Oleh: Agustinus Edward Tasman
Fellow Researcher Change Operator (Change’O) Manggarai Raya
“Semuanya tetap berpulang pada garis tangan”, ungkap seorang doktor dalam sebuah diskusi beberapa saat lalu di Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Pernyataan tersebut terlontar ketika diskusi sedang membahas tentang kepemimpinan di kabupaten itu satu dasawarsa terakhir serta peluang menang atau kalah beberapa bakal calon kepala dan wakil kepala daerahnya tahun depan. Sayang, seperti apa garisnya tidak dijelaskan sang doktor.
Pernyataan semacam ini mungkin tidak asing di telinga pembaca. Para caleg pendatang baru sering mengungkapkannya. Namun yang membuatnya menarik kali ini pernyataan itu keluar dari mulut seorang doktor – artikel ini tidak bermaksud ad-hominem terhadap sang doktor sehingga namanya disimpan di kantong belakang celana-.
Benar pernyataan tipikal “nasib tergantung takdir” ini sudah terlanjur diterima sebagai diskursus yang kita bagi bersama. Tapi itu tidak bisa menjadi alasan, apalagi dari sorang doktor, untuk tetap mempertahankannya.
Dengan terus menerus meyakininya, sebuah bahaya besar justru sedang mengintai. Pasalnya, diskursus mampu mempenetrasi dan membawa efek yang luar biasa tidak saja terhadap cara kebanyakan kita berpikir, tetapi juga mengada.
Tanpa daya kritis sama sekali, kita akan menerima dan menganggapnya sebagai “obyektif”.
Diskursus “Takdir” Garis Tangan
Sebuah pernyataan tidak pernah muncul dalam ruang hampa. Setiap pernyataan yang pernah terartikulasikan dalam medan manapun – teori, diskusi, praktek politik, ekonomi, sosial-budaya – sesungguhnya keluar tidak jauh dari semesta wacana yang melingkupinya.
Ia sebagai pernyataan, sesungguhnya tidak hanya memberikan informasi ke luar dari dirinya, melainkan juga menginformasikan tentang kondisi-kondisi yang memungkinkannya diproduksi dan direproduksi. Ia mendapatkan maknanya dan hanya menjadi bermakna ketika dirumuskan dan diucapkan dalam konteks tertentu,
Jika beberapa pikiran para sokoguru poststrukturalis di atas bisa dipakai untuk menerangkan soal, maka dalam hubungannya dengan “garis tangan” yang bersifat transenden, nalar yang menggovermentalisasi ilmu-ilmu social-humaniora sesungguhnya sudah sejak lama mengalami de-teologisasi.
Ilmuwan social-humaniora kini lebih suka merengkuh yang secular dan bersandar pada suatu yang imanen agar tetap bisa membumi. Dalam corpus pengetahuan seperti itu, manusia sudah dianggap punya daya nalar yang “perkasa”.
Semua pengetahuan tentangnya lebih diniatkan untuk melayani kepentingan praktis-teknis bagi dirinya dan bagi kemanusiaan, ketimbang visi mesianik.
Di situ, soal-soal yang bersifat transenden sepenuhnya disisakan untuk menjadi penghangat diskusi kelas-kelas teologia. Hanya dalam cara itu, ilmu social-humaniora menjadi relevan dan berguna bagi hidup manusia di “dunia yang fana” ini dan diterima tanpa debat oleh kaum kiri, kanan, kiri tengah, atau kanan tengah atau yang asli tengah-tengah.
Ucapan yang akrab terdengar dari para caleg di atas juga mudah dipahami karena caleg tipe tersebut memang terbukti “ngos-ngosan-keletihan” memikul beban berbagai persyaratan formal yang ditimpakan demokrasi padat modal, high cost democracy, terhadap kandidasinya.
Mereka memang seolah sudah ditakdirkan untuk kalah di “ronde” awal karena dipaksa sistem pemilihan yang berlaku untuk bersaing dan menang bertarung dengan pesaing-pesaing yang lebih mampu memenuhi semua syarat-syarat “padat modal” dan “padat karya” itu.
Namun ketika seorang yang telah mencapai gelar doktor juga menyatakan “siapapun pemenang pilkada Mabar nanti berpulang pada takdir” maka itu lebih menjadi ironi bahkan hampir-hampir tragedi.
Yang merisaukan adalah jawaban atas pertanyaan mengapa pemikiran seperti itu menguasai pemikirannya yang sudah didisiplinkan secara ketat dengan methodologi dan aktivitas seputar teorisasi yang rumit.
Soal besar bagi sang doktor di atas adalah kapasitas sebuah pernyataan menghadirkan dan menciptakan makna, tidak semata-mata dikendalikan oleh mereka yang mengucapkannya.
Doktor juga Manusia?
Doktor adalah sebuah jenjang tertinggi dalam hirarki kepenguasaan pengetahuan. Fakta bahwa tidak semua orang yang berkesempatan meraih pendidikan tinggi bisa terus melaju dan meraih gelar ini di hampir semua universitas; serta kecilnya kuantitas produksi outcome di level ini dengan dua jenjang dibawahnya – strata satu dan dua, dengan sendirinya mengonfirmasi yang dikatakan di atas.
