Waingapu, Vox NTT-Ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bersuara melakukan aksi demonstrasi pada 1 Oktober 2019 di gedung DPRD dan Kantor Bupati Sumba Timur.
Massa melakukan long march dimulai dari Lapangan Rihi Eti, Prailiu.
Aliansi ini terdiri dari masyarakat adat Praing Umalulu, Praing Petawang, Masyarakat Pahunga Lodu, SABANA SUMBA, WALHI NTT, AMAN SUMBA, GMNI Waingapu, LMND Waingapu, PERUATI, Komunitas Marginal dan LPPHKI.
Mereka menuntut agar DPRD segera melakukan pembahasan Perda masyarakat adat dan pembentukan Pansus PT.MSM.
Selain itu, massa juga meminta Bupati Sumba Timur mencabut dan meminta maaf atas pernyataan Bupati terkait konflik kepemilikan tanah ulayat di salah satu media online beberapa waktu lalu.
Dalam orasinya Umbu Ndeha dari masyarakat adat paraing patawang mengecam pernyataan Bupati Sumba Timur di salah satu media online bahwa tanah tidak pernah digunakan sejak Tuhan ciptakan.
Menurutnya pernyataan Bupati seolah-olah Bupati bukanlah orang Sumba yang hidup dengan adat istiadat orang Sumba.
“Oleh Karena itu kami masyarakat adat meminta agar Bupati Dan DPRD segera membuat perda pengakuan masyarakat adat Karena itu sangat penting bagi keberlangsungan masyarakat adat di masa depannya,” tegas Umbu Ndeha.
Sementara itu dalam orasinya, Umbu Yoab Watuwaya dari Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi mengatakan bahwa masyarakat Selama ini hak-haknya telah dihabisi.
Pemerintah daerah seperti tidak mau mendengarkan aspirasi mereka. Padahal kenyataannya di lapangan, banyak masyarakat kehilangan lahan, air, padang penggembalaan dan hutan.
“Kami dari LMND Waingapu meminta pemerintah untuk berhenti mengabaikan kepentingan Rakyat atas nama pembangunan investasi,” ujar Umbu Yoab.
Selain persoalan lokal, massa aksi juga menolak berbagai RUU bermasalah dan UU KPK.
Massa juga menuntut DPRD Dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan berbagai persoalan kekerasan seksual yang marak terjadi di Sumba Timur. Baik untuk penegakan hukum maupun pencegahannya.
Aksi massa di DPRD diakhiri dengan pertemuan dengan 4 anggota DPRD Sumba Timur. Para anggota DPRD berjanji akan menindaklanjuti aspirasi massa.
Aksi kemudian dilanjutkan di kantor Bupati dan diterima langsung oleh Bupati Sumba Timur dan jajarannya.
Proses pertemuan berlangsung cukup alot karena adanya beberapa perdebatan antara pemerintah dan perwakilan massa aksi.
Pemerintah Janji Buat Perda Masyarakat Adat
Anggota DPRD Sumba Timur menerima tuntutan massa Aliansi Masyarakat Bersuara. Para anggota DPRD yang menemui dan berdiskusi dengan massa adalah Yonathan Hani, Yeston Umbu L. Pura Tanya, Rambu Hammu dan Hendrikus Tonga Retang.
Yonatan Hani menyampaikan bahwa beliau mendukung agar pembuatan Perda paling lambat telah disahkan pada tahun anggaran 2020.
“Saya termasuk fraksi NasDem untuk menyuarakan hal ini. Tolong kita kawal bersama ya,” ungkap Yonatan. Hal senada juga diutarakan oleh oleh para kolega kerja Yonatan Hani.
Selanjutnya para anggota DPRD Sumba Timur ini menandatangani surat pernyataan komitmen pembuatan Perda pengakuan masyarakat adat.
Selain itu, anggota DPRD juga berkomitmen untuk mendorong terbentuknya Pansus PT. MSM. Aliansi masyarakat bersuara juga menyerahkan berkas naskah akademik ranperda pengakuan masyarakat adat.
Naskah diserahkan oleh Umbu Ndamu Rihi Meha selaku salah satu Tim perumus naskah akademik. Tim perumus sendiri berasal dari dosen dan para praktisi LSM di Sumba dan Jakarta.
Selanjutnya dalam kesempatan berbeda saat bertemu massa aksi, Bupati Sumba Timur juga berkomitmen akan segera mendorong pembuatan Perda tersebut.
Namun bupati menolak untuk menandatangani surat pernyataan komitmen yang disiapkan oleh Aliansi masyarakat bersuara.
Terkait komitmen DPRD dan Bupati, Umbu Manang selaku koordinator umum aksi menyatakan mengapresiasi komitmen tersebut dan berharap masyarakat tidak diberikan harapan palsu.
“Bukan apa-apa, kami ini sudah beberapa kali bertemu DPRD dan dijanjikan pembuatan Pansus tapi tidak juga ada. Kalau Bupati kami sudah beberapa kali coba untuk bertemu, baru kali ini beliau bertemu kami,” tegas Umbu Manang.
Hal senada juga diutarakan oleh Rambu Amy dari Komunitas Marginal.
“Kami mendorong Bupati Gidion bersama DPRD untuk segera menyusun dan mengesahkan Perda pengakuan masyarakat adapt tanpa harus menunggu pengesahan RUU Pertanahan Karena RUU tersebut kami juga menolaknya. selain itu pemerintah harus belajar dari kabupaten lain seperti Ende yang sudah mempunyai perda pengakuan masyarakat adapt sejak 2017,” jelas Rambu Amy. (VoN).