya yang sangat sederhana, tanam jutaan pohon, didik anak-anak sejak usia dini, perangi semua jenis penyakit.
Semua pernyataannya itu, diucapkannya dalam situasi sangat biasa, pada acara yang tak terlalu luar biasa, dan diucapkan dengan bahasa yang sangat biasa, sambil sebagaimana biasa dia tersenyum nan manis dan damai.
Tokoh ini telah tiada, tetapi seruannya senantiasa ada dan terus bermakna ketika kita melihat luka hidup di lingkungan darat, laut dan udara. Ibu Ani kini pergi ke satu tempat, tempat di mana tak seorang jua pun sanggup memanggilnya pulang.
Ibu Ani kini diam, tak lagi berucap, tetapi seruannya tetap bernyaring ke segala arah, dan menyentuh dinding-dinding hasrat para peziarah kehidupan.
Selamat jalan Ibu Ani. Ibu Ani pergi duluan. Tak perlu menanti kami, karena kami memang sedang ke arah sana ke tempat tak seorang jua pun sanggup melukiskan situasi di sana. Sekian.