Mbay, Vox NTT-Semangat mulai berpacu ketika merapat di Kampung Boanio, tempat digelarnya tinju adat (Etu) Suku Nataia, Jumat (12/07/2019).
Tabuhan gong dan gendang semakin jelas saat memasuki kampung yang terletak di Desa Olaia, Kecamatan Aesesa, Kabupaten Nagekeo itu.
Masyarakat tak terhitung jumlahnya sudah memenuhi arena di Kampung Boanio yang berbentuk persegi panjang utara selatan dengan peo (simbol pemersatu dan proklmasi kemandirian suku dan hukum adat orang Nagekeo) di tengahnya.
Di sana, terlihat dua kubu saling berhadap-hadapan di arena. Tabuhan gong dan gendang tampak tidak henti-hentinya.
Tua-tua mosalaki (gelar yang diberikan kepada seorang lelaki di Nagekeo) dan ibu-ibu tampak melantunkan nyanyian dan tarian yang biasa disebut suku Nataia Teke.
Kedua kubu berbalas pantun sedikit mengejek seraya menari hingga sekali-sekali masuk hingga ke tengah arena laga.
Masing-masing kubu menyiapkan jagoannya untuk masuk arena pertarungan. Nyanyian dan pantun terus menggelegar.
Suasana makin memanas hingga mengantar masing-masing petarung di arena tinju di tengah kampung.
Suasana yang semarak, namun menegangkan. Sorak-sorai penonton seakan mendorong para petinju lebih hebat ke arena pertarungan.
Ini benar-benar tontonan yang mengasyikan. Perpaduan antara ritual adat dan hiburan, baik bagi orang di kampung itu maupun mereka yang datang dari luar.
Baik bagi mereka yang turun langsung di arena pertarungan maupun yang hanya sekadar menonton.
Sudah tentu para petarung naik lebih tinggi hingga kedua petarung beradu jotos dan saling jual beli pukulan.
Di tangan petarung jelas bukan sarung tinju yang dikenal dalam dunia olahraga. Karena ini bukan olahraga tinju, tetapi ritual adat tinju yang dibuat menggunakan alat tradisional, terbuat dari ijuk enau yang sudah dipintal dan dibuat sedemikian rupa hingga berbentuk elips sebesar genggaman tangan orang dewasa.
Kedua petarung dengan masing-masing pembantu yang dinamakan sike, maju berhadap-hadapan di tengah arena, diiringi dengan tabuhan gong dan gendang.
Suasana ini seakan mengaduk-aduk hasrat para petarung segera beradu pukul. Etu selain sebagai suatu ritual adat, juga merupakan adegan adu ketangkasan.
Siapa yang cekat dan piawai memang bisa menjadi pemenang dalam pertarungan itu, apalagi berhasil melukai lawannya.
Jadi, bertubuh kekar sekalipun bukan jaminan bakal memenangkan pertarungan ini. Strategi bertarung memang diperlukan dalam adu ketangkasan Etu.
Pertarungan bisa tiga ronde atau lebih tergantung kesepakatan dan kesiapan masing-masing petinju.
Selesai bertarung kedua petarung berangkulan dengan penuh sportivitas sebagai tanda perdamaian.
Salah satu Fungsionaris Adat Suku Nataia Hironimus Dheru yang ditemui VoxNtt.com, Jumat (12/07/2019), di sela-sela kegiatan itu mengatakan, tinju adat (Etu) ini sudah diwariskan dari nenek moyang sejak dahulu kala. Dan Etu ini dilaksanakan pada bulan Juli.
Nimus biasa disapa menjelaskan, Etu adalah bagian yang integral di dalam rangkaian adat mulai dari menanam hingga memanen.
Etu dan ritual adat lainnya, wajib dilaksanakan di kisa nata (alun-alun) rumah adat (sa’o waja) yang merupakan pusat dari aktivitas adat dan kebudayaan masyarakat setempat.
Di tengah-tengah kisa nata itu terdapat tugu kayu bercabang dua yang dipancang di atas batu bersusun (peo) yang melambangkan persatuan dan persekutuan masyarakat.
