Jakarta, Vox NTT-Partai politik dalam kedudukannya sebagai pendukung atau oposisi petahana memiliki peran sangat signifikan bagi jalannya demokrasi di Indonesia.
Aneka proses politik di lembaga legislatif, pemerintahan, dan lembaga-lembaga negara lainnya tidak bisa dilepaskan dari peran partai politik.
Institusi partai politik adalah salah satu pilar penting bangunan sistem demokrasi selain institusi pemilu, eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga pers yang bebas.
“Partai politik memiliki tugas mengagregasi berbagai kepentingan masyarakat, mengarahkannya pada kepentingan bersama, dan merancangnya dalam bentuk legislasi dan kebijakan,” ujar anggota DPR RI Terpilih Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Yohanis Fransiskus Lema, S.IP. M.Si atau Ansy Lema dalam diskusi yang bertajuk “Menakar Komposisi Kabinet Kerja Jilid II” yang diadakan Vox Populi Institute (Vox Point) Indonesia di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2019).
Pelembagaan Partai Politik
Partai politik, demikian Ansy, mempertemukan dan memformulasi kepentingan masyarakat yang disampaikan melalui “kelompok kepentingan” (interest groups) dan “masyarakat madani” (civil society).
Kelompok kepentingan adalah organisasi atau komunitas kepentingan yang memperjuangkan aspirasi kolektif kelompok tertentu, seperti serikat pekerja, kelompok buruh, kelompok profesi.
Sedangkan masyarakat madani memperjuangkan aspirasi masyarakat dalam konteks lebih luas yang terkait dengan hak asasi manusia, gender dan lain-lain.
“Partai politik mengidentifikasi dan memformulasi kepentingan masyarakat yang disuarakan kelompok kepentingan dan masyarakat madani, kemudiannya mengubahnya menjadi platfom partai, yakni rangkaian prinsip, kebijakan, atau program yang dirumuskan untuk menarik masyarakat pemilih pada pemilihan legislatif ataupun pemilihan presiden. Melalui rangkaian sosialisasi politik, masyarakat yang disuguhkan ide gagasan berbagai partai akan memilih dengan terlebih dahulu mempertimbangkan dan memperbandingkan platform partai,” papar juru bicara Ahok di Pilgub DKI 2017 ini.
Namun, Ansy mengingatkan bahwa setelah melalui sosialisasi politik, partai politik harus tetap memperjuangkan agar aspirasi masyarakat konstituen tersalur melalui perumusan kebijakan dalam tataran legislatif maupun eksekutif.
“Itulah alasan partai politik sebagai institusi sangat penting bagi demokrasi. Political parties created democracy. Pelembagaan partai politik merupakan salah satu pilar penyokong demokrasi, karena partai politik dianggap sebagai penengah (intermediary actor) sekaligus representasi resmi aspirasi masyarakat, menjadi penghubung antara proses-proses yang terjadi di pemerintahan dengan dinamika sosial yang terjadi di masyarakat,” tambah politisi PDI Perjuangan itu.
PDI Perjuangan, Partai Ideologis
Pada kesempatan itu, Ansy menegaskan platform ideologis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan). Menurutnya, PDI Perjuangan adalah partai berideologi Pancasila.
Imbasnya arah kebijakan partai, mekanisme rekrutmen dan kaderisasi, motivasi aktor partai politik tidak dapat dilepaskan dari ideologi Partai.
“Berkaca dari hasil Pilpres dan Pileg yang telah diumumkan dan ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), PDI Perjuangan menjadi pemenang karena kader partai Joko Widodo (Jokowi) terpilih lagi sebagai Presiden Republik Indonesia. PDI Perjuangan juga memenangi Pileg 2019, sekaligus mengulangi hasil 2018. Ini menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap penyerapan aspirasi masyarakat yang dirumuskan dalam platform partai sekaligus kemampuan kader-kader PDI Perjuangan untuk memperjuangkannya di legislatif maupun eksekutif,” lanjut Ansy.
