Kupang, Vox NTT-Pengelolaan aset menjadi salah satu isu penting di tengah bergulirnya undang-undang desa.
Hingga kini, banyak aset yang sebelumnya menjadi milik kabupaten/propinsi belum dikelola secara maksimal. Salah satu alasannya yakni tumpang tindih kewenangan dengan otonomi desa.
Direktur Change Operator, Arischy Hadur kepada VoxNtt.com, Jumat (18/10/2019) menjelaskan isu penataan aset sebenarnya memiliki semangat yang sama dengan otonomi daerah. Bahwasanya otonomi daerah itu ada dimensi sharing of power, yang kemudian diikuti oleh adanya kebijakan desentralisasi fiskal, dan juga pembagian urusan lainnya.
“Ini sebenarnya mengikuti logika good governance, yang dimensinya adalah efektifitas dan efisiensi. Supaya efektif dan efisien, maka sebagian urusan didesentralisasikan,” jelas Hadur.
Namun selama ini, lanjut Hadur, aset daerah seringkali bermasalah karena adanya kewenangan ganda; terutama antara desa dan daerah, bahkan dengan pemerintah pusat.
Salah satu alasan menurut Hadur ialah belum terdatanya aset-aset tersebut serta terjadi konflik kewenangan.
“Permasalahan ini harus diselesaikan, karena sudah terbukti menimbulkan masalah baru. Temuan korupsi dana desa misalnya, terkadang terjadi karena desa membangun di atas aset Pemkab/Pemprov. Wajar saja, karena masih banyak desa tidak memegang data aset daerah,” jelasnya.
Masalah lain adalah inefesiensi aset. Banyak aset Pemerintah daerah yang belum maksimal dikelola, dibangun tanpa pemeliharaan, dan bahkan tidak digunakan.
Hal ini menjadi semakin runyam, ketika aset yang tidak terkelola tersebut, bersinggungan langsung dgn kepentingan publik, semisal aset-aset pelayanan.
Kondisi seperti yang menurut Hadur memunculkan sikap nekat dari Pemdes untuk mengelola aset “tanpa izin” karena menjadi kebutuhan publik.
Menurut dia, kendala pemerintah bisa dimaklumi, karena keterbatasan sumber daya birokrasi untuk mengelola keseluruhan aset yang dimiliki.
“Apalagi ketika birokrasi menganut sistem birokrasi yang ramping, maka akan semakin sedikit petugas yang mengurusi aset itu,” ungkapnya.
Dalam konteks NTT, lanjut dia, topik yang lagi hangat diperbincangkan ialah soal aset pariwisata.
“Desa-desa ini punya banyak aset wisata, yang masuk dalam daftar inventarisasi kabupaten. Kalau dibandingkan, seperti di Jogja, Pemda itu hampir tidak pegang pengelolaan aset pariwisata, karena semuanya dikerjakan oleh desa,” jelasnya.
Oleh karena itu, mengikuti logika desentrasisasi dan good governance di atas, maka penting adanya penataan aset dalam hal ini pembagian peran, baik kepemilikan maupun pengelolaan.
Mulai dari aset sumber daya manusia, sumber daya alam, aset sosial dan aset fisik.
Celahnya dapat dilakukan melalui tugas pembantuan dari Pemda ke desa, kerja sama pengelolaan aset, dan sebagainya. (VoN)