Oleh: Ambros Leonangung Edu
Dosen UKI Santu Paulus Ruteng, Peneliti pada Perennial Institute, Ruteng
Pentingkah Indonesia merdeka? Apakah gunanya memperjuangkan tanah air, toh bangsa ini terkesan lemah? Hari ini tidak semua orang menyadari alasan terdalam di balik nasionalisme yang selalu didengung-dengungkan. Alasan itu adalah “luka batin bersama” di era kolonial.
Deklarasi 17 Agustus 1945 adalah ekspresi kebebasan dari luka batin itu. Ia puncak perjuangan dalam menentukan nasib sendiri (self-determination) atas dominasi penjajahan asing. Dominasi yang membuat perekonomian nasional lumpuh, lahan-lahan subur dicaplok, harga-harga komoditi ditentukan sepihak, lembaga-lembaga sekolah dan konstruksi kurikulum didesain agar para siswa dapat membaca, menulis, dan berhitung, sehingga para lulusan cepat memperoleh lapangan kerja dengan upah yang murah.
Jepang yang bagai malaikat untuk keluar dari hegemoni politik dan sistem ekspolitasi Belanda, ternyata menyimpan ribuan licik. Anak-anak bangsa berusia produktif dijadikan budak di bawah sistem “kerja paksa”. Transportasi terganggu sehingga membuat publik semakin resah. Inflasi kian meningkat.
Perekonomian yang sulit sejak Hindia Belanda membuat Jepang menelantarkan banyak perempuan yang harus melelangkan tubuh-tubuh suci mereka untuk menjadi santapan lezat para penjajah yang lapar.
Tubuh-tubuh yang tak terselamatkan berbaris kubur sebelum waktunya dan merintih demi membela tanah air. Maka, Proklamasi 17 Agustus 1945 tak lain adalah bom waktu yang meledak dari endapan energi psikis yang telah lama terkumpulkan.
Kaum Muda: Pejuang Hebat
Daya juang kemerdekaan kita terletak pada semangat para pemuda. Deretan perjuangan mereka patut dicatat. Sejak awal abad XX, Raden Ajeng Kartini memperjuangkan pembebasan dari tekanan asing, lalu gerakan Budi Utomo (1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), organisasi-organisasi tahun 1920-an hingga melahirkan Sumpah Pemuda (1928), dan puncaknya proklamasi kemerdekaan, semua itu mengarah pada satu sasaran: pembebasan. Pembebasan adalah imajinasi yang lahir dari gejolak batin orang-orang muda.
Kartini dengan empatiknya berjuang agar anak-anak bangsa ini dapat bersekolah untuk setara dengan bangsa-bangsa lain. Atas perjuangannya, Agus Salim mengenyam pendidikan.
Agus Salim dicap Dr Soetomo sebagai “brilliant intellect”, orang tercerdas, di mana kemudian Agus Salim menjadi pejuang yang hidupnya sungguh-sungguh diabdikan kepada negeri ini.
Budi Utomo (1908), tonggak kebangkitan nasional, didirikan Sutomo, Wahidin Sudirohusodo, dan Gunawan Mangunkusumo, yang saat itu masih duduk di bangku kuliah sekolah Dokter Jawa. Soetomo baru berumur 20 tahun waktu mendirikan Budi Oetomo.
Sarekat Islam (1911) yang berubah menjadi Partai Serikat Dagang Islam (1912) didirikan antara lain oleh Umar Said Tjokroaminoto dan Agus Salim. Mereka memimpin serikat itu dengan amat hebatnya dan usia mereka sangat muda sehingga pemerintah kolonial Belanda takut.
Setelah SDI, berdiri organisasi Indische Partij (1912) atas usaha 3 sekawan / 3 serangkai): Douwes Dekker (Setya Budi), Suwardi Suryanigrat (Ki Hajar Dewantara) dan Tjipto Mangunkusumo. Dewantara waktu itu berusia 23 tahun dan Cipto 25 tahun. Kegilaan para pemuda ini mendapat ancaman dari Belanda sehingga mereka dibuang ke negeri Belanda.
Ada juga usaha perorangan dan kelompok kaum muda untuk memupuk nasionalisme. Tahun 1922, Ki Hajar Dewantara memperjuangkan nasionalisme melalui pendidikan dengan mendirikan Taman Siswa.
Peristiwa yang tak pernah dilupakan adalah Sumpah Pemuda 1928. Mohamad Yamin, pemuda 25 tahun itu, disebut-sebut sebagai arsitek utamanya. Generasi muda 1928 terbentuk dari pluralitas perhimpunan: Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, dan berbagai organisasi kedaerahan. Tanpa melihat warna kulit, bahasa, atau agama, mereka merancang bangunan besar bernama NKRI.
