Oleh: Defri Ngo
Agama, sikap epistemis dan demokrasi, tidak hanya mengandung diferensiasi makna leksikel, tetapi juga berkaitan dengan esensi masing-masing term.
Alih-alih menjelaskan tentang agama sebagai suatu institusi iman, penulis justru berpaling untuk menyejajarkannya dengan dimensi rationalitas, yakni sikap yang epistemis.
Motivasi dasar tulisan ini bertolak dari suatu ikhtiar terhadap peran agama dalam ruang publik kehidupan berbangsa.
Pengandaian tentang agama dalam ruang publik mengharuskan adanya sikap epistemis agar setiap civil society tidak terjebak dalam sentimentalitas yang terkandung di dalamnya.
Karena itu, tulisan ini lebih berpretensi untuk menggali dan mengangkat pentingnya sikap epistemis dalam agama dan pengaruhnya terhadap konstruksi hidup berbangsa.
Menyibak Masa Lalu
Eksistensi agama dalam ruang publik di Indonesia kerap menuai persoalan. Di Indonesia dan sebagian negara lain di Asia, agama dinilai sangat berpengaruh dalam memobilisasi sistem kehidupan berbangsa.
Manuver peran agama dalam ruang publik menyibak sejumlah persoalan ketika setiap penganut agama mengklaim diri sebagai yang paling benar. Tuhan kemudian dijustifikasi sebagai hakim untuk melegalkan setiap tindak kekerasan.
Situasi ini menuai persoalan berkepanjangan yang mengganggu konstelasi kehidupan bersama. Tindak kekerasan bahkan peperangan atas nama agama tak jarang menimbulkan luka dan kehilangan, bahkan kematian yang naas.
Agama telah jadi sebuah instrumen yang tidak lagi berpihak pada humanisme, tetapi menjadi motor penggerak untuk membinasakan sesama. Kebenaran parsial suatu kelompok agama berdiri tegap dan menutupi peran konstruktif dari kelompok agama lain.
Diskursus tentang agama dalam ruang publik, sesungguhnya telah muncul sejak abad pertengahan yang ditandai dengan lahirnya paham teosentrisme.
Tokoh-tokoh seperti Anselmus dari Centerbury, Petrus Abelardus dan Thomas Aqunias berpengaruh besar dalam upaya mengangkat kembali peran agama. Munculnya teosentrisme, serempak menyingkirkan peran akal budi (rasio) dalam kehidupan bersama.
Tuhan dijadikan sebagai primat utama yang berhak atas seluruh kehidupan manusia. Tuhan adalah toko utama yang mengendalikan kehidupan manusia. Kepercayaan yang total kepada Tuhan, serempak menjauhkan ratio dalam kehidupan.
Umat beriman menolak ratio dengan suatu anggapan bahwa ratio menjadi bahaya akut dalam mengenal eksistensi Tuhan. Eksklusivisme terhadap agama sebagai the biggest power melahirkan Fideisme.
Menurut Fideisme, akal budi tidak berfungsi dalam memahami kebenaran Kristiani (Remi Ceme, 2017:131). Ratio dipadang sebagai suatu dimensi yang sama sekali tidak beguna dalam memahami Allah.
Pada titik ini, Fideisme menekankan kebenaran mutlak iman tanpa perlu pemahaman yang rational atasnya. Tuhan dilihat sebagai kekuatan utama yang mendasari seluruh kehidupan manusia.
Diskursus ini kemudian mendapat tantangan serius ketika pada abad ke 19, sekularisme melanda seluruh negara di Eropa dan Amerika. Di German pada abad ke 20, beberapa tahun lalu, teolog Ratzinger mengadakan dialektika dengan Filsuf German Kontemporer, Juergen Habermas tentang sekularisme.
“Dialektika Sekularisasi” tersebut menunjukan betapa urgennya tema sekularisme dalam lanksap dunia saat ini. Perlu adanya penjelasan komprehensif agar tema tentang sekularisasi dipahami secara tepat.
Sekularisme yang mulai ditandai dengan munculnya modernitas mendepak agama ke luar dari ruang publik. Tuhan tidak lagi dibicarakan sebagai kebenaran, tetapi sesuatu yang lebih diakui secara privat. Ia menjadi urusan pribadi.
Pada titik ini, manusia sekular menolak diskurus tentang agama. Bagi mereka-kemudian diwakili oleh sejumlah pemikir seperti Sigmund Freud, Frederik W. Nietczhe, Ludwig Feuerbach dan Marx, agama hanya merupakan pelarian terakhir bagi sekalian manusia yang tidak mampu berpikir tentang hidupnya. Orang yang memeluk agama adalah pribadi yang infantil.