Karena itu kebanyakan doktor, baik dari dalam maupun luar negeri, dalam perbedaan disiplin ilmu atau karakter personalnya satu-sama lain, tetap sama dalam hal rata-rata “pelit bicara”.
Mereka pelit bicara bukan karena takut salah bicara tapi semata-mata karena dengan penguasaan episteme, ontology dan aksiologis pengetahuaan yang mumpuni mereka cepat tahu harus bicara apa, apa yang perlu dan penting dibicarakan dan yang paling penting kapan perlu dan kapan tidak perlu bicara.
Yang terakhir ini penting dalam hubungan dengan kasus di atas karena mereka tahu lidah adalah organ tubuh manusia yang mudah “silap” ketika berkata-kata (lapsus lingue).
Mereka sangat berhati-hati ketika bicara karena pada dasarnya mereka ingin apa yang dikatakannya diterima sebagai suatu yang benar karena memang argumen, data atau dalil atau hipotesisnya benar. Bukan benar karena dia doktor, atau sebaliknya, dia doktor maka apa saja yang dikatakannya pasti benar.
Sebagai manusia ia memang bisa salah, tetapi sebagai doktor dia dilatih untuk berpikir logis-sistematis dan karenanya terlatih untuk menghindari kesalahan, apalagi yang berkaitan dengan pikiran dan pernyataannya di sebuah diskusi publik.
Sebuah diskusi memang senantiasa terbatas dari segi peserta, tapi karena sudah menyangkut kehidupan publik maka dengan sendiri ruang itu juga menjadi ruang publik versi Habermasian.
Pernyataan sang doktor di atas tentu bukan karena problem nalar. Apalagi karena problem nalar yang malas bekerja atau menyerah menganalisa kehidupan socio-ekonomi-politik yang justru memberi “daging dan darah” bagi pengetahuan, eksistensi dan pengakuan-penghormatan sosio-politik yang didapatnya sebagai doktor dari masyarakat kita yang tingkat lliterasi-nya masih rendah.
Pilkada Manggarai Barat
Bila doktor adalah representasi dari jenjang pendidikan tertinggi maka untuk berterus terang apa yang kita temukan di atas sangat boleh jadi menunjukkan kekalahan telak nalar berhadapan dengan takhayul dalam politik kita.
Ada situasi dominan yang tidak dapat dilawan dari yang disebutkan terakhir atas nalar, baik oleh “doktor-tamatan-jenjang-strata-tertinggi-universitas” apalagi masyarakat biasa.
Dengan kata lain, suatu keyakinan pada yang mistik menghegemoni nalar politik sebegitu rupa sehingga argumentasi yang bening bisa menjadi pekat, yang lurus bahkan jadi bengkok jika tidak sesuai ramalan/tenung dukun. Semua yang dikatakan terakhir bahkan bisa dibalikan lagi semudah membalik telapak tangan selama ramalan menghendaki demikian.
Situasi yang sama juga akan dihadapi ole warga Manggarai Barat yang akan kembali memilih Bupati dan Wakil Bupati Kabupatennya tahun ini.
KPU Mabar memang belum menabuhkan gong tanda dimulainya tahapan pemilihan secara resmi. Namun sudah banyak figur yang menyatakan secara terbuka kepada publik keingininan mereka untuk menjadi bakal calon dua posisi itu.
Karena itu setiap orang bisa saja berpaling pada ramalan para dukun sakti untuk memastikan hasil akhirnya atau cukup melihatnya melalui penerawangan ala toto-kopi.
Setiap orang juga bisa menunggu hasil survei sebagaimana lazimnya sejak era pemilihan langsung kepala daerah. Setiap orang juga bisa menawarkan analisa atau pun prediksinya masing atas peluang kedipilihan, likeability – yang berkaitan erat dengan popularitas, hingga kedipilihan, electability, dari semua kandidat itu.
Semua itu punya dasar mengada dan “jemaat”nya sendiri-sendiri dan karenanya tidak bisa dipersoalkan. Tetapi ketika berdiskusi mengenai pilkada antara kaum akademik dan yang bukan, tidak banyak bedanya atau malah tidak lagi bisa terbedakan karena sepakat mengamini ‘hukum garis tangan”, lantas untuk apa bersekolah hingga jenjang doktoral?
Kita mungkin menyombongkan diri karena berpendidikan dan bergelar akademis tinggi, tetapi ketika horizon yang kita tawarkan terhadap masyarakat ternyata hanya berputar-putar di zona ‘takdir garis tangan’, maka politik sudah mati. Karena satu-satunya pilar penyangganya, akal manusia, juga sudah runtuh dihantam palu godam klenik yang serba kebetulan dan sewenang-wenang.
Di situ selama ramalan klenik-mistik toto kopi dan sebangsanya menghendaki demikian, yang pekat bisa jadi bening, yang “bengkok” jadi “lurus”, manipulasi diamini sebagai takdir dan ruang politik dipenuhi dengan “serigala berbulu domba, “ular” pun bahkan bisa menyembah manusia.
Entah bagaimana takdir orang yang tangannya buntung? ****