Organisasi Jong Jawa (sebelumnya bernama Trikoro Darmo) dengan cabang-cabangnya di Jawa melakukan kongres terakhir tahun 1929, setahun setelah Sumpah Pemuda, namun kemudian bergabung dalam sebuah perhimpunan baru, yakni Indonesia Muda, yang terdiri dari ribuan kaum muda dari berbagai daerah.
Untuk memperkuat kesatuan itu, mereka membuat kompetisi olahraga dan publikasi. Publikasi majalan mereka ada di beberapa titik: Solo, Magelang, Yogya, di bawah pimpinan redaksi, Armin Pane (pelopor Pujanggan Baru) dan Amir Hamzah.
Hal serupa dijumpai pada peristiwa proklamasi kemerdekaan. Andai saja kemerdekaan kita mengikuti skenario bentukan Jepang, betapa malunya bahwa kemerdekaan kita adalah hadiah Jepang.
“Culiknya” Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok adalah simbol kegigihan golongan muda 1945 untuk merumuskan teks proklamasi di atas dasar refleksi kisah perjalanan bangsa Indonesia sendiri.
Bangsa, apa itu? Hatta dan Soebardjo – dua penyusun teks proklamasi, selain Soekarno – setuju dengan konsep Ernest Renan.
Renan (Nurrachman, 2002) mengatakan, bangsa terbentuk bukan karena kesamaan agama, kesamaan geografi alamiah, bukan kesamaan ras-etnik atau bahasa.
Bangsa adalah sebuah prinsip spiritual, sebuah resultante dari komplikasi mendalam dari sejarah, suatu keluarga spiritual, bukan suatu kelompok yang ditentukan oleh konfigurasi tanah (geografi).
Ada dua hal yang membentuk bangsa: yang satu masa silam, satu lagi masa kini. Yang satu adalah pemilikan bersama suatu warisan yang kaya akan kenangan-kenangan, satu lagi suatu kesepakatan aktual, “keinginan untuk hidup bersama” (d’etre ensemble) sampai kapan pun berdasarkan apa yang telah dihayati bersama dalam perasaan nasib bersama dalam suka (seperti dialami pada zaman Sriwijaya dan Majapahit), tetapi lebih-lebih lagi dalam duka (seperti di zaman penjajahan), sehingga hal ini menjadi rasa senasib-sepenanggungan, sense of belonging (together).
Bangsa adalah suatu hasil dari masa silam yang panjang yang terdiri dari upaya serta pengorbanan dan pengabdian-pengabdian para pahlawan dan pendahulu bangsa yang rela mati demi bangsa tercinta ini.
Soekarno, mengutip Otto Bauer, mengartikan bangsa sebagai entitas yang harus dibangun dan didasari atas “kesamaan watak” (charaktergemainschaft) yang timbul dari rasa “senasib-sepenanggungan” (schicksalsgemainschaft), ditambah dengan unsur yang dimiliki bersama dalam keadaan “geopolitik”, misalnya Pancasila (Sunario, 1978).
Intinya, rasa senasib-seperjuangan merupakan dasar hidup berbangsa, makna di balik interpretasi atas teks-teks proklamasi. Sekali lagi, rasa berbangsa Indonesia itu sudah lama bertumbuh, terutama sejak awal abad 20.
Haji Samanhudi, peletak dasar SDI, sejak 1905, selalu menggunakan kata-kata “Kita orang Islam adalah orang yang dikuasai Belanda, yang senasib dan secita-cita”. Tahun 1927, Moh Yamin menciptakan syair berjudul “Tanah Air”-nya Sumatra, namun tahun 1928 dia mengikrarkan dirinya: Tanah Airnya Indonesia.
Bangsa yang Terluka
Senasib-seperjuangan berarti ada bersama dalam suka dan duka. Kemerdekaan dibangun di atas dasar perasaan terluka. Dengan kata lain, bangsa kita adalah bangsa terluka dengan sejarah yang menyakitkan.
Sekitar 350 tahun dijajah Belanda terhitung sejak VOC dengan penerapan monopoli dagang, dan sekitar 3 tahun dijajah Jepang pada akhirnya menimbulkan banyak luka yang muncul dalam sejarah.
Luka itu tersimpan rapi dalam memori kolektif. Dari sudut pandang psiko-sosial, memori kolektif itu selalu mengandung muatan emosi. Emosi yang selalu diselimuti dengan trauma-trauma penjajahan masa lalu, lalu menyembul dalam wajah penuh dendam dan benci. Lahirlah generasi yang satu ke generasi yang berikutnya yang memiliki tipikal tertekan, malas, kurang kreatif, menunggu perintah, enggan melawan.
