Labuan Bajo, Vox NTT- Direksi Tree Hospitality Holding, Matheus Siagian menyatakan, pembangunan pariwisata harus berkelanjutan.
Menurut pemilik Restoran Tree Top Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat (Mabar) itu, pariwisata yang berkelanjutan dapat tercipta dari kesinambungan antara, aspirasi masyarakat dalam destinasi, visi pelestarian atau keberlanjutan, dan potensi pasar yang tersedia.
“Tiga aspek ini merupakan hal yang menjadi kunci bagi eksekusi konsep kepariwisataan yang efektif dan efisien,” jelas Matheus dalam rilis yang diterima VoxNtt.com, Jumat (11/10/2019).
Berdasarkan pengalaman Matheus, pembangunan pariwisata akan berlanjut manakala aspirasi didengarkan dan kegiatan dijalankan oleh orang lokal yang memiliki budaya di tempatnya sendiri.
“Proyek datang dan pergi, namun masyarakat lokal tetap tinggal,” ujar ketua bidang di PHRI Manggarai Barat itu.
Pengalaman
Argumentasi Matheus berdasarkan pengalamannya belasan tahun lalu. Saat selesai kuliah dan usianya masih tergolong muda, ia masuk sebagai konsultan di LSM yang ada di Labuan Bajo, Mabar.
Saat itu, selain membuat program-program dan pelatihan di SMKN Pariwisata, Matheus juga memberikan pelatihan di hotel-hotel dan restoran yang ada di Pulau Flores.
Menurutnya, banyak hal telah berubah dari tahun 2008. Tetapi banyak hal juga masih tetap sama.
Tahun itu, Matheus datang di Labuan Bajo dan di hari yang sama ia pergi ke Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
“Saat itu Ruteng terlihat jauh lebih besar dari Labuan Bajo. Ketika itu Labuan Bajo merupakan kota pelabuhan kecil yang sedang berkembang,” kisah penulis kolegial riset ketenagakerjaan pariwisata dalam buku 4IR Readiness Asia Pacific Chapter Indonesia itu.
Matheus ingat saat itu, Labuan Bajo merupakan tempat yang masyarakatnya sangat ramah.
Ia kemudian punya teman-teman baru dan semakin jatuh cinta dengan Labuan Bajo, Mabar.
Matheus tidak pernah mendapat permasalahan yang serius karena adat istiadat dan warga Mabar sangat menerima dan toleran, baik pada para pendatang yang berbeda agama, suku, ras maupun golongan.
Wisata Halal, BOP Disorot
Pandangan tentang toleransi, serta konsepsi pariwisata yang berkelanjutan inilah yang membuat Matheus terkejut saat Badan Otorita Pariwisata (BOP) Labuan Bajo Flores mengadakan “Sosialisasi Destinasi Wisata Halal” di Labuan Bajo.
”Mengapa? Pikir saya. Mengapa Labuan Bajo?” tanya perwakilan bisang ekowisata berkelanjutan dalam summit Archipelagic & Island States Forum 2019 itu.
Padahal lanjut Matheus, Mabar sudah memiliki tugas yang berat.
Itu antara lain; menjadi pintu masuk infrastruktur darat dan laut dari Indonesia barat, menjadi tonggak pariwisata berbasis konservasi untuk Indonesia baik melalui perlindungan fauna atas dan bawah lautnya maupun hutan hijau dalam bentangan Pulau Flores dari barat.
Belum lagi tugas menjaga keseimbangan otoritas dan toleransi kenegaraan antara Pemprov NTT di Kupang dan jajaran pemerintah otonom.
“Mengapa musti menambahkan aspek ‘asing’ yang tidak didasari kebudayaan lokal? Padahal “Lain Ladang Lain Belalang”. Mengapa Wisata Halal?” tukas Matheus.
Padahal, kata dia, sistematika halal di Flores lebih baru daripada kemerdekaan Indonesia.
Tak hanya itu, sebagai pelaku ekowisata Matheus mengusulkan, sebaiknya wisata halal difokuskan pada sahabat-sahabat di destinasi tetangga, yang memang kental dan fasih dengan kebudayaan halal, seperti destinasi Makassar dan Lombok.
Menurut dia, agenda pemerintah pusat yang difasilitasi oleh BOP, yang bersifat tidak sensitif ini mendapatkan protes di daerah- daerah lain juga seperti Bali, Toba dan Toraja.
“Seperti juga yang kita bersama tahu, tidak lama setelah mendapatkan perlawanan dari masyarakat Labuan Bajo, direktur BOP Labuan Bajo ibu Syana Fatinah diberhentikan sementara,” aku entrepreneur yang mengawali karirnya sebagai pekerja sosial di LSM pelestarian masyarakat dan kebudayaan itu.
Sebagai institusi, Matheus menyayangkan
sebelum mulai BOP sudah mendapatkan banyak perlawanan. Padahal badan ini baru saja mulai beroprasi di Mabar.
Sebagai ‘wakil’ masyarakat lokal, lanjut Matheus, harusnya BOP Labuan Bajo dapat merepresentasikan suara masyarakat.
”Harapan saya, semoga ke depannya tokoh masyarakat dan stakeholders pariwisata bisa lebih dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan dan pengambilan keputusan lainnya,” katanya.
Hal ini tentu untuk kemajuan pariwisata berkelanjutan di tanah Flores sendiri.
Hal lainnya yang menjadi tanda tanya besar adalah BOP mendapatkan lahan ratusan hektare dari Pemda Mabar di wilayah Nggorang.
”Masyarakat banyak bertanya-tanya mau dijadikan apa? Bagaimana tata kelolanya? Sistemnya seperti apa? BOP badan yang baru saja diresmikan dan bergerak di Labuan Bajo saya rasa butuh perkenalan diri terlebih dahulu,” tandasnya.
”Sebelum memulai dengan program- programnya mereka butuh sosialisasi awal. Banyak masyarakat yang masih belum jelas siapa BOP? Apa wewenangnya? Ke mana arahnya? Karena tidak dikenal maka tidak disayang,” sambung Matheus.
Ia menegaskan, sesuai Perpres 32 tahun 2018, di harapkan BOP Labuan Bajo Flores bisa menjadi jembatan penghubung antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan fungsi otoritatif, koordinasi, dan lain-lain. Sehingga stakeholders dan pemerintah ada penghubung lidahnya.
Program-program BOP perlu disosialisasikan terlebih dahulu agar salah paham yang terjadi sebelumnya tidak terulang lagi.
Kata dia, penjelasan fungsi, wewenang dan tujuan harus dijabarkan secara mendetail kepada Pemda Mabar agar tidak ada negara dalam negara.
Kalau semua sudah jelas, Matheus berharap lembaga ini bisa menjadi pemercepat pembangunan di Labuan Bajo dan sekitarnya.
Dan tentunya pembangunan harus bisa mensejahterakan masyarakat lokal.
Dari proses hingga hasil akhir masyarakat lokal harus dilibatkan dan tidak boleh hanya menjadi penonton saja.
Penulis: Ardy Abba