Mereka hanya sekumpualan manusia yang berpasrah sepenuhnya pada kekuatan transenden yang mereka sendiri tidak paham betul asal muasalnya. Pun demikian, sekularisme pada akhirnya menuai ajal. Sejumlah cirinya boleh jadi masih melekat pada perifer kehidupan manusia modern, tetapi kekuatannya tanpak kurang tajam.
Sekularisme kehilangan pisaunya ketika agama kembali menghiasi sejumlah diskursus di ruang publik. Kembalinya agama dalam ruang publik menandakan dibukanya zaman post sekularisme.
Habermas, sebagaimana dikutif F. Budi Hardiman (2018: 225) menyebut masyarakat post sekular sebagai “the situation in which secular reason and religious conciousness that has become reflexive engage in a relationship.”
Dalam masyarakat post sekular, tampak ada korelasi antara ciri sekular-yang ditandai dengan tumbuhnya rasionalisme dan sikap religius seorang beriman.
Korelasi antara yang sekular dan religius tentu tidak melepaskan otonomi esensinya masing-masing. Pertautan antara yang sekular dan religius hanya diartikan sebagai situasi saling belajar demi tercapainya kebaikan dalam hidup bersama.
Korelasi antara rationalisme dan sifat religius perlu menjauhi diri dari eksklusivisme dan klaim kebenaran parsial. Agama tidak bisa menyatakan dirinya sebagai yang paling benar. Sebaliknya, ratio juga tidak bisa menganggap remeh peran agama di dalam kehidupan.
Mutualisme sikap antara yang rational dan religius perlu diterjemahkan dalam suatu bahasa yang universal dan diterima secara bersama.
Agama dan Sikap Epistemis
Relasi yang harmonis antara rationalisme dan religiositas menandakan adanya peradaban baru dalam kehidupan bersama. Sikap untuk saling belajar dan menerima menjadi kunci tercapainya suatu situasi bangsa yang berkedaulatan.
Namun demikian, dalam suatu bangsa yang majemuk, semua orang yang beragama perlu mengedepankan sikap epistemis. Sikap ini tidak dimaksud untuk mengklaim adanya kebenaran tunggal dalam agamanya, tetapi sebagai suatu jalan untuk beriman secara tepat dalam konteks kehidupan berbangsa.
Sikap epistemis menandakan adanya suatu langkah maju dari umat beragama atas iman yang dianutnya. Fides quaerens intellectum, iman harus mencari pengertian. Dan pengertian dalam iman hanya dapat diperoleh dari umat yang terbuka dan ingin mempelajari inti imannya.
Manusia tidak hanya ingin taat kepada Allah, ia juga ingin mengerti apa yang diimani (Magnis Soseno, 2006:11). Sikap epistemis umat beriman, jika ditempatkan secara tepat akan berdaya guna dalam mengokohkan bangunan kehidupan berbangsa. Demokrasi akan menjadi sistem yang mengayomi kehidupan bersama. Pertanyaannya, bagaimana bersikap epistemis?
Sikap epistemis secara sederhana dapat dimengerti sebagai usaha untuk menemukan nilai-nilai universal dalam suatu ajaran untuk kemudian dijadikan masukan dalam kehidupan berbangsa (berdemokrasi).
Sikap epistemis menghasilkan ‘penerjemahan’ dari isi kebenaran kontribusi agama ke dalam bahasa sekular yang dimengerti semua pihak (F. Budi Hardiman, op.cit). Sikap epistemis ini dapat dibuat ke dalam beberapa langkah.
Pertama, para pemuka agama dan teolog seyogianya menerjemahkan bahasa agama yang cendrung metafisis dan absurd ke dalam suatu bahasa publik.
Dalam usaha ini, mereka patut mengedepankan nilai-nilai universal agamanya, seperti humanisme, sikap kedermawaan dan cinta kepada sesama.
Kedua, umat beragama sendiri perlu mempelajari secara kritis ajaran imannya dan dengan sikap terbuka berpartisipasi dalam pembangunan hidup bangsa.
Sikap kritis dan keterbukaan mempelajari ajaran agama, baik yang tertera di dalam Kitab Suci, Al-Quran dan buku-buku teologi lainnya berdaya guna membentuk pemahaman yang benar dalam diri semua umat beriman.
Kedua langkah di atas adalah sumbangan penting masyarakat beragama demi tercapainya kehidupan berbangsa yang adil dan beradab.