Toleransi terhadap beragam kekerasan dalam kehidupan berbangsa ini adalah bagian dari akumulasi rasa pahit yang terjadi dan terpendam pada masa lalu. Kekerasan mengakibatkan lemahnya ketahanan rakyat untuk hidup di lembah derita. Derita telah membuat sempitnya pola pikir, malas, miskin imajinasi, dan gampang putus asa.
Franz Fanon, pemikir post-kolonial, dalam analisis psikologisnya terhadap bangsa korban penjajahan, menemukan adanya jebakan psikis kolonialisme. Para penjajah dengan beragam strategi melumpuh kekuatan bangsa terjajah, menciptakan halusinasi untuk membentuk ketakutan permanen.
Kaum terjajah juga dipaksa untuk meninggalkan identitas aslinya untuk beradaptasi dengan identitas penjajah. Kolonialisme secara psikis bahkan masuk hingga ke ruang kepribadian yang paling dalam, yakni alam ketidaksadaran.
Banyak orang terjajah kemudian mengidap penyakit mental: traumatis, psikosomatis, perasaan tak berdaya, terkucillkan, dsb. Satu ciri bangsa pernah terjajah, lanjut Fanon, adalah ketergantungan dan ketakutan terhadap kekuasaan (pimpinan). Bangsa terjajah lebih suka menjadi bawahan, budak, pengikut. Maka, solusi menurut Fanon, adalah revolusi.
Soekarno, sang proklamator, dalam pikiran politiknya, sejak awal kemerdekaan menginginkan revolusi bagi kehidupan berbangsa dari depresi penjajahan. Revolusi berarti bangkit berdiri di atas kebebasan sejati.
Revolusi menurut Soekarno adalah “penjungkirbalikkan nilai-nilai yang lapuk diganti dengan nilai-nilai yang baru”, di mana mental budak diganti mental pejuang, mental malas diganti kerja keras. Sumber revolusi adalah hati nurani dan Pancasila, yang tujuannya adalah “keadilan sosial” dan “character building”. Kekuatan revolusi adalah UUD 45.
Pancasila dan UUD 1945 adalah energi utama bangsa, sumber semangat, inspirasi, dan acuan berpikir. Revolusi dalam logika nasionalisme berarti juga proses pembongkaran secara epistemologis.
Pola pikir bangsa ini semestinya harus diubah dari pola pikir terjajah kepada pola pikir orang-orang merdeka. Pola pikir yang merdeka pada dasarnya mengubah manusia pada kejiwaan yang paling dalam untuk menjadi pribadi yang berjiwa merdeka.
Merdeka berarti menikmati hidup dengan kerja keras tanpa memeras. Yang memimpin akan memimpin secara bermartabat dan yang dipimpin akan berlaku jujur.
Ini merupakan tugas utama kita saat ini, baik sebagai pemerintah maupun komunitas nasional secara keseluruhan, untuk keluar dari mental jajahan akibat konflik masa lalu.
Setiap proklamasi seharusnya menjadi momen refleksi untuk berempatik terhadap semua pendahulu, mempelajari pesan-pesan mereka, sambil membangun tekad bulat untuk membentuk sejarah yang lebih baik. Kita melihat proklamasi sebagai dasar untuk memperbarui sejarah.
Sejarah memiliki tiga dimensi waktu: masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu adalah masa silam yang hadir dalam memori atau kenangan. Masa depan belum tampak, namun ia tampak dalam harapan, cita-cita atau impian.
Satu-satunya waktu yang ada dan nyata adalah masa kini. Masa kini adalah suatu masa yang paling berharga dan layak untuk dihubungkan dengan masa lalu (kenangan) dan masa depan (harapan).
Waktu memiliki keterarahan, bahwa waktu selalu mengarahkan suatu arah “ke depan”, dan setiap keinginan manusia selalu “terarah” kepada suatu tujuan di “masa yang akan datang”, masa depan yang lebih baik.
Jejak masa lalu harus diaktualisir oleh orang-orang masa kini untuk menentukan seperti apa hari esok. Pembebasan diri dari setiap jebakan kolonialisme (malas, rakus, instan-pragmatis) harus diganti dengan mental pejuang.
Belajarlah dari para pejuang, terutama kaum muda di era pra-kemerdekaan dan era kemerdekaan, yang memiliki energi psikis prima di tengah derita perang. 17 Agustus bukan sebuah seremoni belaka, perayaan rutin, tapi cara untuk merekonstruksi sejarah agar lebih baru.
Jadilah ia sebagai perayaan bermakna. Ibarat ulang tahun, bukan demi anak, tetapi demi ibu yang mengandung kehidupan selama 9 bulan, demikianlah acara 17 Agustus memperingati rahim yang mengandung anak-anak bangsa hingga besar seperti sekarang.