Sehari sebelum Etu digelar, seluruh masyarakat memadati kisa nata dan merayakan malam itu dengan pertunjukan seni musik dan tari yang biasa disebut teke.
Menurutnya, motif tinju adat ini adalah murni bagian dari adat. Hal ini sebagai sarana untuk merayakan kehidupan dan untuk mempersatukan masyarakat.
Secara teknis Etu tidak memiliki aturan pasti mengenai jumlah ronde dalam satu kali pertandingan. Namun tinju dapat dihentikan jika salah satunya berdarah.
Lamanya waktu pertandingan turut ditentukan oleh kekuatan para petarung. Seberapa kuat dia menyerang dan mempertahankan diri dari pukulan lawan.
Nimus mengatakan, Etu dipimpin oleh wasit (seka). Selain seka, ada petugas yang tugasnya mengendalikan petarung agar tidak brutal dalam bertanding yang dalam bahasa setempat disebut sike.
Tugas sike mengontrol petarung dengan memegang ujung bagian belakang sarung yang dikenakan petarung.
Ketika pertandingan mulai membabibuta, maka sike tinggal menarik ujung kain dan petarung dengan sendirinya mundur.
Selain para petugas yang disebutkan itu, terdapat juga para petugas pai etu yang fungsinya mencari para petarung yang siap bertanding di partai setelahnya.
Selain itu ada mandor adat yang bertugas untuk mengawasi penonton agar tidak merangsek masuk ke arena pertandingan.
Ketika pertandingan selesai, setiap petarung saling memberikan pelukan yang melambangkan persaudaraan dan sportivitas, serta untuk mencegah rasa dendam di dalam diri.
Para petarung dilarang keras saling dendam yang berujung pada perkelahian di luar arena. Jika itu terjadi, maka mereka dengan sendirinya akan mendapat musibah.
Tak jarang dalam pertandingan Etu banyak darah tertumpah di atas kisa nata. Banyak petarung yang mengalami luka serius di bagian wajah. Namun luka tersebut akan segera sembuh dengan sekali usap dari sang kepala adat.
Dikatakan tinju adat atau Etu ada beberapa rangkaian kegiatan yakni;
11 Juli: Etu Pate
Sejak pagi hingga jelang sore, ritual berisikan atraksi tinju khusus anak-anak dengan tangan kosong (belum gunakan alat bertinju).
12 Juli: Ja Kepo
Saat ini, sudah mulai mempersiapkan kepo (semacam sarung tinju). Pagi sampai siang, tinju untuk anak-anak. Sore hingga jelang malam, tinju untuk orang dewasa (etu meze).
Boka Loka
Pada malam (Pukul 19.00 Wita) dilakukan ritual boka loka (tandak).
Masyarakat adat Nataia mengawali boka loka dengan tandak “ana ia”, tandak khusus untuk anak suku Nataia. Setelah beberapa jam, sekitar pukul 20.00 Wita, tandak “ana ia” selesai, baru dilanjutkan dengan teke (tandak) dari berbagai tempat/kampung yang turut hadir saat itu.
Sebut saja, teke sa labo, teke sa nage, fera Wolowe, fera Lape Ngegedhawe, teke nata toto, dan sebagainya. Masing-masing kelompok sudah bisa teke dengan api unggun masing-masing.
Teke ini berlangsung sepanjang malam hingga pagi hari.
13 Juli: Etu Meze
Ini merupakan ritual Etu yang mulai seru. Melibatkan orang dewasa dari berbagai wilayah sekitar. Para jagoan tinju mulai dipertemukan oleh para mosalaki babho, diiringi gong dan gendang. Etu ini diperkirakan selesai pukul 13.00 Wita.
Dhongi Koti
Setelah ritual etu meze, pelaku ritual Nataia melanjutkan dengan ritual dhongi koti. Gasing adat diturunkan dari rumah adat lalu membuka ritual dhongi koti.
Ritual ini merupakan puncak Etu Nataia, selanjutnya dibuka luas untuk atraksi main gasing yang melibatkan para jagoan gasing dari berbagai wilayah sekitar.
Penulis: Arkadius Togo
Editor: Ardy Abba
Baca Juga: Suku Nataia Nagekeo Segera Gelar Tinju Adat