Ansy tidak lupa menyoroti term “petugas partai” menurut PDI Perjuangan. Sebagai partai ideologis, maka kader-kader partai PDI Perjuangan adalah “petugas partai.” Petugas partai bukan dalam arti suruhan pimpinan partai.
Substansi petugas partai adalah menjadi “kader ideologis”, yakni kader partai yang meneruskan komitmen Partai untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat seturut ideologi Pancasila.
“Kader bukan pesuruh. Tetapi kader PDI Perjuangan sebagai utusan partai di tingkat legislatif hingga Presiden untuk memastikan aspirasi masyarakat sekaligus komitmen ideologis partai terhadap Pancasila diperjuangkan dan diimplementasikan dalam kebijakan. Menjadi petugas partai adalah mewujudkan komitmen PDI Perjuanngan akan Pancasila, ataupun kerja-kerja konkret kepada wong cilik. Dalam konteks ini, makna Presiden Jokowi sebagai “petugas partai” mendapatkan penjelasan yang sebenarnya,” ungkap Ansy.
Imbasnya, keikutsertaan PDI Perjuangan dalam koalisi Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019) dan Jokowi-Ma’ruf (2019-2024) adalah untuk mengawal, memperjuangkan, dan memastikan aspirasi rakyat yang dipercayakan kepada PDI Perjuangan dapat ditunaikan.
“PDI Perjuangan berkepentingan mendukung kadernya Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menuntaskan program-program atau kebijakan-kebijakan yang memihak rakyat. Tentu pada kesempatan itu termasuk di ranah legislatif,” kata Ansy.
Oposisi Penting bagi Demokrasi
Karena terdapat preferensi masyarakat yang terungkap dari ragamnya platform dan pilihan masyarakat yang tersebar, Ansy berharap koalisi partai pendukung Prabowo-Sandiaga pada Pilpres 2019 tetap memilih jalur oposisi. Partai sebaiknya tidak abu-abu dan gamang dalam menentukan sikap politik.
“Saya berharap mereka (pendukung Prabowo-Sandiaga) tetap konsisten menjaga posisinya untuk menegakkan kehormatan demokrasi. Ini penting untuk menjaga checks and balances guna memastikan kualitas kebijakan pemerintah. Kalah pemilu berarti siap berada di luar pemerintahan dan membangun kualitas oposisi yang kuat. Menang pemilu, sebaliknya, siap memimpin dan melaksanakan kebijakan yang sudah dikampanyekan,” ujar Ansy.
Ia mencontohkan ketegasan sikap PDIP yang tegas, konsisten, dan militant menjadi oposisi selama 10 tahun pemerintahan SBY. Bahkan, PDI Perjuangan pernah berpengalaman menjadi oposisi dalam tekanan atau represi dari rezim diktator Orde Baru.
“Oposisi itu penting bagi demokrasi. Dalam bahasa Robert A. Dahl: political party is the most visible manifestation and surely one of the most effective forms of opposition in democratic country,” paparnya.
Pada bagian akhir dari pemaparannya politisi kelahiran Kupang itu meyakini bahwa Kabinet Jokowi-Ma’ruf akan diisi para calon menteri yang memiliki kepantasan akademik, kepantasan integritas, dan kepantasan menjadi profesional.
“Dukungan kuat terhadap Jokowi-Ma’ruf sebanyak 60 % di parlemen berdasarkan penetapan KPU, juga komitmen Jokowi bahwa ia tidak mempunyai beban lagi, menunjukkan adanya kemungkinan itu. Apapun calon menteri dari kalangan profesional ataupun partai politik akan diseleksi agar searah-seiring visi kepemimpinan Jokowi,” pungkasnya.
Selain Ansy, hadir dalam diskusi tersebut sebagai pembicara analis politik CSIS, Arya Fernandez, Faldo Maldini dari PAN, dan Wakil Ketua DPN Vox Point Indonesia, Goris Lewoleba. (VoN).